Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pelabuhan Terakhir

Pelabuhan Terakhir

Bai_Nara

5.0
Komentar
3.1K
Penayangan
62
Bab

Cahaya Mustika atau dipanggil Caca adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama Liliknya (Om), adik dari mendiang sang Ayah. Sejak kecil dia merasa asing di keluarganya sendiri. Sebuah lamaran tak terduga datang dari Awan, anak mantan lurah di desanya. Sayang, Ibu Awan tak menyukainya bahkan menghina statusnya yang yatim piatu.Caca kembali ke Kebumen setelah kematian Eyang putrinya. Tanpa sengaja Caca menemukan surat sang ibu serta foto sang Ibu dengan sahabatnya, seorang Bu Nyai dari sebuah pondok pesantren di daerah Purwokerto. Caca pun memutuskan berkunjung kesana demi memenuhi wasiat sang Ibu agar dirinya mondok di pesantren. Hidup di pesantren, Caca bisa menjadi dirinya sendiri yang ceria dan sedikit ... tomboy. Bahkan di sana pula, dia menemukan musuh abadi yang membawanya pada sebuah hubungan rumit yang bernama hati. Lalu seperti apakah kisah Caca selanjutnya?

Bab 1 Yatim Piatu

Cahaya mustika namaku. Usiaku kini 22 tahun. Gadis yatim piatu sejak berumur 12 tahun. Kedua orangtuaku tewas karena kecelakaan mobil saat akan mengunjungi nenek kami di Jepara. Bus yang kami tumpangi tertabrak truk kontainer yang membawa semen.

Hingga akhirnya aku diasuh oleh adik ayahku. Aku memanggilnya Lik Marwan.

Lik Marwan mempunyai 3 anak. Si sulung seumuran denganku, Hasan. Dia anak dari mendiang istri pertamanya. Sedang anak keduanya berumur 20 tahun. Namanya Ningrum, sedangkan anak ketiganya berumur 17 tahun bernama Naufal.

Aku dan Hasan seperti anak terbuang dalam lingkungan keluarga ini. Maklum karena saat ini kami tinggal bersama keluarga besar istri kedua Lik Marwan yaitu Mirna. Meski Eyang Sosro, Ibu dari Bapak dan Lik Marwan ikut tinggal bersama tapi beliau sama seperti kami hanya penumpang saja dan tak dihargai.

Untuk urusan sekolah saja, aku dan Hasan bisa sekolah dengan mengandalkan beasiswa. Untung otak kami agak encer. Tapi selalu, aku yang juara. Hasan selalu sebal dan tak mau mengakui kalau aku lebih unggul dari pada dia. Hahaha.

Kami sudah lulus S1, aku mengambil pendidikan Biologi sedangkan dia pendidikan Matematika. Kami sekolah di Universitas Negeri Surakarta (UNS) bermodal beasiswa bidik misi.

Jangan tanyakan Ningrum dan Naufal, secara tampak mata jelas mereka tak seperti kami. Mereka adalah dua anak manja penuh kasih sayang. Sekolah dan kuliah hanya untuk mencari ijazah.

"Orang itu harusnya punya rikuh pekewuh (malu), sudah tahu numpang tapi ngelunjak. Dasar. Sana cari kerja biar gak selalu nunut lilikmu," nyanyian merdu Lik Mirna mulai membahana seperti biasa.

"Hasan juga, gak bisa nyari duit sok-sokan mau kuliah lagi. Sok pinter dia."

Aku yang sedang mencucikan baju milik keluarga ini hanya diam tak mau menjawab. Pokoknya tutup mulut sama kuping.

******

"Caca," panggil seseorang saat aku tengah berbelanja ke pasar. Awan mengulas senyum lebar ke arahku. Aku tersenyum balik ke arahnya.

"Mau pulang?"

"Iya."

"Aku antar."

"Gak usah."

"Gak papa. Aku bawa motor kok."

"Aku naik angkot aja. Makasih."

Awan tidak peduli akan penolakanku, dia langsung membawa belanjaanku menuju motornya. Terpaksa aku ikut motornya. Aku yakin nanti pasti akan jadi masalah.

*****

"Eh Mas Awan," sapa Ningrum manja.

"Eh Ningrum, kamu gak kuliah sih?"

"Ini mau berangkat Mas."

"Oh."

"Anterin yuk Mas."

"Waduh maaf, nanti aku harus ke Kecamatan. Ada rapat sama Pak Camat."

"Au ah. Mas Awan nyebelin." Ningrum pergi dengan memasang muka kesal.

"Loh Nak Awan, kok kesini?" tanya Lik Mirna.

"Oh ini Bu, ngantar Caca. Kasihan bawa belanjaan banyak."

"Ckckck, Ca ... Ca ... Udah Lilik bilang supaya kamu bawa motor, tuh jadi ngerepotin Nak Awan kan?"

"Gak ngerepotin kok Bu, saya malah suka."

Aku memilih diam dan langsung membawa belanjaanku ke dalam rumah. Sengaja berlama-lama di dalam rumah hingga kudengar suara motor Awan.

"Kamu itu jadi orang sadar diri, ndeleng awakmu. Kamu itu sopo? Bukan siapa-siapa. Awan itu anak orang terpandang disini. Bapaknya mantan lurah, ibunya guru SD, kamu itu siapa?"

Aku hanya diam menunduk.

"Udah numpang, gak tahu diri ...." Lik Mirna masih ngomel-ngomel seperti biasa.

Andai aku mau, aku dan Hasan tak mungkin diam diperlakukan semena-mena olehnya. Selama ini kami diam karena menenggang perasaan Lik Marwan dan terutama Eyang Sosro.

Aku menuju kamar belakang, disana ditempat tidur yang mulai reot tergeletak Eyangku, usianya sudah 70 tahun. Sudah sangat sepuh. Hanya beliau yang masih hidup. Eyang kakung meninggal sejak Bapak dan Lik Marwan masih kecil-kecil.

Kupandangi wajah tuanya, kemudian mengelus pelan pipinya. Eyang terbangun dan tersenyum.

"Nduk ...."

"Dalem, Eyang."

"Sing sabar ya."

"Eyang mbe pengin balik Kebumen. Neng kene Eyang ora betah. Angger neng Kebumen ketemu dulur karo tangga perek mesti pada eman karo Eyang." (Eyang juga kepingin pulang ke Kebumen. Disini Eyang gak betah. Kalau di Kebumen bertemu saudara dan tetangga dekat mesti mereka sayang sama Eyang)

"Sing sabar nggih Yang, wonten kulo kalih Hasan." (Yang sabar ya Eyang, ada saya sama Hasan)

*****

"Gimana? ada perkembangan bagus gak untuk beasiswanya?"

"Hahaha. Kamu tahu gak, aku daftar di Malaysia. Kayaknya gak bakalan keterima lah wong saingannya jos-jos," jawab Hasan.

Kami sedang ngobrol didekat kandang ayam. Hanya ini tempat dimana tak ada yang bakalan mengomeli kami. Lah wong yang ada cuma ayam, paling berkokok ... Petok ... Petok ... Cukup dikasih makan anteng ayamnya.

"Kok Malaysia? Bukannya mau di UNS juga?"

"Aku mangkel sama Bapak. Waktu itu udah setuju aku ambil S2 tapi gara-gara Ibu Mirna ngomong, Bapak jadi ngelarang aku."

"Hahaha ... Terus kalau gak keterima kamu mau gimana?"

"Angon sapi."

Aku terkekeh mendengar celetuknya. Iya, Lik Mirna itu tidak suka kalau kami lebih sukses dari kedua anaknya. Makanya walau gelar kami sudah sarjana tapi sengaja aku dijadikan sebagai ART dan Hasan tukang angon sapi peliharaan keluarganya. Sedangkan kedua anaknya dilimpahi kasih sayang tak terkira. Masa bodoh besok mau jadi apa mereka nantinya. Jadi pengangguran gak masalah yang penting aku sama Hasan juga gak jadi orang.

*****

Aku habis menjemur pakaian. Tiba-tiba Lik Mirna memintaku mengirim SMS kepada kakaknya sesuai dengan catatan kecil yang sudah dia buat. Mau tak mau aku melakukan hal yang disuruhnya sambil duduk di kursi dekat pohon mangga.

Saat aku mulai mengetik, aku merasa aneh dengan tingkahnya pun Ningrum si gadis manja. Aku tak terlalu peduli dan mulai mengetik SMS.

"Eh Bu Laras, mau kemana Bu?"

"Eh Bu Mirna sama Ningrum juga. Duh Ningrum rajin ya, pagi-pagi udah sapu-sapu."

"Iyalah Bu, anak saya kan tak didik jadi calon istri yang baik gak kaya tuh yang cuma bisa numpang hidup saja."

Aku menoleh ke arah mereka. Ckckck ... Rupanya mereka lagi drama. Aku tak peduli mereka ngomong apa saja tentangku. Bahkan tanggapan Bu Laras pun tak akan kupedulikan karena bagiku mereka sama saja. Bu Laras walau katanya guru SD dan PNS tapi aku tak pernah menaruh hormat padanya. Sedikitpun. Catet itu.

Perilakunya tak mencerminkan pada titel dan status yang dimilikinya. Dia termasuk guru sombong dan arogan. Untung aku tidak sekolah di SD tempat beliau mengajar.

Husna sahabatku sekolah di SD tempat beliau mengajar. Saat itu ada iuran kurban hanya sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Dia yang anak kurang mampu membayar dengan uang receh logam dan dibungkus plastik bening. Dengan sombongnya beliau tak mau menerima uang tersebut. Beliau tak tahu bahwa uang recehan itu Husna kumpulkan dengan mengurangi jatah jajannya yang tak seberapa. Husna menangis tersedu bercerita padaku dan Hasan.

Hasan yang saat itu punya uang dua puluh ribu dan aku sepuluh ribu ditambah dalam plastik Husna ada uang lima ribu akhirnya digunakan untuk membayar iuran kurban.

Sejak saat itu aku tak menaruh respek pada keluarga mantan lurah itu. Walaupun orang bilang Awan itu tidak seperti kedua orang tuanya. Tapi aku tak peduli.

Aku tahu Awan menaruh hati padaku. Tapi aku tak pernah menanggapi. Karena selain aku tak suka padanya, aku tak mau mati muda dengan bermertuakan orang seperti Bu Laras. No. No. No. Walau aku yatim piatu tapi aku cukup tahu diri dan tahu seperti apa kriteria calon suamiku kelak. Dan sayangnya itu tak ada pada diri Awan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bai_Nara

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Pelabuhan Terakhir
1

Bab 1 Yatim Piatu

09/12/2021

2

Bab 2 Duka Kematian

09/12/2021

3

Bab 3 Sayap Yang Terentang

09/12/2021

4

Bab 4 Gerbang Hati

09/12/2021

5

Bab 5 Efek Salah Ndusel

09/12/2021

6

Bab 6 EGP, Gus!

14/12/2021

7

Bab 7 Ceritaku

14/12/2021

8

Bab 8 Bidadari Pohon Mangga

11/01/2022

9

Bab 9 Wisuda

11/01/2022

10

Bab 10 Tantangan dari Gus Azzam

11/01/2022

11

Bab 11 Penyusup

11/01/2022

12

Bab 12 Dengerin Ghibah

11/01/2022

13

Bab 13 Laksana Tembok Berlin

11/01/2022

14

Bab 14 Nasi Goreng Pemikat Hati

11/01/2022

15

Bab 15 Cokelat Itu Manis

11/01/2022

16

Bab 16 Sindiran Mantan Menantu

12/01/2022

17

Bab 17 Kembalinya Sang Pangeran

12/01/2022

18

Bab 18 Menunjukkan Taring

12/01/2022

19

Bab 19 Chak Dhoom Dhoom Chak

12/01/2022

20

Bab 20 Gara-Gara Hujan

12/01/2022

21

Bab 21 Dhadkan

12/01/2022

22

Bab 22 Gara-Gara Kacamata

12/01/2022

23

Bab 23 Drama Rumah Tangga

12/01/2022

24

Bab 24 Mantu Idaman

12/01/2022

25

Bab 25 Cemburu Mengurus Sambel Terasi

12/01/2022

26

Bab 26 Pasien dan Susternya

12/01/2022

27

Bab 27 Saingan Terberatku Diri Sendiri

12/01/2022

28

Bab 28 Dicoret

12/01/2022

29

Bab 29 Belajar Menguras Saldo ATM

12/01/2022

30

Bab 30 Salam Oryza sativa

12/01/2022

31

Bab 31 I Love You

14/01/2022

32

Bab 32 Olah Raga Malam

14/01/2022

33

Bab 33 Sebuah Pesan

14/01/2022

34

Bab 34 Jangan Poligami Saya

14/01/2022

35

Bab 35 Cemburuku Salah Sasaran

14/01/2022

36

Bab 36 Mental Baja

14/01/2022

37

Bab 37 Kriteria Calon Istri

14/01/2022

38

Bab 38 Tum Hi Ho

14/01/2022

39

Bab 39 Serba Serbi Seserahan

14/01/2022

40

Bab 40 Penggoda

14/01/2022