Melaty Roy Sandry
Buku Melaty Roy Sandry(1)
Terjerat cinta sang Billionaire
Anak muda
Malam itu, Rumah Kuning terasa lebih gaduh dari biasanya. Di ruang utama yang luas dengan lampu-lampu kristal berkilauan, suasana riuh rendah oleh tawa dan percakapan yang bergema di dinding-dinding berlapis emas. Namun, di sudut terpencil, duduk seorang perempuan bernama Mia, mengamati sekelilingnya dengan mata tajam dan penuh kewaspadaan. Rambutnya yang panjang terurai, kontras dengan gaun merah yang ia kenakan, memberikan aura misterius di tengah keramaian yang memaksakan kebahagiaan.
Di balik gemerlap dan tawa palsu itu, Mia tahu ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, tersembunyi di balik kilau lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya. Rumah Kuning bukan sekadar tempat untuk berpesta; ia adalah sebuah panggung, tempat di mana topeng-topeng dikenakan dan rahasia-rahasia diperdagangkan.
Tiba-tiba, sebuah pintu kayu besar di ujung ruangan terbuka perlahan, dan seorang pria dengan jas hitam mahal melangkah masuk. Langkahnya mantap, penuh percaya diri. Pria itu memiliki aura yang berbeda dari yang lain, seolah-olah dia tidak benar-benar berasal dari dunia ini. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata tajam yang sulit ditebak. Semua mata di ruangan tertuju padanya, menatap dengan penasaran dan sedikit takut.
Dia berjalan langsung ke meja bar, tanpa ragu, dan menatap bartender dengan pandangan yang membuat semua orang di sekitarnya terdiam. "Aku ingin bertemu dengan seseorang yang istimewa," katanya singkat, suaranya terdengar dingin namun berwibawa. Bartender itu, seorang pria tua dengan rambut abu-abu, segera mengangguk dan bergegas pergi, seolah-olah perintah pria itu adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan.
Mia memperhatikan dengan cermat, merasa ada sesuatu yang aneh dengan kedatangan pria ini. Bukan seperti klien-klien biasa yang datang dengan pandangan lapar atau niat tersembunyi. Pria ini memiliki ketenangan yang berbeda, semacam keyakinan yang jarang ditemukan di tempat seperti ini. Ketika pandangan mereka bertemu sejenak, Mia merasakan sekelebat rasa ingin tahu yang asing dan menakutkan.
Pria itu melangkah mendekat, lalu berhenti di hadapannya. "Apa kau yang bernama Mia?" tanyanya dengan nada yang datar namun menusuk. Suaranya dalam, mengandung kekuatan yang tidak terlihat. Mia sedikit terkejut, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya. "Ya, aku Mia," jawabnya, tetap menjaga pandangannya pada pria itu, berusaha menilai niat di balik tatapannya.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sulit diterjemahkan. "Aku dengar kau istimewa," katanya, lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Mia, mengabaikan pandangan penasaran dari para tamu lainnya. "Dan aku ingin tahu mengapa."
Mia mengangkat alisnya, sedikit sinis. "Istimewa?" katanya, seolah mempertanyakan maksud dari kata itu. "Mungkin kau salah orang."
Pria itu tertawa kecil, suaranya terdengar dalam dan serak. "Tidak, aku rasa tidak," balasnya cepat. "Kau adalah satu-satunya gadis di sini yang tidak menunduk ketika berbicara denganku."
Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Mia merasa tertantang. Ia tidak terbiasa dengan pria seperti ini, yang bisa membuatnya merasa sedikit terintimidasi namun sekaligus penasaran. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya, lebih tegas dari yang ia maksudkan. Pria itu mengangkat alis, lalu tertawa pelan, seperti menikmati pertanyaan itu.
"Aku ingin tahu ceritamu," jawabnya, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Mia. "Aku ingin tahu mengapa kau ada di sini dan mengapa kau belum menyerah seperti yang lain."
Mia mengeluarkan tawa kecil yang terdengar getir. "Kau pikir aku punya pilihan? Semua orang di sini terjebak," jawabnya dengan nada yang sedikit mengeras. "Dan jika kau mencari hiburan, lebih baik kau temui orang lain."
Pria itu menatapnya, dalam, mencari sesuatu di balik mata Mia yang gelap. "Aku tidak di sini untuk mencari hiburan," katanya dengan tenang. "Aku di sini karena aku tertarik pada keberanianmu, pada keteguhanmu. Kau berbeda."
Mia menggeleng pelan, berusaha menahan senyum yang mulai muncul di bibirnya. "Aku hanya berusaha bertahan hidup," katanya. "Dan jika itu membuatku berbeda, mungkin kau belum pernah benar-benar melihat apa yang terjadi di sini."
Pria itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Mia, lalu bersandar ke kursinya dengan santai. "Kau benar," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu banyak tentang tempat ini, tapi aku tahu tentang orang-orang yang kehilangan harapan. Dan kau, Mia, tidak terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan harapan."
Ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang menyentuh sisi hati Mia yang selama ini ia coba tutupi. Mungkinkah ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu? Pria ini mungkin adalah kunci dari kebebasan yang selalu ia dambakan.
"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dariku," Mia akhirnya berkata, nadanya lebih lembut. "Tapi jika kau sungguh ingin tahu ceritaku, mungkin aku bisa memberitahumu... asalkan kau bisa membantuku keluar dari sini."