Angga tidak percaya bahwa dengan menerima telepon dari Doni dan memberi sedikit bantuan kepada Riri malah mengubah hidupnya secara drastis. Doni melihat hal itu sebagai peluang dan tiba-tiba saja mempekerjakan Angga untuk memuaskan para wanita yang sedang membutuhkan pelepas stress. "Apa menurutmu aku terlihat seperti seorang gigolo?" kata Angga mencoba untuk membela diri. "Aku tahu kalau kau berbakat, dan kau adalah seorang pelayan yang sempurna," kata Doni lalu melemparkan segepok uang kepadanya. "Jadi kita sepakat kan?"
Angga sedang berbaring di tempat tidurnya sambil membaca buku ketika tiba-tiba saja ponsel miliknya berbunyi. Saat dia meraih benda itu, dia mendapati nomor yang tidak dikenal di layar ponselnya. Setelah menimbang beberapa saat akhirnya pemuda itu memilih untuk menekan tombol berwarna hijau.
"Halo?"
"Yo, Angga! Selamat siang!" Suara itu sangat familiar dan hanya satu orang saja yang menjawab sapanya dengan 'yo' dan itu adalah sosok pria yang telah menjadi sahabatnya meski umurnya lebih tua.
"Doni, ada apa meneleponku?" meski Angga sebetulnya malas untuk berbasa-basi dengan orang itu, tetapi dia menahan keinginannya untuk menutup telepon dan justru malah menanyakan keperluan pemuda itu kepadanya.
"Biasa, butuh sedikit bantuan."
"Bantuan apa? kalau pinjam uang tidak ada."
"Eits... bukan. Ini soal Riri, dia bertingkah agak rewel akhir-akhir ini dan aku pikir dia butuh bantuanmu."
Angga menarik telepon yang beberapa saat lalu menempel di telinganya dan menatap benda itu lekat-lekat seolah-olah dia betulan sedang menatap lurus ke arah orang yang sedang meneleponnya. "Memangnya apa yang bisa aku lakukan untuk menolong dia?"
"Tidak tahu, pokoknya kau pergi sajalah ke toko dan lakukan Sesutu. Aku sedang diluar sekarang dan tidak memungkinkan untuk pulang. Intinya kau akan tahu apa yang bisa kau lakukan kalau kau sudah bertemu dia secara langsung." Setelah menjelaskan sesuatu seperti itu Dona langsung menutup teleponnya. Bahkan tanpa merasa perlu mendengar jawaban dari Angga.
Merasa tidak punya pilihan, Angga mendesah tatkala mulai menegakan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang dan mulai keluar dari ruangan. Kalau sudah seperti ini tidak ada pilihan lain selain melihat sendiri apa yang terjadi. Ketika di depan pintu dan memakai sepatu, sesaat pemuda itu terhenyak.
"Bagaimana aku bisa membantu kalau aku saja tidak tahu apa yang sedang terjadi? Si Doni memang selalu meminta hal yang aneh-aneh," gumam Doni. Tetapi meski begitu, dia tetap keluar dari rumah dan mulai melangkahkan kaki menuju ke toko sahabatnya.
Lima belas menit berlalu, dan kini Angga sudah berada di depan pintu toko yang tertutup rapat. Ada tulisan tutup disana, dan dengan mudah Angga membuka pintu toko untuk kemudian segera masuk dan melihat-lihat kondisi sekeliling. "Um... halo? Ada orang di disini?"
Angga mulai berjalan menyusuri dalam toko hingga dia mendengar suara samar dari arah dalam rumah. Toko Doni sendiri memang sejenis ruko, dimana toko berada di depan sedangkan rumahnya sendiri ada di bagian belakang dan disinilah sekarang Angga berada.
Pemuda itu mengikuti suara yang dia dengar hingga menuntunnya menuju ke pintu yang tertutup rapat. Ketika mengintip dari luar, sejujurnya Angga langsung shock bukan main. Di dalam sana, Riri sedang berbaring dalam kondisi telanjang bulat. Meski bukan kali pertama bagi Angga melihatnya dalam kondisi itu, tetapi yang membuat pemuda itu shock adalah fakta bahwa kini perempuan itu sedang bermain dengan sebuah dildo besar yang dimasukan ke dalam dirinya sambil meraba dadanya sendiri.
Riri tampak asyik sendiri dengan kegiatan yang sedang dia lakoni. Menikmati semua hal yang dia inginkannya tanpa peduli ada Angga yang saat ini sedang menyaksikan apa yang dia perbuat dari balik celah pintu.
"Nghh!" rengek perempuan itu. "Ini tidak cukup bagus, aku tidak bisa puas kalau hanya dengan mainan murah seperti ini!" gumamnya lagi.
Merasa frustasi karena tidak bisa mendapatkan klimaks yang memadai. Dia mendesah sambil menarik keluar mainan tersebut dari dalam dirinya dan melemparkannya ke samping sebelum akhirnya kedua mata wanita itu melirik ke arah pintu yang terbuka dan melihat seseorang yang mengintip perbuatannya.
"Oh? Angga! Apa yang kau lakukan disitu?"
Angga yang ketahuan sedang mengintip langsung tergagap. Dia tidak mengira akan tertangkap basah dengan mudah saat sedang asyik menonton wanita itu memuaskan dirinya sendiri di dalam sana. Tidak ada banyak kata-kata yang bisa Angga ucapkan, isi kepalanya mencoba sebisa mungkin merangkai kata demi kata untuk mendapatkan sebuah kalimat yang masuk akal sebagai pembelaan. "Aku ...uh ... sebenarnya aku kemari karena..."
Alih-alih tertarik dengan argumentasi dari Angga, wanita itu justru lebih tertarik pada kaus ketat yang membungkus tubuh Angga yang ramping dan tegap. Dia mengalihkan pandangannya ke bawah dan mendapati sebuah tonjolan menarik dari balik celana yang pemuda itu kenakan. Diam-diam wanita itu menjilat bibir bawahnya, dia punya ide yang bagus di kepala.
"Angga, kemarilah dan tutup pintunya!" suara wanita itu terdengar agak tinggi seakan siap memarahi. Meski sebetulnya suara Riri melengking lantaran nafsunya sendiri yang tidak sepenuhnya dapat dia kuasai.
Dengan sedikit takut, Angga lantas masuk dan melakukan apa yang wanita itu suruh. Menutup pintu geser ruangan tersebut dan mengunci dirinya bersama Riri di dalam sana. Dia dengan ragu-ragu berjalan mendekati ranjang dimana Riri sedang duduk disana.
Di ujung ranjang, Angga menunggu. Sedikit berdoa berharap agar wanita itu tidak memukulinya habis-habisan karena mengganggu aktivitas pribadinya. Namun terlepas dari pada rasa takut, Angga tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat tubuh telanjang sang wanita dalam satu bingkai yang utuh. Kedua dadanya yang bulat dan kencang berwarna kecoklatan, dengan rambut panjangnya, dengan kedua kaki ramping, dan pahanya yang seksi adalah satu kesatuan paling sempurna yang layak disebut dengan satu kata 'indah' apalagi ketika wanita itu merangkak ke arahnya. Untuk beberapa alasan celana yang dipakai Angga mulai mengetat.
"Biasanya aku akan memukul siapa saja yang berani mengintip, apalagi mengganggu waktu privasi seorang wanita," kata Riri sambil menyeringai. "Tapi untukmu, kurasa aku akan memberikanmu sedikit keringanan, begitu aku melihat apa yang kau sembunyikan dibalik celanamu."
Angga kontan langsung tercengang ketika Riri meraih pakaian yang sedang dia kenakan dan melepaskannya dengan mudah. Saat wanita itu menurunkan celananya, Riri kembali menjilat bibirnya hingga terlumuri oleh saliva dan basah. Meskipun dia pernah melihat Angga telanjang sebelumnya, karena mereka pernah mandi bersama di pemandian air panas, tetapi ini jelas berbeda karena tidak ada yang menghalangi pandangan matanya terutama karena sekarang dia disuguhi oleh kejantanan si pemuda yang berdiri tegak.
Benda itu membuat tubuhnya bergidik. Ketebalan dan panjangnya cukup membuat Riri bisa membayangkan betapa dia akan puas hanya dengan memasukan benda itu ke dalam dirinya. Dengan gerakan lembut, Riri mulai menyentuh benda itu menyebabkan si pemuda langsung tersentak apalagi ketika tangan wanita itu telah melingkari batangnya.
"Berbaringlah di tempat tidur, Angga," katanya lagi dengan seringai yang kelewat seksi.
Saat Angga berbaring di atas seprai lembut, Riri memposisikan diri untuk duduk di atasnya. Sekali lagi Angga dibuat terbelalak lantaran bagian pribadi wanita itu terdorong tepat di depan mukanya.
"Dasar mesum," goda Riri. "Aku hanya duduk di atasmu tanpa pakaian, dan kau sudah siap meledak."
Angga menggigil ketika lidah basah mulai menjilat batangnya. Riri mengerang saat dia mencicipi kejantanan pemuda itu. Sudah lama sekali sejak dia merasakan milik pria berada di ujung jarinya seperti ini. "Besar sekali ..." Dia mengerang sedikit sebelum betul-betul memasukan seluruhnya ke dalam mulut memanjakan pemuda itu.
Buku lain oleh Rucaramia
Selebihnya