Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
17
Penayangan
5
Bab

Remaja kesepian ditinggal orang tua yang sibuk bekerja itu menjadi suatu masalah besar. Seperti itu yang dirasakan Sassy. Namun, setelah kehadiran Tio yang dibawa papanya dari Kalimantan, Sassy memiliki teman yang menemani kesepiannya. Apa jadinya jika dia sudah merasa nyaman hingga lupa segala aturan. Tio membagi hasrat dan dia pun menyambut. Segalanya semakin rumit saat mengungkapkan kebenaran tentang Tio. Apa yang akan Sassy lakukan untuk jalan hidupnya yang rumit?

Bab 1 Hadiah Ulang Tahun

Hari ini ulang tahunku yang ke delapan belas. Hadiah yang sangat aku dambakan adalah kehadiran Papa. Sudah setahun Papa mengurus proyek di Kalimantan. Semalam Papa menelepon akan pulang pagi hari ini. Namun, hingga hari menjelang sore, sosok yang dinantikan kehadirannya belum juga tampak.

Aku berjalan mondar mandir dari ruang TV ke teras. Berbagai kemungkinan terlintas dalam pikiranku. Mungkin Papa batal datang. Atau, pesawat yang ditumpangi Papa mengalami masalah. Tidak! Semoga itu tidak terjadi.

Sudah hampir jam lima sore, tapi Mama tidak ikut cemas sepertiku. Mama duduk di depan TV menyaksikan drama India di salah satu TV swasta. Sepertinya artis-artis berwajah tampan itu lebih berarti dari kehadiran papa.

"Daripada mondar mandir, mending ke kamar dan tidur. Mungkin Papa batal datang," ujar Mama santai.

"Mama nggak cemas? Kalau Papa batal datang gara-gara ditahan istri mudanya, gimana coba?"

Mama memukul kepalaku dengan remote yang dipegangnya. Padahal aku hanya bercanda. Mama memang tidak bisa diajak bercanda jika menyangkut istri muda.

"Sassy ke kamar. Kalau papa batal datang, Sassy tak akan memaafkannya." Aku melangkah naik ke lantai dua. Kubuka pintu kamar dan segera menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Semoga papa tidak seperti lagu dangdut yang sering dinyanyikan Bi Ina—Bang Toyib.

Aku mengambil ponsel, lalu menyumbat telinga dengan earphone. Lagu-lagu ceria menjadi pilihanku untuk mengusir kegalauan memikirkan Papa. Mataku terpejam, kepala bergoyang-goyang mengikuti irama.

Beberapa menit kemudian, pipiku ditepuk pelan oleh telapak tangan yang kasar. Aku membuka mata dan menemukan Papa sedang tersenyum hangat. Kulepaskan earphone dan membuangnya sembarangan. Aku bangun dan memeluk laki-laki paruh baya kesayanganku.

"Papa membuatmu cemas?" tanya Papa setelah aku melepas pelukan. Keningku dikecup.

"Sassy pikir Papa batal datang."

"Papa sengaja." Aku menyipitkan mata. Papa memencet hidungku. "Turun, yuk! Ada hadiah untuk putri Papa yang pesek."

Hidungku tidak pesek. Papaku suka mengatakan sesuatu hal yang berkebalikan. Badanku kurus dibilang gemuk. Rambutku lurus dipanggil kribo. Pipiku tirus dikata tembem. Papa memang aneh.

Papa merangkul bahuku dan melangkah ke ruang tamu. Di sana sudah ada seorang laki-laki yang berdiri membelakangi kami. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia sedang memandangi lukisan keluargaku yang terpajang di dinding.

"Tio!" Papa memanggilnya pelan. Dia menoleh. "Ini Sassylia, putri saya."

"Hai!"

Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum, tapi aku tak menyambut uluran tangannya. Bukan sok alim, tapi pesonanya membuatku lupa berkedip dan menyapa. Bagaimana aku bisa berkedip, jika makhluk Tuhan di depan ini teramat memesona. Mata cokelat terangnya mengingatkan aku pada seseorang, tapi tidak tahu siapa. Aku juga tidak peduli. Hidungnya terlalu mancung untuk ukuran orang Indonesia, mungkin dia berdarah campuran. Cambang halus di rahangnya yang kokoh. Lalu, bibirnya... Astaga! Kenapa pikiranku jadi mesum saat melihat bibirnya? Terbayang kiss scene dalam drama Korea

Apa dia hadiah ulang tahunku? Oh, Tuhan! Kembalikan kesadaranku. Aku memang tergiur oleh pesonanya, tapi kalau dia merupakan hadiah ulang tahun, mungkin Papa sudah gila. Papa tidak mungkin menjodohkan aku dengan laki-laki ini. Lalu, aku akan dinikahkan dengannya setelah tamat dari SMA. Oh, tidak! Aku tidak suka kisah cintaku muluk seperti itu.

Lamunanku buyar saat papa menarik tanganku dan duduk di sampingnya. Laki-laki itu juga ikut duduk di sofa lain yang berhadapan dengan kami. Senyuman tak lagi menghiasi bibirnya. Aku menarik napas, lalu merunduk. Apa kelakuanku barusan membuatnya enek? Semoga saja tidak.

"Silakan!"

Aku mendongak melihat Mama yang meletakkan dua cangkir di atas meja. Ini kebiasaan Mama, tidak pernah mengizinkan Bi Ina membuat teh untuk Papa. Setelah itu Mama ikut duduk di sampingku.

Papa mengambil teh menyuruputnya. Begitu pun laki-laki itu. Lalu, Papa mengusap punggung tanganku. Aku dapat mendengar tarikan napasnya yang berat.

"Apa Mama dan Sassy setuju jika Tio tinggal di sini?" tanya papa.

"Dia tinggal bareng kita, Pa?" tanyaku riang. Itu artinya aku bisa melihatnya tiap hari. Aku menggigit bagian bawah. Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

"Dia akan tinggal jika kalian setuju. Papa tidak maksa."

"Aku setuju," jawabku cepat. Tapi ... "Arrght!!!" Aku mengusap paha yang baru dicubit mama.

"Kenapa harus tinggal di sini?" tanya Mama tanpa peduli padaku yang memandang kesal padanya.

"Wasiat neneknya. Dia tidak punya keluarga lagi. Selama di sana, neneknya selalu baik pada Papa. Kalau Mama tidak setuju, izinkan dia menginap malam ini saja. Besok Papa akan bantu dia cari tempat tinggal."

"Bukan gitu, Pa. Dia laki-laki, sedangkan Papa tidak bersama kami di sini." Mama memberi alasan yang masuk akal. Apa kata tetangga nanti.

"Papa tidak kembali lagi ke Kalimantan. Proyek di sana sudah selesai."

Mataku melebar. Aku memeluk Papa dan berteriak gembira. Mama kembali mencubitku, kali ini pinggang yang jadi korban.

"Apaan sih, Ma? Ini hadiah ulang tahun yang paling indah. Jangan melarang Sassy berbahagia. Oke?" ujarku tanpa melepas pelukan.

"Papa masih punya hadiah yang lain." Papa melepas pelukanku dan mengambil sesuatu dalam dompetnya. "Nih! Kunci mobil."

"Sassy belum bisa nyetir dan belum ada SIM" Aku menerima kunci dengan bibir cemberut. Bukankah selama ini papa selalu melarangku belajar menyetir. Katanya tidak akan mengizinkan aku menyetir, tapi kenapa memberi hadiah mobil. Mungkin setahun di Kalimatan membuatnya mengubah keputusan.

"Papa tidak mengizinkanmu menyetir sendiri. Inilah fungsi Tio di sini. Dia akan selalu mengantar kemana pun kau pergi."

Astaga!

"Maksud Papa dia jadi sopir di sini?" Papa malah menjewer telingaku. Apa yang salah dengan pertanyaanku? Kalau dia yang menyetir berarti dia sopir, kan? Kenapa Papa menjewer telingaku.

"Papa sudah anggap dia seperti anak sendiri. Itu artinya dia kakakmu."

"Oke." Kakak ketemu besar bisa dipacarin, kan? Aku melihat ke arah laki-laki itu. Dia menyunggingkan senyuman tipis.

"Jadi, gimana? Apa Mama masih keberatan?" tanya Papa pada Mama lagi. Semoga Mama setuju. Kalau pun mama tidak setuju malam ini, aku akan merayunya nanti. Apa pun caranya, Mama harus setuju laki-laki itu tinggal di sini. Dan, anggukan kepala Mama membuatku berbinar.

Besok aku pasti jadi pusat perhatian di sekolah. Teman-teman yang centil akan iri padaku. Di depan Papa aku pasti menganggapnya sebagai kakak, tapi bersama teman-teman akan kukenalkan sebagai tunangan. Dan, dia harus menurutiku. Bagaimana pun caranya nanti.

"Sekarang kamu antar dia ke kamar di samping kamarmu. Lalu, kalian bersiap-siap kita akan makan malam di luar."

Aku berdiri dan mengajak laki-laki itu. Dia berdiri dan menyeret kopernya mengikuti langkahku. Kami naik ke lantai dua dalam diam. Apa dia pendiam, ya? Okelah, aku yang akan agresif kalau dia hanya diam. Tiba di depan kamar, aku membuka pintunya dan menyilakan dia masuk. Aku tetap berdiri di samping pintu. Dia melangkah mendekat, lalu menarik tanganku masuk ke dalam kamar.

Dadaku bergemuruh. Mataku terbelalak, tak percaya dengan sikapnya yang tak terduga. Padahal aku pikir dia pendiam dan pemalu. Nyatanya, dia berani menarikku. Sepertinya aku telah tertipu oleh pesonanya. Lihatlah sekarang, dia malah memojokkanku. Kedua tangannya menumpu di dinding, mengunci pergerakanku. Matanya memandangku tajam.

"Kau terpesona denganku?" tanyanya bangga. Aku hanya mampu menelai air liur. Aku tak sanggup berkata-kata dengan jarak wajah sedekat ini. Napasnya terdengar jelas di telingaku. "Wajahku memang layak dipandang hingga liurmu merembes."

Aku mendorong dadanya, tapi ia bergeming. Ini di luar kemungkinan yang aku pikirkan. Dia ternyata lebih percaya diri dari yang aku bayangkan.

"Aku mau mandi. Seharusnya kamu juga." Sekali lagi aku mencoba mendorongnya.

"Baiklah!" Dia meniup wajahku. Aku meremang. "Kita lanjutkan setelah wangi."

Dia membukakan pintu dan menyilakan aku keluar. Saat aku melangkah keluar, dia meremas pantatku. Aku berbalik ingin menamparnya, tapi dia sudah menutup pintu. Oke, aku cabut semua perkataan tadi. Dia memang tampan, tapi kelakuannya munafik. Bagaimana mungkin dia begitu pendiam di hadapan Papa, lalu berubah menjadi laki-laki mesum saat sendiri. Tuhan, lindungi aku. Mungkin besok hari-hariku akan suram. Aku memang menginginkannya, tapi bukan seperti ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku