Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PERTEMUAN TERAKHIR

PERTEMUAN TERAKHIR

Ivana Alfatan

5.0
Komentar
11
Penayangan
7
Bab

Anggita, gadis muda yang baru saja tiba dari New York, Amerika, ke Indonesia demi sebuah perintah untuk menemui Ayah kandungnya yang selama lima belas tahun terakhir tinggal terpisah darinya. Apa mau dikata, dipertemuan setelah lima belas tahun berlalu itu, menjadi pertemuan terakhir bagi Anggita dan sang Ayah karena sang Ayah meninggal dunia dalam keadaan yang menyedihkan. Banyak misteri yang harus diungkap Anggita tentang bagaimana kehidupan sang Ayah sepeninggal ia dan ibunya pergi jauh ke luar negeri. Mampukah Anggita menguak rahasia terpendam sang Ayah semasa hidupnya?

Bab 1 kembali pulang

Aku keluar dari bandara dan menjumpai salah satu taksi yang berjejer diantara deretan taksi lainnya dipinggiran pintu keluar bandara, setelah berujar sebentar tentang arah tujuanku pada sang sopir, sopirpun membuka bagasi dan memasukkan sebuah koper yang kubawa.

Aku kemudian duduk dibangku tengah penumpang. Perjalanan menuju rumah masa kecilku yang telah lima belas tahun kutinggalkan ini terasa agak panjang karena kemacetan beberapa ruas jalan yang kami lalui. Akupun akhirnya tertidur. Saking lelahnya menempuh perjalanan udara dari New York untuk sampai di Jakarta, kota kelahiranku.

"Mbak bangun Mbak, kita sudah sampai" panggilan supir taksi itu seketika mengejutkanku.

Akupun membuka mata perlahan, menatap kaca mobil yang masih terkatup rapat namun pemandangan di luarnya bisa jelas kulihat dari dalam. Entah sudah berapa lama aku berada dalam taksi yang kutumpangi hingga akhirnya sang sopir membangunkanku.

"Oh iya pak, ini daerah yang saya bilang tadi Pak?"tanyaku bingung. Aku ternyata sangat lupa pada daerah masa kecilku ini. Mungkin karena aku pergi dari sini saat umurku masih tujuh tahun.

"iya betul Mbak"

Aku lalu keluar dari taksi begitupun pak supir yang juga keluar lalu membuka bagasi, ia mengeluarkan koperku. Setelah aku membayar ongkos taksinya, pak supir hendak masuk kembali ke mobilnya, namun, sebelum ia masuk mobil, ia sempat bertanya,"Mbak, beneran kan mau kedaerah ini? Mbak sudah tahu kan mau kemana?" ia bertanya dengan wajah heran-nya karena mungkin melihatku yang sedikit bingung sambil menatap sekeliling.

"i-iya Pak, saya memang mau ke daerah ini, memang saya sudah lama sekali tak kesini makanya saya sedikit lupa, tapi tak apa, yang penting nama kampungnya sudah benar, saya bisa bertanya pada orang sini nanti." jawabku menepis kekhawatiran pak supir. Ia pun tersenyum mengangguk, kemudian melajukan mobilnya, pergi menjauh.

Aku menarik koperku sambil berjalan. Setiap rumah yang kulewati kuperhatikan satu-satu. Akhh ternyata semua sudah sangat berubah. Aku mengingat sebuah gang yang tadi kulewati, kalau tak salah, didalam gang itu ada rumah teman masa kecilku dulu, aku sering bermain bersamanya, namanya Tini. Dan Tini adalah anak dari Tante Marti, teman ibuku, yang memaksaku untuk datang ke sini, demi menemui Bapak.

"Apa mereka masih tinggal disana?" gumamku sendiri sambil terus berjalan celingukan.

Ahh kalau gang rumah Tini saja aku masih ingat, pasti aku juga ingat gang rumahku dulu, yang hanya berbeda tiga gang saja dari rumah Tini, bedanya, gang menuju rumahku adalah sebuah gang lebar sekitar sepuluh meter.

Lelah berjalan, tak juga kutemukan rumah bapakku. Padahal aku telah melewati beberapa gang sejak aku turun dari taksi di jalan raya tadi.

Rumah bapak kandungku dulu cukup luas, halaman yang terbentang banyak ditumbuhi pepohonan, lalu ditengahnya rumah bapak yang juga luas dan bagus. Dijaman kecilku dulu, bapak adalah seorang yang kaya raya. Tanahnya dimana-mana, sawahnya berhektar-hektar, dan punya banyak petani sewaan untuk mengolah lahan sawahnya itu.

Tapi kini, sejak aku turun taksi tadi, tak kulihat lagi hamparan sawah yang dulu milik bapakku yang membentang disisi jalan raya. Semuanya sudah berubah menjadi pemukiman.

Lima belas tahun ternyata waktu yang sangat panjang dan mampu mengubah daerah perkampungan dipinggir ibukota ini menjadi wilayah pemukiman padat penduduk.

Lalu, kemana sawah lebar milik Bapak? Apa Bapak sudah menjual semuanya?tanyaku dalam hati.

Lelah berjalan, akhirnya aku merasa hanya sedang berputar-putar di area padat penduduk dengan gang-gang yang sempit ini, kuputuskan untuk menyerah mencari rumah masa kecilku itu. Aku benar-benar telah lupa jalan menuju rumahku yang dulu, karena sama sekali tak ada tanda menuju ke sana. Semua sudah berubah menjadi pemukiman hampir kumuh, kuambil ponsel bermaksud menelepon Tante Marti, biar ia saja yang menjemputku di sini dan membawaku ke rumah Bapak.

"Shitt!!" pekikku tertahan, melihat ponselku yang tak mau menyala karena habis baterai. Aku langsung lemas dan meneruskan berjalan kaki dengan berpikir keras, mencoba mengingat-ingat jalan manakah yang menuju rumah bapakku?

Matahari mulai beranjak naik, aku yang lelah berjalan namun tak juga menemukan rumah bapakku, akhirnya menepi di sebuah warung. Tadi aku juga sudah mencoba berjalan mengarah ke gang rumah Tini, tapi entah mengapa aku tak menemukan rumah yang dulu bercat hijau dan berpagar bambu dengan pohon mangga dihalamannya.

Kuambil minuman botol dari mesin pendingin yang ada didepan warung tempat aku berhenti, kemudian duduk dibangku kayu yang ada di depannya.

Glekk.glekkk.

Minuman dingin yang kuteguk berhasil membuatku lebih segar, kunikmati minumanku hingga menenggaknya sampai separuh botol, hingga dahagaku hilang, lalu baru menyadari bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikanku.

"Mbak darimana? kelihatannya bukan orang sini?" seorang ibu yang tak lain adalah si pemilik warung, bertanya keheranan. Ia memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu pandangannya beralih kekoper yang ada disampingku.

"Iya,saya baru datang kesini, maaf Bu, saya kehausan,hehehe.." cengirku malu.

Si ibu hanya tersenyum, "Tak apa" sahutnya ramah tapi tak menghapus pandangan herannya padaku.

"Bu, maaf saya mau tanya, apa Ibu kenal Pak Anggoro?" alihku.

Ibu itu mengernyitkan keningnya,"Pak Anggoro yang dulu suaminya bu Risna?"

Aku mengangguk berat. Ada rasa sakit yang menyelinap dihati. Ibu itu lebih mengenal Risna sebagai istri bapak, daripada nama ibuku, padahal Risna, adalah janda bahenol yang berhasil memikat hati bapakku hingga melupakan aku dan ibu, yang adalah istri sah dan anak kandungnya.

Aku baru tahu, rupanya ia berhasil juga jadi istri bapakku. Tapi, kenapa ibu itu bilang 'yang dulu', apa sekarang sudah tidak lagi? batinku. Aku makin penasaran dengan keadaan bapak sekarang, terlebih permintaan Tante Marti yang sangat ingin aku menemui Bapak.

"Ibu tahu dimana rumahnya?"

"Itu, rumahnya disana," Ibu itu menunjuk dengan jari jempolnya arah yang ia maksud, kemudian menambahkan,"Itu didepan ada pertigaan, Mbak ambil sebelah kanan, lalu lurus lagi, masuk ada gang sempit, nah disitulah rumahnya sekarang."

Aku cukup kaget dengan ciri jalan yang ia tunjukkan, aku ingat sekali rumahku dulu tak melewati gang sempit. Apa karena makin banyaknya pembangunan, jadi arah ke rumah bapak jadi masuk di gang sempit? batinku ragu.

Setelah membayar minumanku dan mengucapkan terimakasih, aku langsung bergegas menuju jalan yang ibu tadi tunjukkan.

Entah apa alasannya Tante Marti menyuruhku menemui bapak secepatnya. Aku hanya menuruti perintah ibuku di New York sana yang akhirnya mengiyakan permintaan Tante Marti. Meninggalkannya untuk sementara waktu dan ke Indonesia demi bertemu bapak.

Kutarik dengan kuat koperku dan kupercepat langkah setelah kulihat gang sempit yang dikatakan ibu pemilik warung tadi.

Pandanganku mengernyit sambil melewati gang sempit yang hanya bisa dilewati satu motor itu. Ini sama sekali bukan menuju rumahku yang dulu.

Batinku ragu, tapi tetap kuteruskan langkahku yang makin tergesa. Hingga kulihat seorang wanita yang samar-samar wajahnya berjalan berlawanan arah denganku.

Makin dekat wajahnya makin kulihat jelas. "Tini?" panggilku pada wanita yang sekarang hanya berjarak dua meter didepanku. Wanita itu langsung membelalakkan mata bulatnya.

"Anggita?!"

Ternyata ia masih mengenalku juga, kami berpandangan sejenak dengan perasaan campur aduk antara rindu, dan sedih, lalu saling memeluk. Rindu karena lima belas tahun sudah kami tak bertemu, dan sedih, karena Tini adalah sahabat kecil yang tahu kisah piluku dulu.

Meski telah belasan tahun tak bertemu namun perawakannya yang kecil dan wajahnya yang tak banyak berubah, membuatku masih mengingatnya dengan mudah.

"Akhirnya kamu datang juga Git!"

"Heheehe iya..habisnya, ibumu cerewet sekali menyuruhku datang!" Tini menyengir mendengar ucapanku. "Kamu mau kemana Tin?"

"Aku baru saja dari rumah bapakmu Git! Mengantarkan makan siang untuknya!" jawab Tini.

Memangnya kenapa dengan Bapak? Kenapa Tini membawakannya makan siang? Bukankah dia sudah punya istri lagi yang tak lain si janda bahenol itu?! Apa istrinya tak akan marah kalau ada orang lain membawakannya makan siang? Ahh sungguh aneh Tini dan Tante Marti ini. Apa ia tak takut kalau Risna bakal memarahinya lantaran perhatian pada suaminya?

"Ayo Git, temui bapakmu! Dia pasti senang sekali!" ucap Tini membuyarkan lamunanku."Itu, rumahnya yang berpagar bambu" ia lalu menunjuk sebuah rumah disebelah kanan yang masih berjarak belasan meter didepanku.

Aku lalu mengangguk ragu sambil memandang dari kejauhan, "I, itu rumah bapak?"

Tini mengangguk, "Ayo cepatlah datang, bapakmu pasti senang!" ujarnya.

"I, iya baiklah...ada siapa di sana selain bapak?"

Tini menggeleng, "Sudah datangi saja, nanti kamu tahu!"

Akhirnya aku mengangguk, "Ohya tolong bilang sama tante Marti, aku sudah di sini ya!" seruku pada Tini.

Ia mengangguk, "Iya nanti aku sampaikan ke ibu, kalau butuh apa-apa, kabari saja ya, sekarang aku pulang dulu! Jaga Bapakmu baik-baik ya!" katanya kemudian berlalu.

Aku kembali heran dengan ucapannya, menjaga bapak? Yang benar saja, memangnya kenapa bapak?

Hingga tiba didepan sebuah rumah kecil sederhana berpagar bambu dan berdinding kayu. Aku mengetuk pintu dengan sejuta ragu. Apa yang terjadi dengan Bapak selama lima belas tahun terakhir? Kemana sawah luas miliknya, serta rumah besar yang bagus, yang dulu menjadi tempat tinggalku sampai usiaku tujuh tahun?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ivana Alfatan

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku