Mantu Kurang Ajar
nif dengan suara datar. Raut ke
ruang tamu kami. Rasanya semua mimpi dan harapan yang kami bangun, men
etenangan. "Mungkin rezeki kita memang sudah habis di pabrik itu. Nanti a
Selama di perjalanan pulang tadi, Abang, sudah
nyaku, penasaran da
masih ada petakan yang kosong. Jadi kita buka usaha aja di sana, sepetak buat Abang buka bengkel, sepetak lagi buat kamu
ngar penuh keyakinan, tetapi perasaanku dilanda kekhawatir
kunya. "Ini uang pesangon dari pabrik. Lumayan, daripada habis hanya untuk kebutuhan
a yang menyelimuti kami. Pikiranku mulai melayang, membayangkan ka
ita coba saja," ujar
t. "Makasih, ya, Tar, sudah percaya sama abang. Nan
pacaran, Ibu dan Bapak Bang Hanif selalu memperlakukanku dengan ba
if bersiap menjalani hidup yang baru, m
=
nya tak semudah yang dibayangkan. Ternyata membangun
hanya ada beberapa motor yang mampir untuk diperbaiki, itu pun serin
malam minggu saja, itu pun saat sore dan malam, tap
i membuatku merasa tak nyaman di rumah ini. Semakin hari, sikap
ai beradaptasi tinggal dan hidup bersama. Namun entah kenapa, perlahan-lah
mar terdengar suara Bapak mertua dari dalam toko sebelah, berb
ani pelanggan. Malu aku kalau anak kita jadi
i sejenak, berpura-pura fokus pada pekerjaanku. Na
ngomong baik-baik sama Tari. Aku juga nggak suka kalau Hanif disur
anya sakit mendengar mereka bicara seperti itu. Padahal, aku tidak pernah memak
ng Hanif atau memposisikannya sebagai pelayan. Kami bekerja sama untuk membangun
masih tertahan. Bang Hanif tampak sudah duduk di ujung ranjang,
ang?" tanyanya lembut s
di sebelahnya. Namun, tatapanku k
wa ada yang tak beres. "Ada apa, Ta
percakapan Bapak dan Ibu, Bang," ucapku lirih. "Mereka nggak suka kalau kamu b
gun, lalu menghe
n bantu kamu, ini juga usaha kita bersama. Abang nggak me
masih terasa pedih. "Aku cuma takut mereka salah paham, Ba
sama Bapak dan Ibu. Abang mau mereka tahu kalau ini