Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Night Flower
5.0
Komentar
12
Penayangan
5
Bab

Raisa terkenal sebagai 'produk' kebanggaan Heaven Club. Parasnya yang cantik, tubuhnya yang sexy semampai, juga suaranya yang halus dan sensual. Namun, tak ada yang diizinkan menyentuh tubuhnya, sebesar apapun mereka membayar. Karena Raisa adalah milik Giandra. Hatinya, bibirnya, tubuhnya. ***** "Tuhan memang bisa mengatur semua yang terjadi di dunia ini, tapi hanya aku yang bisa mengatur setiap langkah dan katamu." "Kalau begitu, apa yang harus ku lakukan?" "Berlututlah, layani Tuanmu ini."

Bab 1 Prolog: Taklukkan anjing cantik itu

Gemerlap lampu memeriahkan suasana malam dalam ruang sesak itu. Bau menyengat alkohol menusuk hidung, berlomba dengan asap rokok yang menyesakkan dada. Bagaikan sengaja menyiksa diri, orang-orang itu malah berhimpitan satu sama lain dengan tubuh terus meliuk.

Lampu putar yang terpasang di langit-langit mengeluarkan cahaya berwarna-warni, selaras dengan pakaian para pengunjung Heaven Club di mana mereka memakai pakaian yang seakan mampu memantulkan sinar bulan. Belum lagi gelas kristal di tangan mereka.

Di antara hiruk pikuk itu, tepatnya di lantai dua, seorang pria tengah berdiri di balik pembatas dengan wajah datarnya. Di sampingnya seorang wanita dewasa dengan riasan tebal dan merona terus menggosok-gosok tangan khawatir.

"Bagaimana, Tuan? Bukankah ini sangat bagus. Bahkan tak ada satu celah pun untuk seekor semut berkeliaran. Club ini penuh sesak dengan 'uang'." Wanita itu tersenyum lebar, menunjukkan gigi yang dihiasi lipstik merah.

Dia harus mendongak demi bisa melihat pria tampan di sampingnya. Karena mereka berdiri berdampingan, mau tak mau wnaita itu bisa melihat dada bidang dengan otot yang sepertinya ingin meloloskan diri dari kemeja yang terlihat sesak.

"Apa yang kau lihat?"

Pertanyaan mendadak itu mampu membuat si wanita terlonjak, dia segera membuang muka. Bagaimana bisa dia ketahuan memperhatikan tubuh gagah itu, saat mereka tengah membicarakan hal serius.

"Maaf, Tuan." Hanya itu yang bisa dia katakan, tentu sambil menunduk dalam.

Pria di sampingnya terlihat tak acuh, dan kembali menatap club yang kian malam justru bertambah ramai. Pintu masuk tak pernah bisa tertutup tenang karena selalu saja ada yang keluar masuk lewat sana.

"Oh iya, Tuan. Denada mengabarkan bahwa akan ada perempuan baru di Club malam ini. Kebetulan ini adalah hari Tuan berkunjung. Bagaimana kalau Tuan melihatnya secara langsung?"

Pria itu bahkan tak mau repot-repot melirik. Club besar ini adalah miliknya. Benar-benar miliknya seutuhnya. Tak ada campur tangan orang lain sedikitpun. Minuman, semuanya di kirim dari perusahaan minumannya. Dan begitupun bahan-bahan yang lain. Bahkan wanita yang disediakan khusus untuk para tamu ber-uang.

"Tuan, Denada sendiri yang mengatakan kalau perempuan kali ini masih 'tersegel'. Belum pernah diicip oleh siapapun. Makanya dari tadi saya menyebutnya sebagai perempuan, bukan wanita. Bagaimana, apa Tuan tertarik melihatnya?"

Satu alis gelap itu terangkat. Si wanita kembali menggosok-gosok tangannya, kini karena merasa senang. Dia yakin perempuan yang asistennya, Denada, bawa adalah pembawa keberuntungan. Karena baru mendengar namanya saja, ada begitu banyak pengunjung yang sudah 'memesan' dan bahkan berusaha memberi harga terbesar demi menjadi tamu utama.

"Kenapa perempuan seperti itu bekerja di sini?" pertanyaan itu dilempar tanpa banyak emosi berarti. Hanya sebuah rasa tak habis pikir dengan sedikit bumbu penasaran.

"Denada mengatakan perempuan itu datang sendiri tanpa paksaan dari siapapun. Jadi Tuan tak perlu khawatir. Pasti perempuan secantik itu tak ingin hidup susah dan memilih hidup nyaman hanya dengan membuka kaki di atas ranjang."

"Jaga ucapanmu!"

Peringatan pelan itu mampu membuat si wnaita diam tak berkutik. Karena tak ingin salah bicara lagi, dia pun memutuskan diam, ikut memperhatikan ricuhnya suasana club malam itu.

...

Suara ketukan pada lantai terdengar nyaring di tengah ruangan sunyi itu. Di antara lorong-lorong remang, langkah kaki pria berparas tampan itu bagaikan peringatan kedatangan untuk setiap manusia yang asik bersenang-senang di setiap bilik ruang.

Wanita dengan riasan menor itu mempercepat langkah mengikuti si pria. Dia berjalan lebih dulu ketika sudah sampai di depan dua belah pintu besar. Dengan sopan dia membukakan pintu, mempersilahkan pria itu masuk terlebih dulu. Setelah keduanya masuk, tak lupa pintu besar itu kembali dikunci.

Di dalam ruangan berdinding coklat itu terdapat sofa membentuk U berwarna merah, dengan meja kaca persegi di tengahnya. Aroma harusm sensual tercium dari setiap titik sudut, asalnya dari lilin-lilin indah di dalam wadah kaca.

"Denada! Cepat bawa dia ke sini. Tuan juga akan ikut menilai!" teriak wanita itu, setelah si pria duduk di sofa single.

Tak berselang lama, dari balik tirai merah terlihat bayangan dua orang perempuan. Alis si pria terangkat kecil, menunggu hingga salah satu tangan milik dua wanita itu membuka tirai. Wanita berdandanan tebal di depannya menggosok-gosok tangan, tak sabar menunjukkan 'anjing baru' pada sang Tuan.

Tirai perlahan tersibak. Dua orang oerempuan cantik terlihat berdiri berdampingan. Yang tersenyum lebar adalah Denada. Sedangkan perempuan yang menunduk dengan tangan menggenggam erat ujung gaun pendeknya itu adalah perempuan yang menawarkan diri pada Heaven Club.

"Siapa nama kamu?" tanya si wanita.

Perempuan itu menggigit bibir berlipstick merahnya. "Ra-Raisa ...," jawabnya lirih.

Mata si pria menatap lurus pada perempuan itu, Raisa. Dia tak memutus pandang barang sedetik pun. Netranya seakan dipaku pada wajah menunduk yang tak terlihat jelas karena tertutup helaian rambut.

"Bawa dia ke sini," perintah wanita itu pada Denada.

Denada mengangguk, dengan satu tangan memegang lengan Raisa dan satunya lagi merangkul punggung perempuan itu dia mendekat. Raisa dia dorong kecil ke hadapan si wanita, untuk ditanyai beberapa hal.

"Panggil saya Dame Rita."

Wanita itu, yang bernama Rita, memberi oerintah. Saat Raisa hanya menelan ludah dan bukannya menjawab, dia segera mencekal lengannya. Mata berlingkar celak gelap itu melotot lebar, berusaha mengintimidasi.

Raisa membasahi bibirnya yang kering, berusaha menjawab walau terbata. "D-Dame Rita."

Rita mendengus, mengempas lengan Raisa dan beralih bersilang dada. "Kamu harus tahu sopan santun di sini!"

Denada tertawa kecil mendengar ucapan Rita, mengakibatkan sebuah pelototan tajam terlempar ke arahnya. Akhirnya ia hanya bisa mengulum bibir sambil membuang muka pada pintu yang terkunci rapat.

Rita kembali berfokus pada Raisa. "Kamu membuat saya kesal, jadi malam ini juga kamu akan melaya-"

"Raisa," panggilan datar dari si pria mampu menghentikan suara keras Rita.

Rita langsung menoleh walau bukan namanya yang dipanggil. "Ada apa Tuan?"

"Raisa." Pria itu kembali memanggil. "Kenapa kamu bekerja di sini?"

Raisa melirik pria itu dan Rita, yang mendelik padanya, bergantian. "Saya ... membutuhkan uang untuk pengobatan adik saya."

Alis si pria tertarik ke atas. "Lanjutkan."

Tangan Raisa saling meremas satu sama lain. Dia terus-terusan menjilati bibir yang terasa kering, hingga lipstik yang semula tebal kini berangsur samar. Warna asli bibirnya yang merah muda dan sedikit pucat menarik perhatian si pria.

"Adik saya mengalami kecelakaan, dan harus segera dioperasi. Saya hanya punya ijazah SMP ... tidak ada yang mau menerima saya bekerja. Satu minggu yang lalu saya dipecat dari toko tempat saya bekerja karena dituduh mencuri."

Pria itu bangkit nerdiri. Dengan satu tangan di dalam saku celana dia mendekati Raisa. Kakinya berhenti melangkah tepat satu jengkal di depan Raisa, membuat kepala perempuan itu hampir menyentuh dadanya.

"Angkat kepala kamu," perintahnya.

Karena Raisa tak langsung menurut, tangan pria itu yang menggantung di samping tubuh pun terangkat. Dengan kedua jari dia menyentuh dagu Raisa, menariknya hingga kepala perempuan itu mendongak.

Sekarang paras cantik itu bisa terlihat dengan jelas. Hidung mancung, bibir tebal dengan luka kecil yang merembeskan darah. Bahkan dagu belah dua yang menjadi impian banyak wnaita. Yang terakhir, yang paling menarik perhatian pria itu adalah mata Raisa. Netra hitam kelam yang seakan menghipnotis agar tak ada seorangpun yang mampu berpaling.

"Tanda tangani kontrak baru ..." Pria itu menelengkan kepala kecil, mempermudah dirinya menatap bibir tebal Raisa. "Denganku."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Luigyhara

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku