Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Imperfect Wedding
5.0
Komentar
96
Penayangan
5
Bab

“Sudah, kamu saja yang menikahi lelaki lumpuh itu!” Erina Keneishia selalu mendapatkan kecaman dari kakak perempuannya sejak kecil. Sang Ibu, yang seharusnya membela Erina, justru ikut membenci dan menjatuhkan gadis itu. Hingga puncaknya adalah saat ayah mereka sakit dan bisnis keluarga mereka nyaris hancur. Seorang pebisnis sukses sudi membantu keluarga itu, dengan syarat harus ada salah satu dari mereka yang akan menikahi pria lumpuh yang tidak lain adalah Bastian Jade Nelson. Ketiga kakaknya langsung menyodorkan Erina, yang baru berusia sembilan belas tahun. Erina tidak bisa menolak demi sang ayah, lantas bagaimana nasibnya di tangan pria lumpuh itu? Akan jadi apa hidupnya setelah menikahi pria yang sebelas tahun lebih tua darinya itu? Hingga tiba-tiba Bastian mengungkap sebuah rahasia tentang dirinya yang membuat semua orang tercengang!

Bab 1 Menikahi Pria Lumpuh

“Pokoknya, Zena tidak mau menikah dengan lelaki lumpuh, Ayah!” sergah seorang wanita muda berparas cantik kepada seorang laki-laki yang tampak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

“Vanya juga!” Wanita yang merupakan adik dari Zena itu menimpali. “Vanya tidak sudi menikah dengan pria cacat seperti dia, Yah!” Dia melanjutkan dengan wajah tidak senang.

Kedua wanita itu adalah anak dari Pandu Bagaskara, seorang pebisnis yang berbasis di bidang kuliner.

"Kalian berdua, jangan berkata seperti itu!" jawab Pandu dengan suara terdengar serak dan terengah.

"Bastian adalah anak dari Dirga, sahabat Ayah. Kalian dahulu sangat menyukainya," tutur Pandu, tidak percaya dengan sikap kedua putrinya yang merendahkan anak sahabatnya sendiri.

"Tapi, itu dulu! Sebelum dia menjadi lumpuh dan cacat seperti sekarang!" bantah Zena dengan raut tidak senang.

"Zena tidak bisa membayangkan akan jadi apa hidup Zena jika menikah dengan dia, Yah. Memangnya, Ayah tega?" tanya Zena.

Suasana di dalam kamar rawat inap itu seketika menjadi panas. Winda, istri dari Pandu, hanya menatap cemas ke arah ketiganya.

"Jika kalian berdua tidak mau, lalu siapa yang akan menikah dengan pria itu?" tanya sang ayah dengan nada mendesak.

Cklek

Pada saat yang bersamaan, seorang gadis lain berjalan masuk. Dia langsung menghambur ke arah sang ayah dengan wajah cemas.

"Ayah, apa yang terjadi?" tanya Erina dengan mata berkaca-kaca. Hatinya seketika terasa perih melihat sang ayah terbaring lemah di atas ranjang.

"Nah, kebetulan sekali. Erina saja yang menikah!" sahut Zena. Wajahnya terlihat senang melihat kedatangan Erina pada waktu yang sangat tepat.

"A--apa?" tanya Erina, tidak mengerti. Dia memandang kedua kakaknya dengan tatapan bingung.

"Salah satu dari kita harus menikah dengan Bastian, anak dari sahabat ayah. Kau saja yang menikah dengan laki-laki lumpuh itu!" sergah Zena, sulung dari tiga bersaudari itu.

Dia memandang ke arah Erina dengan angkuh, begitu pula Vanya yang kompak berdiri di sisinya.

"Itu benar!" sahut Vanya.

"Jangan bercanda kalian!" sergah sang ayah dengan suara parau. Ia terlihat kesulitan untuk berbicara dan urat mulai terlihat menyembul di pelipisnya. "Erina baru berusia sembilan belas tahun. Bagaimana mungkin Ayah membiarkannya menikah di usia semuda ini? Usia mereka akan terpaut sangat jauh jika Erina yang menikahinya!" jawab Pandu, menentang itu itu keras-keras.

Winda masih berada di sana dan semakin terlihat gusar melihat pertengkaran di antara mereka.

"Lalu, apakah ayah tega jika salah satu dari kami yang menikah?" protes Vanya, anak kedua mereka yang berambut hitam panjang.

"Ayah memang seperti itu," Zena menambahkan, "Ayah selalu membela Erina. Hanya Erina anak kesayangan Ayah!" tegasnya sembari mendelik tidak senang ke arah Erina yang sejak tadi diam tak berkutik.

Keduanya terus memprotes, bahkan tidak sekali dua kali mereka mengatakannya dalam nada tinggi, tidak memperhatikan kondisi Pandu yang masih dalam pengawalan intensif.

Dia tampak kesulitan untuk mengambil napas panjang.

"Kakak Zena, Kakak Vanya, mengapa Kakak tidak ingin menikahi pria itu?" Erina bertanya. Anak bungsu itu memandang ke arah kedua kakaknya yang selalu kompak.

Ya, Zena dan Vanya memang selalu kompak. Erina selalu menjadi yang tertinggal dan dikecualikan dalam keluarga.

"Karena kami sudah memiliki kekasih! Kau pasti sudah mengetahuinya," jawab Zena, "Kami tidak akan meninggalkan kekasih kami untuk menikahi pria lumpuh itu! Lagi pula, kamu juga tidak ada gunanya di keluarga ini. Lebih baik kamu yang menikahinya!"

Kata-kata itu Zena ucapkan tanpa ragu. Wanita itu seakan mencurahkan seluruh kekesalannya pada Erina yang tidak mengetahui apa-apa.

Hati Erina berdenyut nyeri mendengar kakaknya sendiri menyebut dirinya tidak berguna. Selama ini, Erina selalu bekerja ke sana kemari, tidak jarang gadis itu mengambil dua pekerjaan sekaligus dan masih membantu di restoran sang ayah. Semua itu ia lakukan demi keluarga itu, sementara baik Zena ataupun Vanya tidak pernah sekalipun membantu di restoran kuliner milik keluarga mereka.

"Tapi, kenapa harus Erina?" tanya gadis itu. Satu air mata mulai lolos membasahi pipinya. Mata Erina tampak merah dan gadis itu menoleh ke arah Winda yang sejak tadi hanya terdiam.

"Ibu, katakan sesuatu pada Kakak Zena dan Vanya," ujar Erina, berharap sang ibu akan berpihak kepadanya.

Winda menatap ke arah Erina dan kedua kakaknya bergantian. "Mereka benar, Erina. Hanya kamu yang pantas untuk menikah dengannya," ujar sang ibu, seketika membuat harapan Erina hancur berkeping-keping.

"Zena dan Vanya, kan, lulusan universitas terkenal. Mereka memiliki jenjang karir yang menjanjikan. Mereka masih memiliki kesempatan untuk mencoba banyak hal. Kalau kamu kan hanya lulusan SMA, paling hanya menjadi buruh. Kamu di keluarga pun tidak akan bisa membantu banyak," jawab sang ibu.

Jawaban itu seketika membuat raut Zena dan Vanya menjadi cerah kembali. Keduanya tampak senang karena dibela oleh sang ibu, sementara Erina memandang ke arah Winda dengan tidak percaya.

Ia tidak percaya jika kata-kata seperti itu akan keluar dari bibir ibunya sendiri. Hingga tanpa sadar Erina seakan kehilangan seluruh tenaganya dan harus bersandar pada kusen tempat tidur.

Memang benar kedua kakaknya lulusan dari universitas ternama, sementara Erina hanya lulusan SMA. Namun, itu pun karena pilihan kedua orang tuanya. Setelah lulus SMA, mereka tidak ingin membiayai kuliah Erina. Alih-alih, mereka memilih Erina bantu-bantu di restoran kuliner milik keluarga.

Sering kali Erina harus membantu hingga larut malam, sementara kedua saudarinya hanya pergi ke kampus dan bersenang-senang.

"Tapi, Erina juga sudah memiliki kekasih, Bu," jawab gadis itu dengan suara gemetar. Sebuah jarum seakan tersangkut di tenggorokannya.

"Maksudmu, si Devano?" tanya WInda dengan nada tidak senang, "Pria itu tidak akan bisa menjamin masa depanmu! Dia bukan apa-apa dibanding Bastian!" ujar Winda dengan tegas.

"Tapi, Erina cinta sama Devano, Bu." Erina berkata dengan air mata membasahi kedua pipinya. Wajahnya terlihat pucat dan tampak memohon pada sang ibu.

"Erina, ini semua demi Ayah," jelas Winda, "Kamu, kan, tahu perusahaan ayah terancam bankrut, terlebih ayah harus segera dioperasi besok. Jika tidak ada satu dari kita yang mau menikahi anaknya, keluarga kita benar-benar akan terpuruk. Kamu senang melihat Ayah menderita?" tanya Winda dengan nada menuntut. Dagunya terangkat angkuh dan kedua tangannya berkacak pinggang, membuat sekilas semua beban itu ditanggung di bahu Erina.

Gadis itu menggeleng dan terisak. "Tidak, Bu, tapi Kak--"

"Sudah, tidak perlu tapi-tapi," sergah sang ibu, kemudian melirik ke arah Zena, "Zena, cepat beritahu keluarga Dirga bahwa Erina akan siap menikah dengan Bastian," titah Winda tanpa ragu, mengabaikan Erina yang sejak tadi menggeleng, memohon agar sang ibu tidak melakukan itu. Sang Ayah pun tampak tidak setuju, tetapi ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan ketiganya.

Hingga Zena telanjur menanggapinya dengan anggukan bersemangat dan senyum lebar. "Baik, Bu," ujarnya, kemudian beranjak pergi.

Erina semakin terisak, membayangkan dirinya akan dipaksa menikahi sosok yang tidak ia kenali. "Kalian benar-benar kejam!" sergah gadis itu dengan mata memerah.

Sementara itu, di sisi lain, tampak seorang laki-laki bertubuh tegap berjalan melintasi koridor. Langkahnya terdengar mantap saat memasuki salah satu ruangan.

Di balik meja kerja mengkilap berbahan kayu jati, terlihat seorang pria tengah terduduk di kursi roda.

"Kami sudah menemukan seorang perempuan yang akan kau nikahi, Tuan," ujar Deon, memberitahu.

Sosok pria berwajah tampan di depannya menatap lurus ke arahnya. Irisnya sehitam jelaga dan setajam pandangan elang.

"...dia mau menikahiku?" Pria bernama Bastian itu bertanya.

Deon mengangguk satu kali, tampak patuh dan yakin. "Benar, Tuan."

Alis Bastian menukik tajam. Garis-garis wajahnya terlihat semakin jelas.

"Apakah dia sudah mengetahui bahwasanya aku pria lumpuh?" tanyanya.

Bukan satu kali dua kali ada yang menunjukkan ketertarikan pada Bastian. Namun, mereka semua sama. Mereka akan mundur begitu mendapati dirinya dalam kedaan lumpuh.

Ya, Bastian didiagnosa mengalami lumpuh setengah badan setelah kecelakaan mobil yang menimpanya.

Bastian benar-benar menyesali bencana itu, tetapi di sisi lain, ia mengetahui siapa orang-orang yang benar-benar peduli padanya. Tidak banyak juga yang justru mengkhianatinya.

Karena itu, Bastian tidak ingin tertipu lagi. Ia sengaja menekankan bahwa dia adalah pria yang lumpuh dan cacat pada setiap gadis yang tertarik padanya.

"Saya sudah pastikan dan dia memang telah mengetahui bahwa Tuan lumpuh," jawab Deon, seketika membuat Bastian semakin terheran-heran.

Gadis itu sudah mengetahui bahwa ia adalah pria yang lumpuh, dan tetap mau menikahinya?

Sangat mustahil.

Bastian sangat mengenal Zena dan Vanya. Dahulu, kedua wanita itu sangat menyukainya. Namun, keduanya justru berbalik merendahkannya setelah kecelakaan itu, dan Bastian sangat mengetahui jika baik Zena ataupun Vanya tidak akan mau menikah dengannya.

"Siapa dia? Siapa yang mau menikah dengan pria lumpuh sepertiku?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh This Is Stralin

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku