Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suami 500 Juta

Suami 500 Juta

Valen Ash

5.0
Komentar
4.6K
Penayangan
23
Bab

Blurb Kepergian orang tua Narada, menyisakan luka yang mendalam untuk wanita itu dan kedua adiknya yang masih kecil. Ditambah tekanan yang tiba-tiba datang dari seorang tante bernama Frederika yang ingin menguasai peninggalan keluarga Narada karena hutang yang diderita orang tuanya sebelum mereka meninggal. Hidup wanita muda ini dipertaruhkan, ia paham dengan watak tantenya yang bermuka dua serta selalu menghalalkan segala cara demi keinginannya, bahkan ia tak segan untuk memperlakukan mereka dengan semena-mena. Narada tidak akan membiarkan adik-adiknya menderita karena harus tinggal bersama dengan tantenya yang jahat ini. Karena itulah akhirnya sebuah perjanjian terbentuk, untuk membayar 500 juta dalam waktu singkat dan itu sangat mustahil untuk Narada penuhi. Entah angin apa yang membuat keberanian seorang wanita ini membuncah dan berkata akan menyanggupinya. Ia sadar jika dia menyerah saat ini maka sudah dipastikan masa depan dirinya dan kedua adiknya akan suram. Ia berusaha sekuat tenaga mencari pinjaman dalam waktu singkat sampai akhirnya jalan menikah pun di tempuh. Demi 500 juta, ia menikahi seorang Duda kaya raya yang ternyata adalah seorang pria yang pernah ditolaknya dulu. Kisah romansa yang penuh drama dan misteri ini akan menghiasi perjalanan cinta Narada dan Alfi, bagaimana kisah asmara mereka? Apakah Narada mampu bertahan dengan Alfi?

Bab 1 Kecelakaan dan Kehilangan

Berdiri dengan tatapan kosong, masih dengan handphone yang menempel di salah satu telinganya. Bukan ini yang diinginkan Narada, air mata yang tiba-tiba jatuh di kedua pipinya.

"Ini nggak mungkin!" Hanya itu yang mampu ia katakan sambil menggeleng-nggelengkan kepalanya berulang kali.

Terkejut itu pasti, apalagi yang ada di pikiran gadis bertumbuh tinggi dengan paras menawan. Ketika beberapa detik yang lalu seorang petugas kepolisian menelponnya untuk memberi kabar, bahwa kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan beruntun di salah satu tol yang berada di Kota Jakarta.

Narada memilih duduk sebentar di trotoar yang berada di sebelah kirinya. Rasa lemas itu tidak terkira, ia ingin menuju ke rumah sakit dimana kedua orang tuanya akan dibawa sekarang. Tapi, berdiri pun rasanya tidak mampu, air matanya bercucuran tak menentu, membayangkan bagaimana ayah dan ibunya sangat menyayanginya selama ini, membayangkan bagaimana mereka selalu berjuang demi membahagiakan anak-anaknya, tak pernah sekalipun kasih sayang itu berkurang untuknya dan untuk adik-adiknya. Tapi, semua itu lenyap dalam satu hari dan tidak akan pernah ia rasakan lagi di hari-hari berikutnya.

"Ayah ... ibu ... kenapa kalian meninggalkan aku secepat ini?" keluhnya masih dengan air mata yang bercucuran di kedua pipinya. Narada mencoba perlahan beranjak dari trotoar dimana dia duduk, dia mengusap kedua air matanya, lalu segera menghentikan taksi.

Lima menit kemudian, satu taksi berwarna biru toska berhenti tepat di hadapannya.

"Neng, mau kemana?" tanya supir taksi itu sambil membuka jendela pintu bagian depan agar wajah Narada terlihat olehnya.

"Ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Pak," jawab Narada singkat.

"Ya udah, masuk Neng!"

Mendengar jawaban dari sopir taksi, membuat Narada segera membuka pintu dan masuk. Selepas pintu di tutup, taksi itu melesat menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina.

Dalam perjalanan yang lumayan memakan waktu sekitar satu jam menuju ke rumah sakit, Narada terus diam, ia sangat menahan air matanya untuk keluar. Wajah kedua orang tuanya terus terbayang di dalam benaknya, ia belum sempat membalas budi kepada kedua orang tuanya. Melihatnya saat ini, ia masih seorang mahasiswi jurusan bisnis di salah satu kampus negeri di Jakarta.

Tatapan mata kosong masih sangat terlihat dari pandangan mata Narada, dia hanya bersandar di kursi dan menatap keluar jendela. Sontak sopir taksi itu beberapa kali melihat kaca tengah yang ada di hadapannya untuk melihat gadis cantik yang tidak banyak bicara, tatapan matanya terlihat seperti khawatir, tapi sopir taksi itu mengurungkan niat untuk bertanya atau mengajak Narada berbicara. Membiarkan suasana di dalam taksi itu hening sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit.

Satu jam telah berlalu, taksi itu berhenti di depan pintu loby rumah sakit, Narada mengucapkan terimakasih dan memberikan ongkos taksi kepada sopir yang masih ada di dalam taksi. Sopir itu mengangguk dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Tanpa berlama-lama, Narada berlari menuju ke resepsionis. Menunjukkan foto kedua orang tuanya dan menyebutkan nama mereka.

"Nanti kakak lurus aja, terus belok ke kiri!" jawab resepsionis sambil menunjukkan arah kemana Narada harus berjalan.

"Terimakasih."

