Seputar cerita horor yang diambil dari kisah nyata dan ditambahi sedikit fiksi.

Pertama kalinya masuk ke dalam rumah dukun, aku dan Linda merasakan langkah kami terhenti oleh aura magis yang mengelilingi ruangan. Udara terasa berbeda, seolah-olah terisi dengan energi yang tak terlihat namun begitu kuat. Cahaya remang-remang menyala redup, menciptakan atmosfer yang penuh misteri dan keajaiban.
Di sudut ruangan, terdapat berbagai macam benda mistis yang dipercayai memiliki kekuatan supranatural. Patung-patung kecil dengan wajah seram, gulungan mantera yang tergantung di dinding, dan dupa yang harum tercium di udara. Suasana ruangan dipenuhi dengan bau harum yang menenangkan namun juga membangkitkan ketegangan.
Kami melihat lukisan-lukisan kuno dengan simbol-simbol magis yang tak dikenal. Cahaya lilin yang temaram menyinari ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding. Suara gemerincing dari belanga air suci terdengar samar-samar, menambah kesan mistis dari tempat ini.
Dukun yang duduk di hadapan kami terlihat tenang dan penuh kearifan. Matanya yang tajam seolah-olah bisa menembus hati kami, memahami setiap beban dan kegelisahan yang kami bawa. Suaranya yang lembut dan penuh kebijaksanaan mengalun di ruangan yang penuh dengan energi yang tak terduga.
Saat itu, kami merasakan campuran antara ketegangan dan keingintahuan yang memuncak. Dunia nyata dan dunia gaib tampaknya bertemu dalam satu ruang, menciptakan perasaan yang sulit dijelaskan. Sensasi itu membuat kami merasa seakan-akan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kami sendiri, dan kami siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi di rumah dukun ini.
"Saya ingin mantan saya sulit menikah," pinta Linda. "Kalau bisa, setiap cewek yang dekat dengannya harus mati!"
Mbah dukun itu mengangguk paham. Lalu ia bertanya, "Siapa namanya?"
Linda melirik ke arahku sekilas, lalu ia menjawab pertanyaannya, "Arya Bima Wicaksono."
Dukun itu tangannya sibuk mengusap jenggotnya sendiri yang sudah lebat, tapi tatapannya tetap ke arah kami. Membuat kami sungkan untuk membalas tatapannya.
"Kamu tidak lupa, dengan barang yang saya minta sebelumnya?"
Aku melihat ke arah Linda, ia terburu-buru mengambil sesuatu di dalam tasnya. Setelah aku selidiki, ternyata ia mengambil sebuah photo Arya yang dicetak dengan ukuran dompetnya. Arya adalah mantannya, dan bukan hanya itu, ia mengambil potongan kuku, rambut yang berbungkus tissue, dan sesuatu seperti air liur dalam wadah kecil, dan setengah tetes darah di dalam botol berukuran kecil, semua di ambil langsung dari tasnya warna putih.
Linda menyerahkan kumpulan benda itu pada si Mbah. "Ini, mbah, saya sudah berhasil mendapatkan ini, walau dengan susah payah, yang penting rencana ini harus berhasil."
"Kamu tenang saja, semua pasti akan beres. Saya akan mengerjakannya malam ini."
Linda melepaskan gelang emas dan cincinnya, lalu amplop yang di ambil dari tasnya, ia menyerahkan itu semua pada si Mbah. "Saya hanya memiliki ini, semoga ini cukup," ucapnya ragu-ragu.
Aku menarik tangan Linda dengan cekatan, aku membawanya untuk keluar dari tempat yang menurutku sangat menyeramkan itu.
Setelah kami berada di luar, Linda menghempaskan tanganku dengan kasar, "Lepasin! Sakit tahu!"
"Lo ngapain sih, ke tempat kayak gitu? Mana ngajak gue lagi!" Aku menggerutu kesal. Di awal aku gak tahu kalau bakal di ajak Linda untuk datang ke tempat itu, karena sebelumnya Linda hanya bicara tempat rahasia. Dia minta diantar olehku. Kalau pun tahu, aku ogah sekalipun dengan cara dipaksa. Tidak kusangka kalau aku akan di ajak ke tempat seram seperti itu. Aku jadi merasa berdosa karena ikut menzholimi orang lain.
Arya yang tak lain adalah mantannya, pernah punya hubungan special dengan Linda. Namun, Arya malah memutuskan hubungannya dengan Linda. Sedangkan Linda masih mencintainya. Hubungan mereka yang baru seumur jagung harus kandas, ketika hadirnya orang ketiga dalam hubungan mereka. Membuat Linda dendaman pada mereka.
Aku tidak menyangka kalau masalah itu akan membawanya ke rumah dukun.
"Gue cuma punya lo, sahabat gue yang bisa bantuin gue, Sel," jawab Linda dengan nada lirih.
"Gue emang bisa bantu lo apapun itu, tapi kalau soal ini, No! Gue kecewa sama lo! Lo ajak gue ke sini gak bilang-bilang dari awal!"
Tiba-tiba, Linda menumpahkan rasa sedih itu di depanku. Ia meluapkan emosionalnya yang selama ini di pendam sendiri.
"Gue sakit hati, Selma. Makanya gue lakuin ini untuk membalasnya. Tidak ada cara lain, hanya Mbah itu yang bisa nolongin gue," ucap Linda sambil terisak.
Aku menggeleng cepat sebagai penolakan. "Gue gak ngerti dengan jalan pikiran lo itu, lo melakukan hal yang penuh dengan resikonya. Maaf, gue gak mau ikutan. Dan tolong, jangan libatin gue lagi dalam hal ini. Gue sama sekali tidak setuju dengan perbuatan lo itu."
Linda menahan tanganku, membuat langkahku terhenti. "Gye mohon sama lo, please .. jangan putuskan tali persahabat kita. Gue masih butuh lo." ucapnya dengan suara sengau. Matanya tampak sembab karena air mata.
"Apa lo tega sama gue, gue baru saja diputusin sama Arya gara-gara Celin. Padahal gue sudah memberikan segalanya buat dia, tapi apa yang gue dapatin, dia tetap memilih Celin." Air mata Linda mengalir lagi.
Sebenarnya aku merasa kasihan padanya, tapi cara dia membalaskan dendamnya yang salah. Ini yang membuatku tak suka, dan ingin memilih menjauh.
"Kalau lo emang ingin gue tetap bersahabat sama lo, batalkan rencana itu, jadi, mana yang akan lo pilih?" Aku memberi pilihan padanya.
Linda tampak terdiam seperti sedang mempertimbangkan tawaranku. Akhirnya setelah tiga detik berlalu, ia baru berkata, "Gue akan tetap pada pendirian. Karena ini soal harga diri, gue tidak rela sudah dirusak, tapi dia malah memilih yang lain."
"Oke, kalau itu memang yang dimau, gue tidak akan menyapa lo lagi, anggap saja kita tidak saling kenal dan tidak pernah ketemu," tutupku. Aku meninggalkannya sendirian. Rasanya kecewa sekali, sudah bersahabat sejak lama, bersama-sama melalui suka duka, sampai aku tidak menyangka dengan kenekatan dia dalam mengambil jalan pintas untuk balas dendam.
Bukannya aku membela Arya, justru aku marah sama Arya karena tingkahnya yang bikin Linda menjadi depresi. Aku malah lebih memihak Linda, hanya saja soal itu yang bikin aku tidak setuju dan memilih untuk menjauh.
Aku sudah memberi nasihat, membawanya ke para ulama atau ahli agama, semua upaya yang sudah dilakukan, dia menolaknya dengan mentah. Karena itulah yang bikin aku akhirnya pasrah. Aku memilih tidak terlibat dengan cara menjauhi dia.
Yang jadi pertanyaan besarku, dari mana ia mendapatkan ide untuk datang ke sana?
Kerika waktu sudah Sore, aku bertemu dengan Arya di sebuah toko roti. Kebetulan kami sama-sama sedang berbelanja dan bertemu secara kebetulan.
Kami ngobrol di tempat duduk yang telah disediakan dari pihak toko tersebut.
"Kamu tahu gak, Celin meninggal satu bulan yang lalu?" Ia menoleh ke arahku. Wajahnya nampak sendu.
Aku terhenyak pertama kali mendengar kabar itu. "Loh, kok bisa?"
Wajah Arya tampak menyedihkan. Dia terlihat kosong tanpa jiwa. Kehilangan Celin ternyata sangat berpengaruh dalam kehidupannya.
"Aku juga gak tahu, tapi orang tuanya yang memberitahuku, katanya meninggalnya secara mendadak dan misterius di dalam kamarnya. Padahal kata mereka, Celin itu sebelumnya sehat-sehat aja, bahkan pada malam sebelum ditemukan tewas, keluarganya sempat melihat Celin tertawa bahagia. Dia juga tidak memiliki riwayat penyakit apapun."
"Apakah ada luka? Sudah di bawa ke dokter?" Aku semakin penasaran dengan jawabannya.
Arya menggeleng dengan muka lesu. "Tubuh Celin malah baik-baik saja, tidak ditemukan apapun di dalam tubuhnya, Sudah di autopsi, dokter bilang malah semua normal."
Mendengar penjelasan itu, aku jadi ingat soal sebelumnya saat bersama Linda. Jangan-jangan, Rencana Linda itu yang berhasil?
Setelah pertemuannya dengan Arya, pada minggu berikutnya aku menemui Linda di taman kota. Dia sedang menjajakan jualannya di kedai miliknya yang baru dirintis.
Ia menyadari kedatanganku sambil mempersilahkan aku untuk duduk di meja yang sudah disediakan. Namun, aku menolak mentah. Apa yang ingin aku utarakan semua dikeluarkan secara to the point.
"Celin sudah meninggal, itu pasti kerjaan lo, iya kan?!" aku langsung menuduhnya, karena kuyakin pasti Lindalah pelaku atas kejadian ini.
"Kalau iya, emang kenapa?" Wajah Linda kini semakin berani menatapku nyalang. Ia mengangkat dagu dengan angkuh di depan wajahku. "Kalau lo gak bisa bantu, setidaknya diam! Jangan berisik! Kalau lo coba-coba mau ikut campur, lo akan tahu akibatnya!" Ancamannya membuatku takut setengah mati. Aku memilih diam, daripada memperkeruh suasana.
"Gue emang udah bikin dia susah buat dapetin cewek! Setiap ada cewek yang mau sama dia dan berpacaran sama dia, sudah kupastikan ceweknya akan langsung mati," Linda menatapku penuh arti. Aku yang melihatnya jadi ngeri sendiri, Linda bukan seperti Linda yang dulu, dia sangat berbeda, apalagi auranya yang bikin bulu kuduk jadi tambah merinding.
"Si Mbah sudah mengirim jin kutukan untuk tubuh si Arya, agar setiap cewek di dekatnya segera lenyap!"
Tidak kaget aku mendengarnya, justru malah seram dengan perkataannya. Suaranya yang berat dan bukan Linda lagi, membuatku yakin kalau dia bukanlah Linda.
Dari sini aku merasa dilema, apa yang harus aku lakukan? Jika aku menolong Arya, apakah kutukannya akan berpindah kepadaku, dan kalau aku memihak Linda, aku takut dengan dosa karena ikut menzholimi.
Selesai ...
Buku lain oleh Seli agustin
Selebihnya