Jadi Istri Kedua Sang Ceo
nunduk, sementara Fero tetap betah menatapku dengan senyumnya y
ang sehabis menangis. "Jangan seperti itu, kau bisa menatapku sepu
suka mencuri pandang. "Lania," panggil Fero. Secara refleks, aku langsun
hening, diisi oleh keseriusan yang terasa hangat. "Kamu ingat permainan
lupakan momen-momen itu," balasku menyembunyikan rasa gugup setiap
au dia malu. Sosok Fero memang hangat, tapi dia sangat susah ditebak. Namun, walau seperti itu,
terasa di sudut hati. "Aku gak tau harus bilang apa ... tapi aku ingin m
iannya, tak perlu mahal-mahal. Semua dari Fero
ambil memejamkan kedua mata. Entah dari mana, ada udara yang terlihat memadat di tangannya. Boom! L
mungkin terlihat jelas. Dia membuka kedua matanya, menatapku semb
anya bisa dimainkan olehmu. Jangan bertanya bagaimana bisa aku mendapatkan dan m
kepingan kenangan di antara kita dengan baik. Andai suatu hari kamu ingin melupak
. Aku melangkah mendekat ke arahnya, dan kemudian menangkup kedua pipi mulus itu
nar tak akan melupakanmu, karena kau tau kalau hatiku hanya diisi oleh
aru kukatakan padanya. Wajahku kembali terasa panas, tak sanggup
getahui siapa pelakunya. Tidak lain dan tidak bu
, semua rasa kesal itu menguap, ketika melihat rona merah pada
ku seakan ingin mempertemukan kening. Namun ... perkiraanku salah. Fe
embut. Berusaha memberi jarak di antara aku dan dia, hingga tautan bibir di atara kami
ernyitkan kening, kemudian tangannya yang lain menahan tanganku agar tidak memberontak. La
buah tempat yang hanya ada warna putih, sejauh mata mem
berapa lama itu berlalu. Ekspresinya Fero benar-benar
an hal itu, tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi." Fero bergetar
dia melakukannya tanpa izin. Aku malu untuk mengakuinya
Fero yang seperti ini. Rasanya aku ingin menggodanya. "Kau
nakan kesempatan ini, aku memasang ekspresi menahan tawa,
o dengan nada bergetar. Dia meraih tanganku dan melaku
r tak tahan dengan ini. Langsung saja tawaku pecah dan menggema,
h alis. Tawaku langsung berhenti mendengar kalima
lai nakal nih ya!" serunya mendekat dan menggelitikiku. Entah berapa lama w
a ada warna putih saja. "Nia, aku ingin kita seperti ini selamanya." Hatiku ter
, menatap langit putih tanpa ada warna lain di sekitarnya. Se
a ataupun benda lain. Selain Angklung yang tadi diberikan oleh Fero. "Fero ...
di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika