Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mantu Kurang Ajar

Mantu Kurang Ajar

Na Faz

5.0
Komentar
4.5K
Penayangan
39
Bab

Berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh kebanyakan Menantu. Ketika tersakiti oleh mertua ia berusaha membela diri, tapi yang ada ia malah dikatakan Menantu Kurang Ajar.

Bab 1 Satu

"Aku di PHK, Tar," ujar Bang Hanif dengan suara datar. Raut kesedihan tampak jelas di wajanya.

Aku terkejut mendengar berita itu, hingga seketika hening menyelimuti ruang tamu kami. Rasanya semua mimpi dan harapan yang kami bangun, mendadak runtuh. Baru beberapa bulan menikah, kami langsung diberi cobaan.

"Gak papa, Bang," jawabku sambil menggenggam tangannya, mencoba memberi ketenangan. "Mungkin rezeki kita memang sudah habis di pabrik itu. Nanti aku coba ikut cari kerjaan juga bareng kamu. Kita pasti bisa lewatin ini."

Bang Hanif menggeleng pelan. "Ngak usah, Tar. Selama di perjalanan pulang tadi, Abang, sudah pikirkan usaha untuk menghidupi keluarga kita."

"Apa itu, Bang?" tanyaku, penasaran dan sedikit berharap.

"Kita pindah aja ke rumah ibu sama bapakku, ya." Bang Hanif menatapku sambil tersenyum. "Toko Ibu sama Bapak 'kan besar, masih ada petakan yang kosong. Jadi kita buka usaha aja di sana, sepetak buat Abang buka bengkel, sepetak lagi buat kamu jualan nasi goreng sama mie rebus, dan sisanya untuk ibu dan bapak tetap jualan kebutuhan sehari-hari. Aku rasa muat kok."

Aku diam sejenak, memikirkan rencana itu. Bang Hanif terdengar penuh keyakinan, tetapi perasaanku dilanda kekhawatiran. "Memangnya kamu ada modal, Bang?" tanyaku, sedikit ragu.

"Ada kok, Tar," jawab Bang Hanif sambil mengeluarkan selembar amplop cokelat dari sakunya. "Ini uang pesangon dari pabrik. Lumayan, daripada habis hanya untuk kebutuhan sehari-hari, lebih baik kita coba putar untuk usaha. Siapa tahu nanti bisa berhasil."

Mendengar hal itu, aku merasa ada harapan baru dalam rasa putus asa yang menyelimuti kami. Pikiranku mulai melayang, membayangkan kami berdua berjuang bersama, membangun masa depan yang lebih baik.

"Aku setuju, Bang. Kita coba saja," ujarku, tersenyum lebar.

Bang Hanif tersenyum lega, menggenggam tanganku erat. "Makasih, ya, Tar, sudah percaya sama abang. Nanti kita jalani ini sama-sama, apa pun yang terjadi."

Aku tidak khawatir untuk tinggal serumah dengan mertua. Selama kami pacaran, Ibu dan Bapak Bang Hanif selalu memperlakukanku dengan baik, penuh kasih sayang. Memikirkan mereka, aku merasa lebih tenang.

Dengan penuh semangat, aku dan Bang Hanif bersiap menjalani hidup yang baru, menghadapi cobaan dengan usaha dan doa.

=====

Beberapa bulan menjalani usaha, kami sadar bahwa jalanya tak semudah yang dibayangkan. Ternyata membangun sebuah usaha itu agar berkembang dan maju cukup sulit.

Bengkel yang Bang Hanif buka tidak seramai harapan kami. Setiap hari, hanya ada beberapa motor yang mampir untuk diperbaiki, itu pun sering kali hanya sekadar mengganti oli atau memperbaiki kerusakan kecil.

Di sisi lain, jualanku juga sepi, hanya ramai ketika malam minggu saja, itu pun saat sore dan malam, tapi hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, di tengah kesibukan mencari rezeki, ada sesuatu yang mulai membuatku merasa tak nyaman di rumah ini. Semakin hari, sikap kedua mertuaku terasa berubah, dan itu membuatku bertanya-tanya.

Awalnya aku berpikri mungkin itu cuma perasaanku saja karena kami baru mulai beradaptasi tinggal dan hidup bersama. Namun entah kenapa, perlahan-lahan aku merasa bahwa perubahan sikap mereka bukanlah sekadar dugaanku saja.

Malam ini, saat aku tengah mengemasi peralatan masak, samar-samar terdengar suara Bapak mertua dari dalam toko sebelah, berbicara dengan suara yang rendah tapi jelas sampai di telingaku.

"Enak banget dia nyuruh-nyuruh si Hanif melayani pelanggan. Malu aku kalau anak kita jadi pelayan," gumam ayah mertua dengan nada kesal.

Jantungku terasa berdegup lebih cepat. Aku berhenti sejenak, berpura-pura fokus pada pekerjaanku. Namun, rasanya sulit untuk mengabaikan kata-kata itu.

"Iya," sahut ibu mertua, suaranya tak kalah dingin. "Besok aku coba ngomong baik-baik sama Tari. Aku juga nggak suka kalau Hanif disuruh-suruh seperti itu. Kita aja nggak pernah suruh-suruh anak kita."

Aku menarik napas panjang, menahan segala perasaan yang muncul begitu saja. Rasanya sakit mendengar mereka bicara seperti itu. Padahal, aku tidak pernah memaksa Bang Hanif untuk membantu di lapak jualanku. Ia melakukannya dengan sukarela.

Bukankah wajar jika suami istri saling membantu? Aku tidak berniat merendahkan Bang Hanif atau memposisikannya sebagai pelayan. Kami bekerja sama untuk membangun kehidupan yang lebih baik, tapi sepertinya mertuaku tidak melihatnya seperti itu.

Setelah semuanya rapi, aku masuk ke kamar dengan perasaan yang masih tertahan. Bang Hanif tampak sudah duduk di ujung ranjang, terlihat kelelahan, tapi tetap tersenyum saat melihatku masuk.

"Kamu udah selesai, Sayang?" tanyanya lembut sambil mengulurkan tangan.

Aku mengangguk pelan, lalu duduk di sebelahnya. Namun, tatapanku kosong, memandang lurus ke lantai.

Bang Hanif sepertinya menyadari bahwa ada yang tak beres. "Ada apa, Tar? Kamu kelihatan sedih," tanyanya.

Aku ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya kuputuskan untuk jujur. "Aku tadi dengar percakapan Bapak dan Ibu, Bang," ucapku lirih. "Mereka nggak suka kalau kamu bantuin aku di lapak. Katanya mereka malu kalau kamu terlihat seperti 'pelayan'."

Bang Hanif tertegun, lalu menghela napas panjang.

"Kamu nggak salah, kok, Tar," ujarnya. "Abang memang ingin bantu kamu, ini juga usaha kita bersama. Abang nggak merasa rendah atau malu, malah abang bangga bisa bantu kamu."

Aku tersenyum kecil mendengar kata-katanya, meskipun hatiku masih terasa pedih. "Aku cuma takut mereka salah paham, Bang. Aku nggak mau hubungan kita jadi tegang dengan mereka."

Bang Hanif mengangguk pelan. "Besok abang coba bicara sama Bapak dan Ibu. Abang mau mereka tahu kalau ini kemauan Abang, bukan kamu yang menyuruh atau memaksa."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku