Denver merasa istrinya berubah dari sikapnya yang manja dan selalu ceria. Kini tampaknya menjadi sosok pendiam dan lebih senang menyendiri. Tentu ia sangat kebingungan dengan perubahannya itu. Begitu juga dengan Ario, saudara kembarnya melihat istrinya dengan kondisi yang berbeda. Bawel dan so asyik. Padahal sebelumnya istrinya adalah sosok pendiam dan takut padanya karena Ario sendiri memiliki sikap kasar dan temperamental sangat jauh berbeda dengan saudara kembarnya, Denver yang memiliki sikap baik. Ada suatu kejadian dan tanpa mereka sadari, bahwa istri mereka yang sama-sama mengenakan cadar telah tertukar dan menjalani kehidupan rumah tangga tentunya dengan suasana yang cukup berbeda jauh bagi mereka. Bagaimana kisah akhir mereka setelah menyadari kesalahan ini?
Jakarta, 1 Januari 1995.
Heboh penemuan bayi kembar di sekitar tepi Jalan Raya.
Bayi yang ditemukan dalam keadaan masih hidup dan sehat di dalam kardus terbuka.
Para warga pun menggendong bayi yang masih tercium aroma bedak dan minyak telon dari tubuhnya sudah tampak rapih dengan bedongan.
Bayi Yang satu tengah menangis saat digendong, dan yang satu lagi tampak tenang sambil diajak berbicara sambil canda.
Keduanya berjenis kelamin laki-laki.
Kasihan sekali kedua bayi ini dibuang begitu saja oleh kedua orang tuanya yang tak bertanggung jawab.
Mana bayinya cakep dan lucu.
Siapa sih yang tidak mau punya bayi imut begini?
Sayang sekali, bahkan bayi yang tak berdosa itu pun tidak tahu apa yang menjadi masalah sehingga mereka membuangnya begitu saja?
anak tidak salah apa-apa. Mereka pun tidak memintanya untuk dilahirkan.
Tapi, bersyukurlah masih ada tangan terbuka yang menerimanya untuk diadopsi dengan suka rela.
Ada satu lagi, orang yang mau menerimanya. Dia adalah Dahayu. Perempuan yang ingin memiliki anak, tapi belum dikasih kepercayaan. Maka Ia hanya menerima cukup satu bayi saja untuk diadopsi.
Bersama suaminya, Dahayu akan pulang ke kota kelahirannya di Bandung.
Wanita itu melirik bayi dengan kulit masih merah segar dan sangat menggemaskan.
Sepertinya bayi ini baru dilahirkan dan dibuang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sebuah surat oleh Ibunya.
Wanita itu menimang bayi dalam gendongan sambil mengajaknya berbicara. Respon dari bayi itu pun sungguh diluar dugaannya. Tertawa kecil dari mulut mungil dan lucu seolah hal itu sangat menyenangkan untuknya.
Suara ketawa bayi ini benar-benar bikin suasana di dalam mobil jadi terharu.
Suami Dahayu yang bernama Irfan sedang sibuk menyetir pun ikut tersenyum. Sesekali melirik bayi dalam gendongan Dahayu.
"Bayi ini kira-kira mau dikasih nama apa, nih, Pah?" tanya Dahayu melirik suami di samping.
"Hmm ... "
Irfan tampak berfikir untuk mencarikan nama yang unik untuk bayi yang diadopsi mereka saat ini.
"Bagaimana kalau kita kasih nama 'Denver eliseo?" Irfan melirik istrinya. Wanitanya tengah menciumi pipi bayi mungil itu sebagai bentuk rasa sayang.
"Hmm .. " Dahayu menoleh pada Irfan, "Denver eliseo? memastikan bahwa ucapannya tidak salah. Karena menurutnya nama itu sangat bagus dan cocok untuk bayi yang tengah ia gendong di depan dadanya dengan rengkuhan tangan membuat bayi itu merasa nyaman dan tenang dipangkuannya.
Irfan mengangguk membenarkan, " Iya, namanya Denver eliseo. Gimana?"
"Bagus. Aku suka dengan nama itu," Wajah ceria itu menurun menatap Bayi yang kini sudah memiliki nama .. "Denver eliseo." Ia mencubit gemas pipi mungil itu, "Nama yang cakep seperti wajahmu, Nak."
20 Tahun kemudian ...
Denver duduk di kursi tunggu. Lebih tepatnya di area terminal primajasa.
Bola matanya sibuk berkerling menunggu istrinya turun dari Bus.
Ditatapnya jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 19:00 Malam.
Wajahnya nampak gusar karena sudah sedari tadi ia menunggu. Namun, istrinya belum juga nampak batang hidungnya.
Dihubungi pun ponsel istrinya mendadak tidak aktif.
Heran, disituasi seperti ini malah tidak diaktifkan ponselnya, kan Denver jadi cemas.
Menghubungi orang tua pun sudah, malah mereka mengatakan bahwa istrinya sudah tidak bisa dihubungi sejak keberangkatannya.
Duh .. jadi was-was kan?
Kemana lagi dia?
Kadang pikirannya takut kalau sesuatu terjadi pada istrinya.
Membuatnya makin gelisah. Bahkan kedua tangannya yang licin berkeringat dingin saling bertaut dibawah dagunya. Sikunya menyangga di paha kanan-kiri.
Selama ini istrinya tinggal bersama orang tua Denver. Namun, untuk sekarang, istrinya ingin tinggal bersama Denver dengan menyusulnya ke Jakarta naik Primajasa.
Denver sendiri tengah merantau di Jakarta dan sudah Satu bulan di sana tanpa ditemani oleh istrinya. Ia bekerja sebagai Karyawan toko dengan gaji yang lebih tinggi dibanding kerja di tempat asalnya yang relatif sangat kecil.
Makanya ia memilih pekerjaan dengan gaji lebih besar untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah istrinya.
Mereka sudah menikah Dua bulan yang lalu. Pesta yang diadakan pun dengan konsep islami ala Timur tengah. Namun, sederhana.
Istrinya sudah lama bercadar hingga sampai saat ini masih melekat di dirinya. Menjaga pandangan dari orang lain. Apapun yang ia miliki hanya Denver yang boleh melihatnya sebagai suami sah.
Begitu wanita bercadar menyembul turun dari Bus, Danver beranjak dari kursinya.
Melirik wanita itu dengan penuh yakin bahwa dialah istrinya yang ditunggu-tunggu sejak tadi.
Senyumnya mulai mengembang untuk menyambut kedatangannya.
Tentu saja ia sangat senang dan pada akhirnya bisa bernapas dengan lega setelah bertemu dengan istri yang sempat dikhawatirkannya hanya karena susah dihubungi.
Alhamdulillah ..
Denver melambai tangan ke arah wanita bercadar dengan antusias. "Sayang ..."
Lantas wanita itu menoleh ke arah Denver. Seorang wanita dengan cadar warna hitam yang warnanya senada dengan hijab dan gamis.
Denver menghampirinya, membantu istrinya turun dari Bus sambil bawakan kopernya.
Ia hanya bisa melihat kedua bola mata istrinya seperti tengah tersenyum penuh haru padanya.
"Kenapa ponselmu tidak aktif hmm?" Denver menangkup kedua pipi yang tertutup cadar itu. Lalu mengecup keningnya. "Cup." Tidak merasa canggung sama sekali meski mencium di hadapan publik. Tidak apa-apa toh .. sudah sah, kok.
Sang istri membalasnya dengan kecupan dipunggung tangan Denver. Lembut sekali yang ia rasakan usapan tangan suaminya pada pucuk kepala miliknya.
"Kenapa, kenapa ponselnya tidak aktif?" tanya Denver dengan suara lembut.
Pada awalnya Wanita itu sempat terdiam. Kemudian ia menimpalinya, "Po-ponsel aku .. Hilang, Mas." ucapnya terbata-bata. Ia malah terlihat gugup. Membuat Denver mengerut heran.
Sejak tadi turun dari Bus sampai kini mereka duduk di dalam mobil taxi, Denver melihat gelagat istrinya sangat aneh dan berbeda. Cendreng kaku dan canggung. Istrinya seperti merasa takut kepadanya. Padahal biasanya istrinya selalu bersikap manja dan selalu mengumbar ceria padanya. Itulah yang membuatnya gemas dan suka dengan sikapnya seperti bayi yang imut.
Kini tidak ada lagi. Kebiasaannya itu hilang entah kemana .. Tampaknya ada perubahan dalam dirinya, tapi mengapa?
Bahkan ia sendiri bingung untuk menerka ada masalah apa sehingga istrinya jadi berubah seperti ini?
Denver meremas tangan istrinya untuk menenangkannya. "Tidak apa-apa, nanti Mas, akan belikan lagi untukmu."
Meremas tangan sang istri yang biasanya terasa lembut dan enak jika digenggam, kini malah membuat alisnya bertaut. Ditatapnya kulit tangan istrinya tampak terkelupas. Kulitnya terasa kering dan kasar.
"Tanganmu kenapa?"
Disambar dengan pertanyaan itu, lantas tangannya di sembunyikan dibalik hijab.
Wajahnya malah menurun ke bawah tanpa menjawab pertanyaannya.
Bagi Denver, istrinya jadi semakin aneh. Kenapa pula tangannya jadi seperti itu?
Padahal orang tua pun sering menghubungi memberi kabar bahwa sang istri dalam keadaan sehat dan cukup baik dalam menjalani hari-harinya bersama mereka.
Hubungan yang harmonis mertua dan menantu.
Tapi yang ia lihat sekarang keadaan istrinya justru malah sebaliknya.
"Ya sudah, kalau gak mau cerita, enggak apa-apa." Denver melirik ke arah depan. "Sebentar lagi kita sampai rumah."
Bersambung ...
Buku lain oleh Seli agustin
Selebihnya