Narada berlari menelusuri koridor, ia masih mencoba beberapa kali untuk menyiapkan hatinya ketika melihat kedua orang tuanya nanti. Ketika Narada belok ke kiri, tampak pintu itu masih terbuka dengan beberapa petugas rumah sakit yang terlihat masih berada di dalam. Ternyata yang menjadi korban tewas bukan hanya orang tuanya saja, tetapi ada korban lainnya yang berjumlah sekitar lima orang. Narada memutuskan perlahan masuk ke ruangan itu.

"Maaf, mencari korban atas nama siapa?" seorang petugas tiba-tiba menghentikan langkah Narada untuk masuk ke ruangan.

"Pak Darma dan Ibu Nirina," jawab Narada.

"Baik, silahkan masuk! Mereka ada di tempat tidur nomor empat dan lima," Pria berseragam putih akhirnya mempersilahkan Narada untuk masuk.

Mulai gemetar kedua kaki Narada, rasa lemas mulai menemaninya lagi setelah menghilang beberapa saat yang lalu. Seorang suster yang berada di kanan kiri kedua orang tuanya sepertinya paham dengan situasi yang di perlihatkan Narada saat ini. Kedua orang tuanya sudah selesai di bersihkan lukanya, mereka berdua sudah di tutup dengan kedua kain putih di sekujur tubuhnya.

Narada mulai mengeluarkan air mata, membuka perlahan salah satu kain penutup yang ada dihadapanya. Ya, tangan Narada langsung gemetar hebat, ketika melihat wajah ibunya yang pucat di sertai retakan di salah satu bagian kepalanya.

Sambil meraba wajah ibunya, air mata Narada tidak kuasa menetes semakin deras.

"Ib-ib-ibu ..." lirih suara Narada memanggil ibunya yang sudah tidak bernyawa dengan terbata-bata.

Salah satu perawat menepuk pundak Narada, mencoba menguatkan gadis cantik yang wajahnya tiba-tiba memucat karena syok dengan apa yang dilihatnya saat ini. Kali ini petugas membantu Narada untuk membuka penutup kain yang menutupi tubuh ayahnya.

Narada masih terus gemetar sambil mendekati ayahnya perlahan, hal yang sama juga terjadi dengan ayahnya, terdapat retakan di salah satu kepalanya.

"Ayah ..." panggilnya lirih. Kaki Narada tidak kuat lagi, ia terjatuh ke lantai dan menangis sejadi-jadinya. Ia tak mampu berbicara apapun saat ini, kedua perawat yang melihat Narada lemas di lantai langsung mendekatinya lalu memeluk Narada dan menenangkanya. Namun, berselang beberapa saat Narada pingsan.

Tujuh hari kemudian, di saat seluruh tetangga masih berkumpul di rumah Narada. Narada dan kedua adiknya masih bersimpuh dengan kesedihan mendalam sepeninggalan orang tuanya. Tapi, ada yang menarik perhatian Narada selama acara mendoakan kedua orang tuanya ini yang berlangsung selama tujuh hari berturut-turut. Ya, Adik perempuan dari mendiang ayahnya memberikan ekspresi yang cukup mencurigakan baginya. Adik perempuan yang merupakan tante dari Narada dan kedua adiknya itu sangat ekspresif saat menunjukkan kesedihannya di depan banyak orang. Padahal selama ini tantenya itu sangat cuek dengan keluarganya bahkan hampir hilang kontak. Narada tahu betul sifat asli tantenya ini, dia tidak pernah memperlakukan Narada dan adik-adiknya dengan baik ketika dirinya pulang ke Indonesia. Narada masih bingung, apa yang membuat tantenya ini tiba-tiba berubah?

Setelah acara doa selesai dan para tetangga satu persatu meninggalkan rumahnya, Narada dan adik-adiknya berkumpul di ruang keluarga. Ruangan yang menyimpan banyak kenangan dengan kedua orang tuanya.

"Kak Nara, ayah dan ibu apakah tidak akan kembali lagi?" tanya adik kecilnya yang bernama Sifana.

"Sini deket sama kakak!" Narada menunggu adik kecilnya yang masih berusia empat tahun mendekatinya.

Narada mencoba menjadi seorang kakak yang sangat tegar untuk adik-adiknya, Narada merangkul adik kecilnya sambil mencium puncak kepalanya.

"Iya sayang, ayah dan ibu memang tidak akan kembali. Tapi mereka akan selalu mengawasi kita dari Surga sayang, " jawab Narada menahan air matanya untuk menetes.

"Surga itu dimana, kak?" tanya Sifana lagi.

"Surga itu tinggi ... sekali diatas langit," Narada menjelaskan sambil menunjuk ke atap rumah mereka.

"Sifana bisa ke sana, nggak?Sifana mau ketemu ibu dan ayah," ucapan polos dari adik kecilnya membuat air mata Narada mengalir dan terdiam beberapa saat.

Adik laki-lakinya yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar, tiba-tiba bersandar di bahu kiri Narada yang sudah duduk di sofa bersama adik kecilnya.

"Kak, kita hanya bertiga. Kakak nggak boleh ninggalin kita, yah!" kata Taro sambil melihat mata kakaknya yang sudah penuh dengan air mata tapi dipaksa untuk tidak menetes.

"Kakak Janji, kakak nggak akan ninggalin kalian berdua. Kalau kakak nikah, kakak bakal membawa kalian berdua juga. Pokoknya kakak akan menggantikan ayah dan ibu untuk menjaga kalian berdua sampai kalian dewasa." Narada mencium kedua puncak kepala adik-adiknya.

"Ayah ... ibu ... jagalah kami bertiga dari jauh. Kami tidak tahu apa yang akan kami hadapi di kemudian hari." Terlantun dalam hati Narada.

Tiba-tiba saja Tante mereka yang bernama tante Frederika ini, muncul di hadapan mereka bertiga setelah selesai menemui banyak tamu yang melayat.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku