Cinta Gila Putra Konglomerat (Zero)

Cinta Gila Putra Konglomerat (Zero)

Masatha

5.0
Komentar
2.5K
Penayangan
26
Bab

Memiliki teman yang posesif dan memperlakukan dirinya layaknya kekasih, membuat Pamela memberanikan diri menyatakan cinta. Tetapi justru penolakan dan penghinaan yang Pamela dapatkan. Setelah itu Zero menghilang tanpa kabar, sementara Pamela trauma untuk jatuh cinta. Sampai Pamela bertemu dengan Tirta, lelaki lembut yang karakternya berbanding terbalik dengan Zero. Tirta berhasil menyembuhkan rasa traumanya, bahkan menemani dan menyemangati Pamela menjadi orang yang sukses. Saat Pamela dan Tirta berkomitmen untuk menikah, justru Zero datang kembali dengan segala kegilaanya. Ditambah munculnya Hani, mantan Tirta. Meskipun Tirta tetap memilih Pamela, Zero melakukan segala cara untuk memisahkan mereka. Menjerat kembali kebebasan Pamela serta memporak-porandakan kedamaiannya Pamela dengan segala ancaman. Follow Instagram Masatha2022

Bab 1 Kembali

"Bagus Lo pakai pakaian kurang bahan gitu? Mau caper sama siapa, hah?" gertak Zero menatap tajam.

"Ehm, ini Aurora yang dandanin gue," cicit Pamela menundukkan kepalanya.

"Lain kali kalau adek gue ngajarin aneh-aneh Lo harus nolak! Gue nggak suka lihat Lo jadi pusat perhatian cowok-cowok!"

"I-iya, Zero."

Zero melepaskan Hoodie warna abu-abunya, lalu melempar ke wajah Pamela.

*

*

*

"Gue udah pernah bilang, Pamela. Jangan dekat-dekat sama cowok lain!" tegas Zero.

"Dia anaknya langganan toko kue mama, gue cuma ngasih kembalian soalnya kemarin mamanya keburu-buru pergi," jawab Pamela mencoba menjelaskan.

"Nggak usah banyak alasan! Lo bisa kan tinggal transfer aja nggak usah pakai ketemuan begitu!" sergah Zero.

"Lo kenapa sih? Kita ini cuma temen, gue mau sama siapapun juga bukan urusan Lo," balas Pamela uang muka merasa jengah.

"Oh ... Sudah berani melawan rupanya," gumam Zero menyeringai, tanpa basa-basi langsung menarik tengkuk Pamela dan membungkam mulut gadis itu secara paksa.

"Hemph ..."

Semakin Pamela memberontak membuat Zero semakin brutal. Pada akhirnya Pamela hanya bisa pasrah dan menangis.

"Nggak usah cengeng, baru gue cium belum yang lebih," cibir Zero tersenyum puas.

"Lo jahat, Zero! Kita ini cuma sebatas teman tapi sikap Lo selalu seenaknya sendiri sama gue!" bentak Pamela memukul dada Zero.

"Teriak sekali lagi! Gue cium Lo sampai pingsan!"

Untuk yang kesekian kalinya, Pamela tak berani melawan dan terus mengalah sekalipun tidak bersalah.

*

*

*

"Zero, gue cinta sama Lo," ucap Pamela malu-malu.

"Gue nggak cinta sama Lo, sebaiknya Lo lupain gue!" tolak Zero dengan ekspresi datar.

Harga diri Pamela merasa terluka, padahal sebagai perempuan dia sudah merendahkan diri untuk mengakui perasaannya.

"Lalu selama ini bagi Lo gue ini apa? Sebatas teman tidak akan pernah ciuman bibir, Zero! Dan sikap Lo yang tidak dekat dengan gadis manapun kecuali gue, membuat gue salah paham," tangis Pamela tak memikirkan rasa malunya lagi.

"Anggap saja gue cowok brengsek!" jawab Zero tanpa menatap mata Pamela.

"Lo jahat, Zero. gue benci Lo!" tangis Pamela.

*

*

*

Lima tahun kemudian

Pagi ini Zero baru menginjakkan kaki di tanah air setelah lima tahun lamanya kuliah di Belanda dan masuk club' sepak bola di sana.

Menjadi pemain sepak bola adalah cita-cita Zero sejak kecil, dan menjadi sebuah kebanggan tersendiri akhirnya bisa dipanggil oleh pelatih untuk membela Timnas Indonesia. Yang lebih membahagiakan lagi karena dia bisa satu tim dengan teman masa kecilnya, Aldert Sander.

Sepulang dari pertemuan bersama pelatih dan seluruh tim diapun diajak oleh Sander untuk ngopi bersama.

"Enaknya kemana?" tanya Sander.

"Terserah Lo saja yang lebih paham daerah sini," jawab Zero.

"Baiklah, kalau gitu kita mampir ke cafe milik Tirta saja. Di sana tempatnya asyik buat nongkrong, apalagi dessert milik calon istrinya sangat enak," saran Sander antusias.

"Tirta? Ketua OSIS di SMA kita dulu ya?"

"Iya."

"Wah, sudah mau menikah rupanya," gumam Zero.

"Tujuan akhir dari seorang lelaki setelah sukses ya menikah bukan?" canda Sander.

Zero terdiam, menikah tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bukan karena dia tidak yakin bisa menafkahi istri dan anak-anak, tapi dia memiliki rasa trauma tersendiri takut jika tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik dan pada akhirnya membuat istri dan anak-anaknya menderita.

Tak lama kemudian mobil yang dikendarai oleh Sander belok ke sebuah cafe yang besar. Dimana cafe tersebut sangat ramai didatangi anak-anak muda.

Saat keduanya masuk, langsung mendapat sambutan dari teman mereka-Tirta.

"Hallo, Zero. Sudah lama kita tidak bertemu, kamu semakin tampan dan gagah saja?" sapa Tirta.

Zero membalas pelukan temannya sambil tersenyum simpul.

"Ayo ngobrol ke lantai dua saja, lebih enak ngobrol di rooftop!" saran Tirta.

"Oke," jawab Zero.

"Kalian mau pesan apa? Khusus kalian gue gratisin sampai puas!" timpal Tirta.

"Kopi dan dessert seperti biasa," jawab Sander.

"Gue samain aja," timpal Zero.

"Oke, gue bilang ke pelayan dulu. Kalian berdua naiklah duluan!" balas Tirta.

"Sip!" balas Sander sambil mengajak Zero untuk menaiki tangga.

Malam ini terasa begitu syahdu, saat Zero berdiri di pembatas dia bisa lihat jalanan yang padat oleh kendaraan. Hal yang tidak berubah dari Jakarta adalah kemacetan.

"Kok malah berdiri di sini?" tanya Sander yang ikutan berdiri di sisinya.

"Nggak papa, gue cuma ingin melihat suasana malam," jawab Zero.

"Hati aman?" canda Sander.

"Maksudnya apa?"

"Ya rindu pacar mungkin, yang di Belanda."

Zero tersenyum smirk, lalu menatap Sander.

"Gue nggak punya pacar."

"What, Serius Lo? Cowok seganteng dan sekeren Lo masa jomblo?" pekik Sander tak percaya.

"Nggak percaya ya sudah."

"Ternyata Lo masih sama seperti dulu, dingin. Makanya gak ada cewek yang berani deketin Lo," cibir Sander.

"Emangnya Lo sudah punya?" tanya Zero balik.

"Pacar sih enggak, tapi kalau tunangan ada. Percuma juga gue pacaran, toh pada akhirnya gue bakal dijodohin," jawab Sander.

"Sama perempuan Indonesia apa Belanda?" tanya Zero penasaran.

"Belanda. Aslinya gue suka perempuan Indonesia, seperti adik Lo itu," keluh Sander.

"Aurora maksudnya? Dia sudah menikah!" tegas Zero.

"Iya gue tahu, tapi dulu gue naksir sama adik Lo itu gue sungguhan Loh. Sayangnya gue harus mundur sebelum gue berjuang, karena dia sudah ditandain," balas Sander pura-pura mewek.

Zero hanya tertawa, temannya yang blasteran Indonesia-Belanda dengan rambut blonde itu memang selalu lucu.

"Kalian lagi bahas apa kok asyik sekali?" sapa Tirta yang baru datang bersama dua pelayan lain membawakan pesanan.

"Ini, membahas pacar. Masa Zero yang gantengnya nggak ngotak ini masih jomblo," jawab Sander.

Zero memutar bolanya malas, memilih untuk duduk dan menikmati kopi panasnya.

