Rumit
apa. Sudah setahun Papa mengurus proyek di Kalimantan. Semalam Papa menelepon akan pulang pagi h
terlintas dalam pikiranku. Mungkin Papa batal datang. Atau, pesawat ya
duduk di depan TV menyaksikan drama India di salah satu TV swasta. Sepe
ke kamar dan tidur. Mungkin Papa
batal datang gara-gara ditahan
nya. Padahal aku hanya bercanda. Mama memang tida
naik ke lantai dua. Kubuka pintu kamar dan segera menghempaskan tubuh di atas tempat t
u-lagu ceria menjadi pilihanku untuk mengusir kegalauan memikirka
membuka mata dan menemukan Papa sedang tersenyum hangat. Kulepaskan earphone dan
ya Papa setelah aku melepas
r Papa bata
Papa memencet hidungku. "Turun, yuk! A
berkebalikan. Badanku kurus dibilang gemuk. Rambutku lurus d
aki-laki yang berdiri membelakangi kami. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam s
pelan. Dia menoleh. "In
ai
k Tuhan di depan ini teramat memesona. Mata cokelat terangnya mengingatkan aku pada seseorang, tapi tidak tahu siapa. Aku juga tidak peduli. Hidungnya terlalu mancung untuk ukuran orang Indo
merupakan hadiah ulang tahun, mungkin Papa sudah gila. Papa tidak mungkin menjodohkan aku dengan laki-laki ini. Lal
t duduk di sofa lain yang berhadapan dengan kami. Senyuman tak lagi menghiasi bibirnya. Ak
lak
meja. Ini kebiasaan Mama, tidak pernah mengizinkan Bi Ina mem
-laki itu. Lalu, Papa mengusap punggung tanganku.
tuju jika Tio tinggal
aku bisa melihatnya tiap hari. Aku menggigit bagian bawah.
ika kalian setuju.
api ... "Arrght!!!" Aku mengus
tanya Mama tanpa peduli padaku
eknya selalu baik pada Papa. Kalau Mama tidak setuju, izinkan dia me
tidak bersama kami di sini." Mama memberi ala
i ke Kalimantan. Proyek
rteriak gembira. Mama kembali mencubitk
g paling indah. Jangan melarang Sassy berb
pa melepas pelukanku dan mengambil sesu
selama ini papa selalu melarangku belajar menyetir. Katanya tidak akan mengizinkan aku menyetir
ri. Inilah fungsi Tio di sini. Dia akan
ta
ingaku. Apa yang salah dengan pertanyaanku? Kalau dia yang me
seperti anak sendiri. I
n, kan? Aku melihat ke arah laki-laki i
Kalau pun mama tidak setuju malam ini, aku akan merayunya nanti. Apa pun caranya, Mama
ku. Di depan Papa aku pasti menganggapnya sebagai kakak, tapi bersama teman-teman akan
samping kamarmu. Lalu, kalian bersiap
diam. Apa dia pendiam, ya? Okelah, aku yang akan agresif kalau dia hanya diam. Tiba di depan kamar, aku membuka pintunya dan
iam dan pemalu. Nyatanya, dia berani menarikku. Sepertinya aku telah tertipu oleh pesonanya. Lihatlah sekarang
Aku tak sanggup berkata-kata dengan jarak wajah sedekat ini. Napasnya terdeng
i luar kemungkinan yang aku pikirkan. Dia terny
a kamu juga." Sekali lagi
ahku. Aku meremang. "Kita
pintu. Oke, aku cabut semua perkataan tadi. Dia memang tampan, tapi kelakuannya munafik. Bagaimana mungkin dia begitu pendiam di hadapan Papa, lalu beru