Istri Bodoh Yang Terlalu Percaya Suaminya
/0/28464/coverbig.jpg?v=de444fe04ad2ba97d51e04c475d4c089&imageMogr2/format/webp)
h hujan. Rambut hitamnya selalu terawat rapi, disanggul sederhana, dan matanya yang lebar menyimpan ketenangan yang hampir selalu tampak rapuh. Pada usianya yang baru menginjak dua puluh
akang dari jalan utama, dikelilingi oleh kebun singkong dan pohon mangga. Di sana, rutinitas adalah sebuah mantra yang menenangkan: Dika berangkat subuh, Risa menyiapkan beka
lah pelindungnya, jangkarnya. Dia menyediakan keamanan, stabilitas, dan yang terpenting, rasa hormat. Di mata Ris
m mereka lebih sering dihabiskan dalam keheningan yang nyaman daripada dalam obrolan hangat atau sentuhan mesra. Risa sering mendapati dirinya menatap langit-langit, bertanya-tanya apakah semua pernikahan h
an Tetan
k-dengan kepindahan Hardiman. Rumahnya, yang terletak hanya tiga rumah dari Risa dan Dika, a
ri kota yang memutuskan untuk mencari ketenangan (katanya) di desa. Dia tampan, dengan garis wajah yang tegas dan tatapan mata yang tajam namu
baikan mushola, dan selalu punya waktu untuk mendengarkan keluh kesah warga. Di mata Dika, Hardiman adalah aset desa, seorang warga kota
intanya mengantarkan sekantong besar pisang hasil pane
ngan senyum yang begitu tulus, nyaris memukau. Ia berbicara dengan intonasi yang le
malu, "Tidak apa-apa, Pak. Ini dari
n melirik sekilas ke mata Risa, kilatan singkat namun penuh makna yang membuat pipi Risa memana
Mereka akan bertukar sapa singkat, namun setiap sapaan dari Hardiman selalu meninggalkan jejak, membuat jantung Risa berdebar sedikit lebi
an Tanp
suatu sore, sekitar pukul empat, saat matahari mulai condo
erisi telur dan bumbu dapur. Karena sibuk melihat jalanan yang licin sehabis huj
seru seb
menariknya cepat ke samping. Risa limbung, bungkusan di tangan
, kamu tida
hampir menyerempetnya adalah seorang kuri
adam. "Saya... saya tidak apa-apa, Pak Hardi.
berjongkok untuk memunguti telur yang pecah dan bumbu dapur yang tumpah.
nggamannya yang kuat tadi. Jari-jari hangat Hardiman menyentuh kulitnya. Sentuhan itu begitu cepat dan tidak disen
tak bersuara. Ia menarik lengannya kembali, tidak tah
ke pinggir jalan. Senyumnya, yang biasanya riang, kini memil
. Tolong, jangan tolak. Ini sebagai permi
li ini hanya di pergelangan, dan menariknya perlahan menuju rumah.
i rumahnya yang berbau kayu dan masakan-Hardiman memberinya uang tunai yang j
kali ini tanpa 'Bu' atau 'Pak', "Saya senang kamu aman. Jaga dirimu baik-baik.
esuatu di balik tatapan Hardiman-sebuah janji tersembunyi, sebuah pengakuan diam-dia
us dan Gari
tasi tentang izin pembangunan gudang, membahas iuran keamanan desa, atau sekadar membawakan oleh-oleh ko
," kata Dika suatu malam sambil membaca koran. Risa hanya menga
isnis dengan Dika, Hardiman mul
Dika tidak ada. Suatu pagi, Dika sudah bera
memastikan Dika sudah menerima berkas ini,"
an. Hardiman tidak melepaskan kontak itu dengan
a, "Dika sangat beruntung memilikimu. Dia pria yang baik, tapi dia sibuk.
ering melamun di teras setelah Dika perg
k Har
memberitahu Dika kalau istrinya kurang perhatian," katanya dengan nada ringan, tetapi ada tekanan yang jelas
ah predator yang sabar, yang bersembunyi di balik topeng kepedulian. Risa mulai merasa paranoid. Ia
tanaman saat Hardiman muncul di
jawab Risa, menco
u, dan aku benar-benar takut. Bisakah k
aja, Pak. Beliau kan juru
, Risa. Lagipula, bukankah kita tetangga yang baik?
ahwa kepercayaannya Dika adalah izin Hardiman untuk mendekati Risa. Risa tahu ia harus menolak, tetapi
eletakkan selang air. "Baik,
wanya ke dalam permainan terlarang yang ia tak pernah bayangkan. Di ambang pintu itu, Risa merasa seperti boneka yang tali-talinya sedang di