"Nggak usah khawatir tentang Zero, selain tampan dia juga anak konglomerat. Kalau hanya cuma ingin memiliki pacar mah tinggal tunjuk saja," ujar Tirta terkekeh.

"Oh iya, Lo katanya mau menikah. Apakah masih dengan Hani? Sekertaris OSIS itu?" sela Zero.

"Bukan, gue sama Hani udah lama putus ya. Gue udah pacaran satu tahun sama teman kuliah. Ini dessert dari toko kuenya," jawab Tirta.

"Dia karyawan Lo?" tanya Zero penasaran.

"Bukan, dia punya toko kue sendiri. Tapi karena enak makanya gue ambil dari sana," balas Tirta.

Sebenarnya sudah lama Zero tidak memakan dessert, setiap jenis kue membuat dia teringat akan sesuatu. Tetapi dengan menghargai temannya, Zero pun mulai menikmati hidangan di depannya.

Deg!

Seketika Zero mematung-Dejavu. Rasa dessert yang barusan membawanya dalam sebuah kenangan.

"Zero, Lo kenapa?" sela Sander yang heran melihat sikap Zero.

Zero langsung tersentak. Yah, tidak mungkin! Dimana-mana yang namanya dessert rasanya seperti itu.

"Enak nggak?" tanya Tirta.

"Enak," jawab Zero sekenanya. Setelah itu tidak mau memakannya lagi.

"Tirta, kenalin ke kita dong calon istri Lo!" pinta Sander.

"Lain kali saja, dia lagi sibuk merawat mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit," jawab Tirta.

"Oalah, oke."

"Eh, sebentar lagi ada reunian di SMA kita loh. Kalian berdua ikut kan?" tanya Tirta.

"Nggak tahu, gue sama Zero tiga Minggu lagi harus mengikuti pelatihan yang ketat untuk pertandingan nanti," jawab Sander.

"Acara reunian seminggu lagi kok, ayolah kalian berdua ikut biar seru!" bujuk Tirta.

"Gue ngikut Sander ajalah, kalau dia datang ya gue datang," jawab Zero.

"Gue juga mikir gitu, kalau Zero datang ya gue datang. Kalau dia enggak, yang gue enggak," balas Sander.

"Njir, kalian jadi kaya pasangan hombreng yang kemana-mana harus berduaan," ejek Tirta.

Seketika mata Zero dan Sander melotot, mereka tidak terima dengan tuduhan itu.

"Gue cuma bercanda, yaelah," balas Tirta tertawa ngakak.

"Candaan Lo nggak asyik, kalau orang lain dengar dikira beneran," sinis Sander. " kan kasihan Zero nanti jadi nggak laku, kalau gue mah udah ada tunangan," timpalnya.

"Iya-maaf. Gitu aja ngambek ih," balas Tirta lagi.

Tiba-tiba datang dua orang perempuan, salah satunya terasa familiar bagi Zero.

"Hani, Lo Hani kan?" sapa Zero memastikan.

"Iya, eh Lo Zero kan?" balas Hani.

Zero hanya tersenyum simpul. Penampilan temannya itu berubah sebab dulu masih natural tanpa make up.

"Lo ngapain ke sini?" Tanya Tirta dengan wajah bingung.

"Ya ampun, kalau sama pelanggan yang baik dong," sindir Sander.

"Tuh Sander aja tahu, masa pemilik Cafe malah mau ngusir pelanggannya," jawab Hani langsung mengajak temannya duduk satu meja dengan mereka.

Zero dan Sander biasa saja, karena memang Hani adalah teman semasa SMA. Sedangkan Tirta yang menjadi mantan Hani malah nampak tidak nyaman.

"Oh iya kenalin, ini sepupu gue namanya Cantika," sela Hani ramah.

"Hay, gue Sander," balas Sander.

"Zero," jawab Zero datar.

"Kalian berdua masuk timnas ya? Duh hebat sekali kalian," balas Hani.

"Makanya besok pas pertandingan kalian semua nonton," jawab Sander.

"Pasti itu, iya kan Tirta?" sela Hani melirik ke Tirta.

"Hm," jawab Tirta berubah masam.

Setelah itu perbincangan didominasi oleh Sander dan Hani, sementara Zero dan yang lainnya hanya mendengarkan cerita mereka.

Pukul sepuluh malam, barulah mereka berpamitan pulang. Zero, diantarkan oleh Sander sebab dia tadi tidak membawa kendaraan sendiri karena dijemput olehnya.

"Sander ..."

"Hm?"

"Lo ngerasa aneh nggak sih sama Tirta?" tanya Zero.

"Aneh kenapa?" tanya Sander fokus nyetir.

"Dia kaya nggak nyaman setelah ada Hani, dan terlihat juga kalau Hani masih ngejar dia."

"Dih, sejak kapan Lo memperhatikan orang lain?" cibir Sander.

"Lo benar, mau Tirta selingkuh dengan Hani juga bukan urusan gue," jawab

"Bagus Lo pakai pakaian kurang bahan gitu? Mau caper sama siapa, hah?" gertak Zero menatap tajam.

"Ehm, ini Aurora yang dandanin gue," cicit Pamela menundukkan kepalanya.

"Lain kali kalau adek gue ngajarin aneh-aneh Lo harus nolak! Gue nggak suka lihat Lo jadi pusat perhatian cowok-cowok!"

"I-iya, Zero."

Zero melepaskan Hoodie warna abu-abunya, lalu melempar ke wajah Pamela.

*

*

*

"Gue udah pernah bilang, Pamela. Jangan dekat-dekat sama cowok lain!" tegas Zero.

"Dia anaknya langganan toko kue mama, gue cuma ngasih kembalian soalnya kemarin mamanya keburu-buru pergi," jawab Pamela mencoba menjelaskan.

"Nggak usah banyak alasan! Lo bisa kan tinggal transfer aja nggak usah pakai ketemuan begitu!" sergah Zero.

"Lo kenapa sih? Kita ini cuma temen, gue mau sama siapapun juga bukan urusan Lo," balas Pamela uang muka merasa jengah.

"Oh ... Sudah berani melawan rupanya," gumam Zero menyeringai, tanpa basa-basi langsung menarik tengkuk Pamela dan membungkam mulut gadis itu secara paksa.

"Hemph ..."

Semakin Pamela memberontak membuat Zero semakin brutal. Pada akhirnya Pamela hanya bisa pasrah dan menangis.

"Nggak usah cengeng, baru gue cium belum yang lebih," cibir Zero tersenyum puas.

"Lo jahat, Zero! Kita ini cuma sebatas teman tapi sikap Lo selalu seenaknya sendiri sama gue!" bentak Pamela memukul dada Zero.

"Teriak sekali lagi! Gue cium Lo sampai pingsan!"

Untuk yang kesekian kalinya, Pamela tak berani melawan dan terus mengalah sekalipun tidak bersalah.

*

*

*

"Zero, gue cinta sama Lo," ucap Pamela malu-malu.

"Gue nggak cinta sama Lo, sebaiknya Lo lupain gue!" tolak Zero dengan ekspresi datar.

Harga diri Pamela merasa terluka, padahal sebagai perempuan dia sudah merendahkan diri untuk mengakui perasaannya.

"Lalu selama ini bagi Lo gue ini apa? Sebatas teman tidak akan pernah ciuman bibir, Zero! Dan sikap Lo yang tidak dekat dengan gadis manapun kecuali gue, membuat gue salah paham," tangis Pamela tak memikirkan rasa malunya lagi.

"Anggap saja gue cowok brengsek!" jawab Zero tanpa menatap mata Pamela.

"Lo jahat, Zero. gue benci Lo!" tangis Pamela.

*

*

*

Lima tahun kemudian

Pagi ini Zero baru menginjakkan kaki di tanah air setelah lima tahun lamanya kuliah di Belanda dan masuk club' sepak bola di sana.

Menjadi pemain sepak bola adalah cita-cita Zero sejak kecil, dan menjadi sebuah kebanggan tersendiri akhirnya bisa dipanggil oleh pelatih untuk membela Timnas Indonesia. Yang lebih membahagiakan lagi karena dia bisa satu tim dengan teman masa kecilnya, Aldert Sander.

Sepulang dari pertemuan bersama pelatih dan seluruh tim diapun diajak oleh Sander untuk ngopi bersama.

"Enaknya kemana?" tanya Sander.

"Terserah Lo saja yang lebih paham daerah sini," jawab Zero.

"Baiklah, kalau gitu kita mampir ke cafe milik Tirta saja. Di sana tempatnya asyik buat nongkrong, apalagi dessert milik calon istrinya sangat enak," saran Sander antusias.

"Tirta? Ketua OSIS di SMA kita dulu ya?"

"Iya."

"Wah, sudah mau menikah rupanya," gumam Zero.

"Tujuan akhir dari seorang lelaki setelah sukses ya menikah bukan?" canda Sander.

Zero terdiam, menikah tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Bukan karena dia tidak yakin bisa menafkahi istri dan anak-anak, tapi dia memiliki rasa trauma tersendiri takut jika tidak bisa menjadi sosok ayah yang baik dan pada akhirnya membuat istri dan anak-anaknya menderita.

Tak lama kemudian mobil yang dikendarai oleh Sander belok ke sebuah cafe yang besar. Dimana cafe tersebut sangat ramai didatangi anak-anak muda.

Saat keduanya masuk, langsung mendapat sambutan dari teman mereka-Tirta.

"Hallo, Zero. Sudah lama kita tidak bertemu, kamu semakin tampan dan gagah saja?" sapa Tirta.

Zero membalas pelukan temannya sambil tersenyum simpul.

"Ayo ngobrol ke lantai dua saja, lebih enak ngobrol di rooftop!" saran Tirta.

"Oke," jawab Zero.

"Kalian mau pesan apa? Khusus kalian gue gratisin sampai puas!" timpal Tirta.

"Kopi dan dessert seperti biasa," jawab Sander.

"Gue samain aja," timpal Zero.

"Oke, gue bilang ke pelayan dulu. Kalian berdua naiklah duluan!" balas Tirta.

"Sip!" balas Sander sambil mengajak Zero untuk menaiki tangga.

Malam ini terasa begitu syahdu, saat Zero berdiri di pembatas dia bisa lihat jalanan yang padat oleh kendaraan. Hal yang tidak berubah dari Jakarta adalah kemacetan.

"Kok malah berdiri di sini?" tanya Sander yang ikutan berdiri di sisinya.

"Nggak papa, gue cuma ingin melihat suasana malam," jawab Zero.

"Hati aman?" canda Sander.

"Maksudnya apa?"

"Ya rindu pacar mungkin, yang di Belanda."

Zero tersenyum smirk, lalu menatap Sander.

"Gue nggak punya pacar."

"What, Serius Lo? Cowok seganteng dan sekeren Lo masa jomblo?" pekik Sander tak percaya.

"Nggak percaya ya sudah."

"Ternyata Lo masih sama seperti dulu, dingin. Makanya gak ada cewek yang berani deketin Lo," cibir Sander.

"Emangnya Lo sudah punya?" tanya Zero balik.

"Pacar sih enggak, tapi kalau tunangan ada. Percuma juga gue pacaran, toh pada akhirnya gue bakal dijodohin," jawab Sander.

"Sama perempuan Indonesia apa Belanda?" tanya Zero penasaran.

"Belanda. Aslinya gue suka perempuan Indonesia, seperti adik Lo itu," keluh Sander.

"Aurora maksudnya? Dia sudah menikah!" tegas Zero.

"Iya gue tahu, tapi dulu gue naksir sama adik Lo itu gue sungguhan Loh. Sayangnya gue harus mundur sebelum gue berjuang, karena dia sudah ditandain," balas Sander pura-pura mewek.

Zero hanya tertawa, temannya yang blasteran Indonesia-Belanda dengan rambut blonde itu memang selalu lucu.

"Kalian lagi bahas apa kok asyik sekali?" sapa Tirta yang baru datang bersama dua pelayan lain membawakan pesanan.

"Ini, membahas pacar. Masa Zero yang gantengnya nggak ngotak ini masih jomblo," jawab Sander.

Zero memutar bolanya malas, memilih untuk duduk dan menikmati kopi panasnya.

"Nggak usah khawatir tentang Zero, selain tampan dia juga anak konglomerat. Kalau hanya cuma ingin memiliki pacar mah tinggal tunjuk saja," ujar Tirta terkekeh.

"Oh iya, Lo katanya mau menikah. Apakah masih dengan Hani? Sekertaris OSIS itu?" sela Zero.

"Bukan, gue sama Hani udah lama putus ya. Gue udah pacaran satu tahun sama teman kuliah. Ini dessert dari toko kuenya," jawab Tirta.

"Dia karyawan Lo?" tanya Zero penasaran.

"Bukan, dia punya toko kue sendiri. Tapi karena enak makanya gue ambil dari sana," balas Tirta.

Sebenarnya sudah lama Zero tidak memakan dessert, setiap jenis kue membuat dia teringat akan sesuatu. Tetapi dengan menghargai temannya, Zero pun mulai menikmati hidangan di depannya.

Deg!

Seketika Zero mematung-Dejavu. Rasa dessert yang barusan membawanya dalam sebuah kenangan.

"Zero, Lo kenapa?" sela Sander yang heran melihat sikap Zero.

Zero langsung tersentak. Yah, tidak mungkin! Dimana-mana yang namanya dessert rasanya seperti itu.

"Enak nggak?" tanya Tirta.

"Enak," jawab Zero sekenanya. Setelah itu tidak mau memakannya lagi.

"Tirta, kenalin ke kita dong calon istri Lo!" pinta Sander.

"Lain kali saja, dia lagi sibuk merawat mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit," jawab Tirta.

"Oalah, oke."

"Eh, sebentar lagi ada reunian di SMA kita loh. Kalian berdua ikut kan?" tanya Tirta.

"Nggak tahu, gue sama Zero tiga Minggu lagi harus mengikuti pelatihan yang ketat untuk pertandingan nanti," jawab Sander.

"Acara reunian seminggu lagi kok, ayolah kalian berdua ikut biar seru!" bujuk Tirta.

"Gue ngikut Sander ajalah, kalau dia datang ya gue datang," jawab Zero.

"Gue juga mikir gitu, kalau Zero datang ya gue datang. Kalau dia enggak, yang gue enggak," balas Sander.

"Njir, kalian jadi kaya pasangan hombreng yang kemana-mana harus berduaan," ejek Tirta.

Seketika mata Zero dan Sander melotot, mereka tidak terima dengan tuduhan itu.

"Gue cuma bercanda, yaelah," balas Tirta tertawa ngakak.

"Candaan Lo nggak asyik, kalau orang lain dengar dikira beneran," sinis Sander. " kan kasihan Zero nanti jadi nggak laku, kalau gue mah udah ada tunangan," timpalnya.

"Iya-maaf. Gitu aja ngambek ih," balas Tirta lagi.

Tiba-tiba datang dua orang perempuan, salah satunya terasa familiar bagi Zero.

"Hani, Lo Hani kan?" sapa Zero memastikan.

"Iya, eh Lo Zero kan?" balas Hani.

Zero hanya tersenyum simpul. Penampilan temannya itu berubah sebab dulu masih natural tanpa make up.

"Lo ngapain ke sini?" Tanya Tirta dengan wajah bingung.

"Ya ampun, kalau sama pelanggan yang baik dong," sindir Sander.

"Tuh Sander aja tahu, masa pemilik Cafe malah mau ngusir pelanggannya," jawab Hani langsung mengajak temannya duduk satu meja dengan mereka.

Zero dan Sander biasa saja, karena memang Hani adalah teman semasa SMA. Sedangkan Tirta yang menjadi mantan Hani malah nampak tidak nyaman.

"Oh iya kenalin, ini sepupu gue namanya Cantika," sela Hani ramah.

"Hay, gue Sander," balas Sander.

"Zero," jawab Zero datar.

"Kalian berdua masuk timnas ya? Duh hebat sekali kalian," balas Hani.

"Makanya besok pas pertandingan kalian semua nonton," jawab Sander.

"Pasti itu, iya kan Tirta?" sela Hani melirik ke Tirta.

"Hm," jawab Tirta berubah masam.

Setelah itu perbincangan didominasi oleh Sander dan Hani, sementara Zero dan yang lainnya hanya mendengarkan cerita mereka.

Pukul sepuluh malam, barulah mereka berpamitan pulang. Zero, diantarkan oleh Sander sebab dia tadi tidak membawa kendaraan sendiri karena dijemput olehnya.

"Sander ..."

"Hm?"

"Lo ngerasa aneh nggak sih sama Tirta?" tanya Zero.

"Aneh kenapa?" tanya Sander fokus nyetir.

"Dia kaya nggak nyaman setelah ada Hani, dan terlihat juga kalau Hani masih ngejar dia."

"Dih, sejak kapan Lo memperhatikan orang lain?" cibir Sander.

"Lo benar, mau Tirta selingkuh dengan Hani juga bukan urusan gue," jawab

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku