Kuakhiri Dendam Ini
pu
itu menatapku dari seberang meja. Ia duduk sendirian memegang ponsel
memindai ke sekeliling ruang tunggu Executive Lounge Ba
ngin turun dari kursi. Lalu, di belakang persis ada seorang remaja, dengan buku dan tas ransel tersampir
dari. Kesempurnaan tubuh berpadu wajah teduh, membuatku tak bisa berpaling darinya. Rambut panjang ber
dirinya bolak-balik mengambil makanan dan minuma
ada sesuatu berde
ak biasanya aku memperhatikan calon penumpang lain. Sepanjang waktu aku
ni dengan Anisa, sudah
ang berusia empat tahun, titisan sempurna diriku. Lalu, si bungsu Ayesha, yang baru berusia tiga bulan, makin menambah kebah
ngat sempurna. Aku pernah sesumbar, ak
Kebutuhan batinku terpenuhi bahkan memuaskan. Nisa bekerja di sebuah Bank Swasta di Jakarta, dengan jabat
untuk bekerja lebih giat agar bisa memberi mereka kebaha
dengan susah payah kurintis dari nol, menanjak pesat. Dalam beberapa kesempatan aku mendapat penghargaan sebagai
imana s
erusia tiga bulan, aku belum bisa menyentuhnya. Proses melahirkan secara cesar, dan lemah
u telah tiba. Namun Nisa mengeluhkan sesuatu yang membuatku takut
n diri. Tidak ada kegusaran di hatiku, aku mencintai Nisa
am untuk waktu satu minggu. Nisa tentu tidak menghalangiku, karena rumah o
lan sebelumnya. Tidak pernah kulakukan hal bod*h walau banyak pelua
ati kuku lentik yang dimiliki wa
mbelakanginya saja. Wanita
erkumandang. Semua orang di ruangan Loun
matanya, saat melihatku duduk
satu tujuan, satu pesawat. Dari sekian banyak kursi yang ada, kami ditetapkan duduk sejajar. Diri
ng menyantap omelet. Ternyata kami menginap di hotel yang sama. Sayangnya, dia tidak sendirian! Seorang lelaki paruh baya bersamanya. Yang jel
ilik Tedja Sukma Karim, si peng
an aku tau, si lelaki sudah berangkat duluan ke Aussie se
lagi suatu
aku sudah bukan Bar
u boleh memanggilku Manda asa
apnya yang kadang dingin kadang manja, ada banyak
entang masa laluku, ak
tu akan tertidur, d
u, membuat kewarasa
na Vietn
sa. Mas pulang
rry. Anak-anak menu
t tangan lentik Amanda meng
. Aku bukan lagi