Aku diculik dan dijadikan budak oleh pria arogan! Hidup tenang Erina sebagai wartawan lepas berubah menjadi teror saat dia berhasil menguak skandal mengejutkan yang melibatkan pebisnis sukses di negeri itu, Sebastian Morgan. Demi menjunjung keadilan, gadis itu menolak segala bentuk suap atau ancaman dan bersikeras untuk menerbitkan skandal itu. Hingga tepat setelah ia menerbitkannya, Erina diculik oleh pria tidak dikenal dan dibawa kepada seorang pria yang tidak lain adalah Sebastian Morgan. Demi meredam huru-hara terhadap skandal tersebut, Morgan menawarkan pilihan untuk menikahinya. Di tengah ancaman terhadap keluarganya, dapatkah Erina menerima tawaran itu? Bagaimana nasibnya di tangan penguasa kejam itu? Hingga sebuah insiden tidak terduga mengubah sikap gelap Morgan dalam sekejap.
"Lepaskan aku!! Siapa kalian?!" sergah Erina.
Gadis itu baru saja keluar dari sebuah bangunan dan tahu-tahu ada sekelompok laki-laki yang menutup mulutnya dan menyeretnya ke dalam mobil.
Tidak hanya bibirnya, begitu memasuki mobil, mata Erina juga ditutup dengan sebuah kain, membuat gadis itu tidak tahu di bawa ke mana dirinya. Satu yang pasti, ada dua pria yang mengimpitnya di dalam mobil itu.
"Hati-hati," ujar salah satu dari mereka, "Tuan berpesan jangan sampai ada lecet sedikit pun!"
Erina berusaha meronta, tetapi kedua tangan dan seluruh tubuhnya dikunci pergerakkannya.
"Lepaskan aku!!" Erina mengerang, tetapi hanya terdengar sebagai suara redam.
"Hasil pekerjaan kita bagus, Tuan pasti akan menyukainya," ujar salah satu dari pria itu.
Jantung Erina berdegup cepat saat mobil mulai berjalan menuju lokasi yang tidak ia ketahui. Gadis itu tidak dapat melakukan apa pun hingga tahu-tahu tubuhnya kembali diseret keluar. Ia didudukkan di sebuah kursi dan perlahan kain penutup matanya dibuka.
"Kami sudah membawanya, Tuan."
"Buka penutup matanya," titah sebuah suara berat.
Penutup mata dibuka dan mata Erina terbelalak begitu melihat sosok pria di hadapannya. Tubuhnya tegap dan atletis, ditutupi setelan kerja resmi dan jas kaku. Rahangnya tampak tegas. Iris hitamnya yang dalam terlihat dingin dan menghanyutkan. Potongan wajahnya begitu sempurna dan membuat pria itu terkenal oleh ketampanannya. Tidak salah lagi, dia adalah Sebastian Morgan.
"Saya yakin kamu mengenal wajah saya," ujar Morgan. Suara dinginnya mampu menggetar benak siapa pun yang mendengarnya. Seperti geraman singa yang menakuti makhluk kecil.
Tentu saja Erina mengenalnya. Dia adalah seorang pebisnis terkenal yang kasusnya baru saja Erina kuak. Ya, Erina adalah seorang reporter lepas. Beberapa hari lalu, dia berhasil menguak skandal besar menyangkut Sebastian Morgan. Erina sudah mendapat peringatan, tetapi gadis itu tetap merilis beritanya.
"Mengapa kau menangkapku?!" sergah Erina. Meski posisinya kalah dari sudut manapun, ia tetap berusaha memberanikan diri.
"Aku yakin kamu juga sudah mengetahui alasannya." Pria itu berjalan mendekati Erina dan dentum sol sepatunya terdengar mantap. "Berani-beraninya kau mengungkap kasus itu," ujar pria itu dengan geram.
Ia persis seperti singa yang siap menerkam, dan Erina sedikit ketakutan, tetapi pandangannya masih tertuju kepada Morgan. Tidak tunduk sedikit pun.
"Aku harus melakukannya agar orang-orang tahu kebusukanmu!" jawab Erina dengan pandangan yang terlihat kokoh. Gurat-gurat serius timbul dalam wajahnya, membuat gadis itu terlihat lebih dewasa.
Mendengarnya, Morgan mengeraskan rahang. "benar-benar gadis yang lancang," geramnya, "Aku benar-benar tidak tahan untuk memberimu pelajaran." Dia memperingatkan.
"Anda tidak akan bisa mencelakaiku, Tuan," jawab Erina tanpa rasa takut, "Aku adalah seorang reporter."
Di negara mana pun, seorang reporter memiliki keistimewaan berupa perlindungan. Di medan perang atau mana pun, mereka adalah golongan yang dilindungi oleh hukum. Hal itu juga yang membuat Erina berani untuk merilis berita tersebut.
Namun, mendengar itu, Morgan justru menyeringai tipis. Iris hitamnya terlihat lebih gelap. "Kau pikir aku takut akan ancaman itu?" tanyanya dengan seringai dingin.
Pria itu merogoh kantong dan mengeluarkan sebuah pistol hitam. "Aku hanya perlu menembakmu dan menyembunyikan mayatmu. Kau bukan reporter terkenal, tidak akan ada yang menyadarinya," tutur pria itu. Sorot seriusnya membuat Erina yakin jika Morgan tidak bercanda.
Sementara Morgan menatap Erina dengan jengkel. Berani-beraninya reporter kecil seperti Erina berusaha mengancamnya.
"Tapi, aku akan memberimu kesempatan," tutur Morgan sembari menarik kembali moncong pistolnya, "Tarik kembali berita itu dan aku akan membebaskanmu tanpa ada lecet sedikit pun," ujarnya menawarkan.
Meski memiliki semua kesempatan untuk melukai Erina, sebagai pebisnis, Morgan lebih suka menempuh jalan aman. Jika musuhnya setuju, ia pun tidak akan keberatan. Jika Erina bersedia mengumumkan bahwa berita itu bohong, maka Morgan tidak akan membiarkan satu peluru pun lepas dari senjatanya.
Namun, pandangan Erina masih terlihat teguh.
"Aku tidak akan melakukannya," ucap gadis itu, "Semua orang harus mengetahui keburukanmu yang sesungguhnya!" sergah Erina dengan suara yang bergetar.
"Jadi, kau memilih jalur kasar?" Morgan melepaskan arlojinya seakan bersiap-siap. "Baiklah," katanya, kemudian mulai berjalan mendekati Erina yang terduduk di sebuah kursi.
Erina tidak bisa bergerak ke mana pun dan jantungnya semakin menggila setiap kali Morgan berhasil mengikis jarak di antara mereka.
Hingga begitu tersisa jarak dua langkah, Morgan berhenti dan mencondongkan tubuh ke arahnya. Tatapan keduanya bertemu, iris hitam Morgan yang tampak dingin dan iris biru Erina.
"Kau yang memintanya sendiri," bisik pria itu.
Tangan Erina mulai gemetar, tetapi gadis itu tidak berkutik hingga tiba-tiba salah satu anak buah Morgan berjalan masuk dengan tergesa. Wajahnya terlihat cemas.
"Gawat, Tuan," katanya dengan resah.
Morgan memejamkan mata. Ia paling tidak suka diganggu pada saat seperti ini. Namun, pria itu menoleh dan langsung bisa mendeteksi kejanggalan.
Tanpa kata, keduanya bertukar tatapan waspada dan mulai berjalan keluar, meninggalkan Erina bersama seorang penjaga yang mengawasinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Morgan begitu keduanya tiba di luar ruangan. Selain pemuda itu, ada Benny, asisten pribadi Morgan di sana.
Pemuda itu tampak ragu untuk mengatakannya, tetapi pada akhirnya dia melepaskan suaranya.
"Ada saksi mata yang melihat Anda menculik Nona Erina. Dia... melaporkannya ke polisi dan wartawan langsung mengetahui hal ini," ujarnya dengan suara goyah.
Perlahan, dia menyodorkan ponselnya dan menunjukkan sebuah berita tentang dirinya yang dicurigai meringkus Erina dengan kekerasan.
Tatapan Morgan seketika menjadi tajam. Rahangnya mengeras.
"Shit!" umpat pemuda itu, "Kalian benar-benar tidak becus!" dampratnya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan?" tanya pemuda itu dengan ketakutan, berharap mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya.
Morgan tidak langsung menjawab. Dia tetap diam selama beberapa menit.
"Kita tidak bisa menghabisinya," tutur Morgan, tampak geram. Posisinya menjadi sulit dan serba salah. Media telanjur mengendus hal ini dan dengan cepat mereka akan mengaitkannya terhadap skandal sebelumnya yang juga diliput oleh Erina.
"Tsk, benar-benar merepotkan!" sergah Morgan.
"Sebenarnya, ada satu cara lain, Tuan." Benny bersuara.
Morgan dan pemuda itu sontak menoleh ke arahnya.
"Apa yang bisa kita lakukan?" tanya pemuda itu sementara Morgan hanya menatap ke arah Benny dengan sorot menuntut.
Benny berkedip satu kali dan menatap ke arah tuannya dengan serius. "Untuk meredam huru-hara ini, Anda... harus menikahi Nona Erina."
Buku lain oleh This Is Stralin
Selebihnya