PAMIT adalah sehimpun puisi yang mengisahkan tentang sembahyang diri, titik kesunyian, air mata dan segala nyanyian serta gejolak hati yang diserukan dari sebuah perayaan diri. Perayaan yang begitu banyak membawa pikiran kita kepada segala kehidupan yang selalu dimaknai dengan cinta dan ruang. Dan puisi-puisi yang terangkum semoga menjadi inspirasi bagi kita semua. SEMOGA.
Ditulisnya malam yang melepaskan senja,
keanggunan selalu jatuh ditelan kesunyian,
dan membuatku tinggal dalam kegelapan,
seperti dedaunan di jalanan yang telah lama tiada.
Gelap gulita -tak ada cahaya, tak ada sinar,
bulan dan bintang, semuanya lenyap,
kesuraman yang redup-hampa total,
remuk, dan sendirian.
Satu rasa sakit yang sia-sia,
satu rasa sakit yang tumpul dan tak berarti,
hati yang terlalu lelah bahkan untuk berdenyut,
terlalu memar untuk dipatahkan.
Sepertinya tak ada lagi pikiran yang gelisah,
tak ada lagi harapan dan ketakutan,
tak ada lagi pertikaian, tak ada usaha, tak ada keinginan,
tak ada lagi air mata.
Siang hari, dedaunan dan bunga saling berdesah,
musim kemarau dan kicauan burung,
semuanya lenyap-mimpi-mimpi yang hilang selamanya,
tak terlihat, tak terdengar.
Cinta, pesona, masa muda-semuanya lenyap,
ikrar heroik yang agung,
harapan yang menggebu, hasrat yang menggebu,
semuanya kini menjadi abu.
Kata-kata yang mereka ucapkan kepadaku,
jauh dan jauh terasa,
seperti suara-suara yang telah kita kenal dan cintai,
berbicara dalam mimpi.
Mereka memintaku untuk tunduk,
aku melakukannya, aku tak dapat berjuang,
aku tidak bertanya-aku bertahan,
bertahan dan hidup.
Aku tidak berjuang lebih keras,
juga tidak berdoa, karena doa itu sia-sia,
aku hanya berbaring diam di saat-saat yang melelahkan,
dan menanggung rasa sakitku.
Tuhan yang membimbing, seorang sahabat,
sorak sorai penuh belas kasih dari seorang Bapa,
dulu tampak seperti milikku; tetapi sekarang bahkan iman
terkubur di sini.
Kehidupan yang gelap dan mematikan ini
hanya sisa-sisa diriku,
dan hanya satu keinginan sadar,
untuk berhenti ada.
Atambua, 14 September 2024