PENDEKAR TAPAK DEWA
ereka dikejutkan oleh tangis seorang bayi. Seperti dikomando pula,
..oeeeek..
n adalah bayi yang perempuan dari mendiang Galara Tanaru. Bayi malang yang masih merah itu tergeletak di samping kiri mayat ibunya. A
epala desa, Dato!" berkata La Mbere alias Bumi
bawa pulang dia ke Pulau Sangia. Aku akan membesarkan bayi itu, sebagai pengganti bayi
laki-lakinya mendiang galara Tanaru itu dengan ujung jari kak
ya sudah l
um kembali ke Pulau, kalian bumi hanguskan
rangkum pukulan api, seluruh rumah penduduk pun porak-poranda dan dilalap
dengan tanah, punah dengan menyisakan asap dan nyala di sana sini. Sudah tak adalagi kehidupan di situ. Tak ada lagi
enjadi tragedi yang memilukan. Sebuah kebiadaban yang luar bia
an dengannya maupun oleh para jawara persilatan yang beraliran putih. Ditakuti, tentu karena ia memiliki tingkat keilmuan yang amat sulit diukur keting
ng di Kepulauan Tenggara kala itu sudah merinding duluan. Tiada kawan dalam kamus Dewa Api dari Tenggara dan selu
a dikarenakan La Afi Sangia merasa kecewa karena ia tidak diu
l itu justru dirasakan sebagai sebuah penistaan menur
karena La Afi berkali-kali menyembah-nyembah mohon ampunan dan berjanji untuk bertobat. Ternyata semua itu hanyalah sekedar sandiwara untuk meloloskan diri dari maut. Karena setelah sang mantan jenderal perang dari kekaisaran Dinast
i (raja) dengan menggelari diri dengan sebutan Paduka Sandaka Dana. Ia pun mengikrakan darinya menjadi
rintahkan para anak buahnya untuk melakukan perompakan terhadap setiap kapal dagang yang melintasi laut di
ai pajuri (prajurit) angkatan perangnya. Dengan kekayaan yang demikian banyak yang dimilikinya, Negeri Sangiang pun mampu menciptakan sebuah angkatan perang yang
nghancurkan kekuatan Negeri Sangiang, untuk mendekati pulau pun mereka tak mampu. Hal tersebut bukan hanya sekali dua kali dilakukan oleh Kerajaan Mbojo yang merupakan kerajaan pemilik wilayah, tapi sangat sering. Bahkan kerajaan tersebut beberapa kali meminta dukungan pasukan dari kerajaan-kerajaa
yat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pem
bermata sipit, tetapi jenggot dan kumis panjang telah memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan
memaafkannya dulu! Biadab keparat!" gumam laki-laki yang tak lain adalah Dato Hongli it
tulang rahangnya menonjol di pipi tuannya yang tampak kokoh itu. Kulitnya yang putih berubah merah saga akibat menahan amarah yang sangat. Rupan
tiwa itu, atau mereka merasa ketakutan untuk hadir di tempat itu. Tentu siapa yang tak merindin
harus dikuburkan," guman Dato Hongli
an kanannya. Kakinya terus melangkah pelan dan hati-hati, sembari matanya mengama
gia benar-benar manusia yang sangat biadab! Anak-a
elan demi menyaksikan bekas aksi kebiadaban manusia
utuh, tiba-tiba telingannya menangkap suara 'greek' yang halus. Seperti suara nafas le
suara itu, dan berharap itu adalah suara kehidupan. Di situ ia mendapati begitu banyak mayat yang berg