Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.4K
Penayangan
171
Bab

Bagaimana jika sebuah kebohongan bisa dideteksi lewat sentuhan?

Bab 1 Kematian

Napasnya tinggal selembar. Rasa sakit yang menghantam pencernaannya sudah tak bisa lagi diajak bermufakat. Pria itu tahu riwayatnya hampir tamat. Selama lebih dari 23 tahun hidupnya, ia sadar tak banyak yang telah dilakukannya. Meskipun begitu, tak ada yang bisa disesali. Justru ia harus bersyukur karena dilahirkan dari keluarga harmonis idaman banyak orang walaupun tidak punya banyak uang. Jika ada yang membuatnya menyesal, mungkin karena dalam hidupnya yang singkat harus bertemu dengan wanita itu. Wanita yang memorak-porandakan harinya.

Wanita yang memberinya minuman beracun dan menontonnya terkapar tanpa sedikit pun bersimpati. Wanita yang membunuhnya. Wanita yang ia cintai.

Jadi, seperti inikah akhirnya? Sekarat sendirian, jauh dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Bertemu malaikat maut tengah malam di bukit yang gelap, tanpa lampu apalagi kamera pengawas. Sungguh penghabisan yang tak elegan. Ironisnya, bukit tempatnya mempertahankan nyawa ini jaraknya tak jauh dari rumahnya. Ia bertanya-tanya berapa lama mayatnya baru akan ditemukan jika tewas di sini dan bagaimana reaksi keluarganya menemukan anak laki-lakinya menutup mata seorang diri hanya beberapa kilometer saja dari kamarnya?

Bukannya ia tidak mau minta tolong, ia sudah mencobanya, tapi siapa yang akan mendengar suaranya di tengah bukit gelap yang jarang didatangi orang ini? Ia cuma bisa merayap beberapa senti dari kaleng minuman bersoda favoritnya yang ditenggaknya tanpa curiga. Menjauh dari zat yang sebentar lagi membunuhnya.

Sayup-sayup ia mendengar suara. Bukan suara desau angin yang menampar dedaunan atau suara binatang malam yang tengah bergosip. Ia meruncingkan pendengarannya dan nyaris melompat gembira karena suara yang didengarnya adalah suara langkah kaki yang berlari dengan irama yang tetap, seperti sedang joging. Tapi, siapa yang cukup sinting untuk joging tengah malam begini? Ia memilih tak peduli karena harapannya untuk selamat mendadak timbul.

Sesosok pria berkaos biru dan bercelana olahraga hitam yang sepertinya seumuran dengannya muncul di depannya dari balik semak. Di telinga pria itu terpasang earphone.

Begitu melihatnya, pria itu terperanjat dan bergegas mendekatinya lalu memegang lengannya.

"Lo kenapa? Sakit? Ayo ke rumah sakit."

Pria itu terlihat panik.

Ia tiba-tiba merasa harus mengatakan sesuatu.

"Ra..cun..., ra...cun...."

Sekarang pria itu tercengang.

"Siapa yang ngelakuin?"

Baru saja ia merasa bahagia karena berpikir bisa hidup, rasa sakit bercampur shock yang teramat hebat menghajar perutnya. Sepertinya, ia harus pergi malam ini. Tapi sebelum itu, ia mesti melakukan sesuatu.

"Fa...tih..., Fa...tih...."

Dalam pandangannya, pria itu kelihatan sedang mendengarkan. Namun, sesaat kemudian, di wajah pria itu nampak raut kesakitan, tangan pria itu yang menyentuh lengannya terasa gemetaran. Seluruh tubuhnya juga bergetar, entah karena pria itu atau shock yang menerjangnya. Kemudian semuanya lindap.

###

Malam yang sunyi terkoyak oleh suara sirene mobil polisi dan ambulans yang seolah berlomba meraung paling kencang. Bukit yang sehari-harinya jarang didatangi orang mendadak ramai. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi sepetak area, menandakan tempat seorang mayat pria muda ditemukan.

Tidak jauh dari situ, pria berkaos biru dan bercelana olahraga hitam bernama Alkala Nakula tengah menenangkan diri. Masih tak percaya dirinya menjadi saksi mata sebuah kasus pembunuhan. Statusnya sebagai mahasiswa jurusan hukum di Universitas Ryha, kampus terbesar di kotanya, memang membuatnya memelajari hukum, termasuk hukum pidana. Namun, untuk terlibat secara langsung dalam sebuah kasus itu agak di luar ekspektasi.

Tapi, yang membuat Kala –nama panggilannya- merasa gelisah bukanlah keterlibatannya, melainkan kata terakhir yang diucapkan pria itu saat sekarat. Sebuah nama. Fatih.

Jika mengikuti kebiasaan umum, nama itu diasumsikan diucapkan korban sebagai pelakunya. Namun, bagi Kala, hal itu tidaklah sesederhana yang terlihat. Alasannya, karena Kala memiliki kemampuan aneh, yaitu dapat mengetahui seseorang berbohong atau tidak dengan menyentuhnya, hampir sama dengan poligraf atau pendeteksi kebohongan yang digunakan untuk menginterogasi pelaku kejahatan.

Kalau seseorang berbohong, akan muncul sesuatu yang bersuara seperti besi dipukul disertai suara mengucapkan "bohong" berulang-ulang dalam kepala Kala bila ia menyentuh orang tersebut. Hal yang seringkali membuat Kala diterjang sakit kepala hebat di saat bersamaan. Namun, jika seseorang tidak berbohong, saat disentuh Kala tidak akan terjadi apa-apa.

Dan, yang terjadi beberapa puluh menit yang lalu masih membingungkan bagi Kala. Pria muda yang menjelma jenazah di depannya tadi berbohong. Tapi, apa tujuannya? Serta yang tak kalah penting, siapa yang akan percaya perkataannya soal ini?

Tubuh tegap menggunakan leather jacket berwarna krem dipadu dengan celana jins hitam berdiri di samping Kala. Kala mendongak dan lewat cahaya mobil polisi di belakangnya mengenali orang yang baru tiba itu sebagai Iptu Ibad, anggota Kepolisian Ryha.

"Sudah baikan, Kala?"

Kala menganggukkan kepala meski belum terasa lebih baik.

"Kalau begitu sudah bisa dimintai keterangan?"

Belum sempat Kala merespons, sebuah suara memotong.

"Biar gue aja yang tanya-tanya dia, Ibad."

Kala menoleh dan melihat badan ramping yang terbungkus jaket bomber berwarna biru muda dipasangkan dengan celana jins coklat mendekat. Ujung potongan rambut bobnya bergerak-gerak disentuh angin. Ibad kemudian mengangguk kepada sosok itu dan pergi.

"Jadi, kenapa lo bisa ada di sini?"

Kala mendengus, harusnya ia bisa memperkirakan orang ini bakal muncul.

"Gue lagi joging tengah malam dan nemuin dia tergeletak, Kak."

Wanita yang baru datang itu memicingkan mata, entah karena tidak setuju dengan sikap Kala yang memanggilnya Kakak di tengah kasus atau merasa heran dengan kebiasaan tidak biasa Kala.

"Kok lo punya kebiasaan aneh kayak gitu?"

Kala melongo. Bukannya menanyakan keadaan korban saat ditemukan, AKP Kila -kakak Kala- malah penasaran dengan kebiasaannya.

"Suka-suka gue dong pengen joging kapan aja. Lagian, bukan itu yang penting sekarang, kan?"

Kila juga tahu itu, tapi tetap saja ia ingin memastikan Kala tidak berpotensi dicurigai sebagai tersangka. Berada di tempat kejadian yang jarang dilalui orang, bukankah itu agak mencurigakan?

"Atau, jangan-jangan lo curiga sama gue?"

Kala memandangnya tak percaya, Kila jadi sedikit merasa bersalah. Tapi, sebagai polisi, ia harus menelusuri setiap kemungkinan.

"Gue diajar untuk mempertanyakan semuanya yang dianggap mencurigakan."

Lebih memilih untuk tidak peduli, Kala mengalihkan perhatiannya pada hal yang ingin diketahuinya.

"Kematiannya karena apa?"

"Racun arsenik. Belum ada bukti kalo korban dipaksa minum racun itu, jadi mungkin saja ia bunuh diri."

Kala menggeleng. Kila yang melihatnya menjadi penasaran.

"Kenapa? Korban nggak bunuh diri?"

"Meskipun korban sendirian waktu gue temuin, tapi agak jauh dari kaleng minuman. Kalo emang korban bunuh diri, buat apa melata di tanah? Kan tinggal terbaring dengan tenang."

Kila bergeming, mencerna kata-kata Kala.

"Selain itu, bukti otentik yang bikin ini bukan kasus bunuh diri adalah kata-kata korban sebelum meninggal. Waktu gue ajak ke rumah sakit, korban emang bilang soal racun. Terus gue tanya siapa yang ngelakuin, korban sebut satu nama."

Kila membelalak.

"Siapa?"

Kala menjawab mantap.

"Fatih."

Mendengar nama itu, Kila sudah siap bertindak. Namun, Kala menahan lengannya.

" Tapi korban bohong."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku