Mantu Kurang Ajar
an wajah datar. "Tar, kamu bisa nggak, ya, lebih rajin lagi jualannya? Jangan minta bantuan Hanif teru
rasa teriris. "Iya, Bu, saya akan berusa
mertua semakin dingin, nyaris tak pernah t
entuh makanan atau minuman yang aku buatkan. Yang lebih pedih, beliau akan
singkat, lalu berlalu tanpa sepatah kata, apalagi
kemarin dan sepertinya mereka agak marah padaku. Jadi, aku me
h keras dari sebelumnya, menyajikan pesanan nasi goreng, mie rebus, dan melayani pelangga
ujarnya sambil mengangkat
r tubuh. "Nggak usah, Bang. Kamu pasti capek di bengkel seharian. I
bingung. "Kamu yakin, Tar? Abang nggak
g. Nggak apa-apa kok. Anggap aja ini latihan buat aku, supay
ri. Kadang sampai tengah malam, aku masih melayani pelanggan yang datang, m
agangan di dapur, tiba-tiba pandanganku terasa berputar. Tubuhku
memutuskan untuk tidak berjualan. Badanku terasa lel
rbangun, perutku terasa kosong, membuatku langsung menuju
i sana. Hatiku terasa kembali teriris. Aku sadar, mungkin ini hal sepele, tap
cari Bang Hanif. Saat itu, ia masih berada di bengkelnya yang
mencoba terdengar biasa saja mesk
k beli nasi bungkus. Jadi, mereka sekalian beliin
nku. Padahal Ibu mertua tahu sejak pagi tadi aku tidak enak badan. Hatiku
tanyaku, mencoba mencari kepast
ran. "Kamu mau? Aku bisa pergi beliin l
ar-benar tak peduli. Mereka tahu aku tidak sehat, tapi tetap tak menganggap keberadaanku. Bagiku
a dengan senyum yang kupaksakan. "A
instan yang kubeli di toko Ibu mertua. Aku menyeduh mie instan dengan