Jadi Istri Kedua Sang Ceo
Herber
kannya, tapi ... aku mencintaimu!" kalimat yang aku tunggu agar bisa terucap dari b
eperti itu terucap dari seseorang yang disukai? Semua terasa bagai mimpi. Seperti kesadaran kembali. Aku
tu pertanyaan di benakku. Kenapa dia melakukannya? Begitu melihat ekspresinya. Ma
ngat ucapannya tadi. Selamat tinggal. Waktu terasa berhenti dan lambat. Namun kembali b
hnya dengan satu kedipan mata. Mataku terbelalak. Tubuhku
di sekitar mulai membuatku sadar. Melihat ke arah sekeliling. Banyak orang mengerumu
Apa kamu tak apa?" Pertanyaan demi pertanyaan tak aku pedulikan. Tubuhku berusaha bangkit. "Fero!" seruku pela
h darah darimu. Tapi jangan ambil Fero dariku! Kumohon! Hanya itu. B
nganku mengepal. Langkahku semakin cepat menuju keberadaannya. Aku menyingirkan orang-orang dan berusaha mencari jalan untuk bertemu dengan
mulut. Sesak dan hancur, tubuhnya dipenuhi cairan kental m
a dengan rasa sesak. "Ni–a, ma–af a–ku tak bi–sa men–jadi cahaya la–gi
mataku turun. "Jangan berkata seperti itu Fero, kamu ... kamu pasti bisa bertahan, harusnya ...
dengan ungkapanku. "Ja–ngan ber–kata seper–ti i–tu, a–ku ba–hagia tak
hancur di saat yang bersamaan. Apa hidup memang selalu seperti in
itu tak berlaku pada kami. Kudekatkan wajah kami, hingga hidung s
cinta padaku bukan. Jika iya, maka buktikan Fero. Bertahan, kita belum pernah melakukan kencan secara r
mat seperti apa pun. Fero terdiam, tapi ia tetap menatapku penuh cint
au ucapan, ta–pi ketulusan. A–ku me–nyelama
enang, takut dan khawatir yang tak pernah kurasakan di saat bersamaan. Seberapa
tugas dengan seragamnya datang, membawaku dan Fero ke dalam mo
ritahunya, di saat-saat seperti ini, tak akan pernah aku menjauh
Aku sangat berharap, bila waktu berhenti, dan membuat perasaan ini jadi abadi dal
genggaman tangnnya yang bergetar. "Fero?" panggilku. Tak ada re
kepalaku saat ini hanya satu. Fero menghadapi sakratul maut.Aku menggelengkan kepala, menolak kalimat itu. Tak mungkin Fero me
u. Mobil ambulans terasa berhenti. Mungkin kami sudah sampai
angan karena mereka ingin membawaku ke ruang pengobatan. Kalau
uh menunggu di depan pintu. Raut cemas terlukis pada wajahku.Mondar-mandir ke sana kemari bagai setrika, sesekali mengintip melalui pintu
berjalan cepat, agar para dokter keluar dan memberitahukan kabar
Fero selamat. Sebab, dia lebih berharga dari pada keluarga yang kutahu. T
arena aku ingin berganti posisi, di mana ini giliranku melindunginya. "Nona,
uster mengacaukan lamunanku.
eduli!" bentakku.Ceklek! Suara pintu terbuka, dan aku kembali menoleh. Kulihat, lampu oper