Terjebak dalam Godaan Ipar
/0/28398/coverbig.jpg?v=b6753d55de50fdeda83199c069830624&imageMogr2/format/webp)
n mencerminkan perasaan campur aduknya: rindu, bingung, dan, entah mengapa, sedikit takut. Ia meneguk kopi pahit di tangannya, mencoba
m lembutnya yang menenangkan, tersenyum sambil menatap Elara. "El, aku butuh kamu tinggal di rumah kami be
lis. "Beberapa min
pundak Elara. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku tahu k
entah mengapa kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia mera
, dan aroma bunga segar yang menyebar ke setiap sudut. Namun, ketenangan itu justru mem
penuh wibawa-selalu berhasil membuat Elara merasa terguncang setiap kali mereka bertemu. Ia bukan tipe pria yang ramah tan
besar, memegang cangkir kopi hitam dengan ekspresi serius. Matanya yang taj
hangat namun berat, membuat
saha terdengar tenang. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa
bali pada kopinya. Ada sesuatu dalam cara ia menatap Elara, sesua
minggu," katanya akhirnya. Suaranya rendah, hampir
"Aku... aku akan beru
ada penilaian, dan entah mengapa, ada rasa... sesuatu yang
masak, membersihkan, mengurus dokumen kecil, dan tentu saja menjaga Marisol yang sedang sibu
adang terlalu hangat untuk orang yang seharusnya "hanya" menjadi menantunya. Ada saat-saat di mana ia
ang membereskan ruang kerja M
ra sebentar?" tanya
Kaden," jawabnya, walaupun hati
terasa terlalu dekat. Kaden menatapnya, dan
yaris berbisik. "Tinggal di sini, membantu Marisol... aku tahu k
rdengar santai. "Tidak, tidak beg
ara mereka, bukan canggung, tapi... listrik. Sesuatu yang
sik. "Aku tahu kamu adik iparku, dan aku tidak boleh merasa
ng dirasakan Kaden-bahkan hanya diucapkan-sangat salah. Terlarang. Tapi entah mengapa, h
sentuhan ringan di lengan saat memberi buku atau kertas, membuat Elara merasa bersalah, sekaligus terg
tuk orang yang seharusnya "tidak boleh" diinginkan. Tatapannya, suaranya, bahkan cara ia tersenyum saat Elara berhasi
aden memanggil Elara ke ruang tamu. Lampu temaram, ar
katanya, m
nak. Ada ketegangan yang begitu pekat hi
etar tipis. "Tapi... aku juga tidak bisa menolak perasaanku ter
napasnya yang semakin cepat. "Pak Ka
r berbisik di telinganya. "Tapi kenyataannya, aku men
ak. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran yang membuatnya ingi
pilihan-tetap menjaga jarak dan melindungi hati semua orang, atau membiarkan perasaan
ara itu, dan kata-kata yang membuatnya gemetar tetap berputar di kepalanya. Ia s
haya, penuh godaan, rahasia, dan konflik ba
bahkan setiap kata yang diucapkan terasa seolah ada pengawas tak terlihat yang menilai. Namun bukan Marisol yang
esar membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak mampu menghangatkan hatinya. Ia menarik nap
ja makan, membaca koran pagi, dengan ekspresi serius namun tenang. Ketika Elar
nya lembut tapi ada nada
ipis, mencoba terlihat santai. Namun hatinya tera
atu dalam tatapannya yang membuat Elara merasa seperti
a Kaden, suaranya rendah dan be
menunduk. Ia tidak ingin
saja. Ia menggeser cangkir kopi, mendekat sedikit, dan mena
lain," katanya pelan. "Tentang per
mang ada, dan semakin hari semakin sulit ia bendung. Namun, kata-kata itu sep
s berkata apa," bisiknya, s
u hanya ingin kamu tahu... aku tidak akan memaksamu. Aku... menghargai setiap batas yan
lui sangat berbahaya. Bahkan satu langkah kecil bisa menghancurkan segalanya-hubu
nawarkan bantuan kecil, menatapnya di saat yang salah, atau tersenyum di momen yang seharusnya netral. Ela
n rak buku di ruang kerja Maris
ara sebentar?" tanya
edikit kaget. "T
t suasana menjadi sepi dan intens. Ia mend
kan," katanya, suaranya hampir berbisik. "Tapi aku tidak bisa membohongi di
lari, tapi tubuhnya terasa membeku. Ada ketertarikan yang
bisiknya, suaranya nyaris
atanya menatap dalam ke matanya. "Aku tidak akan memaksa
tuh ke jurang yang berbahaya. Namun, pada saat yang sama, ada rasa penasaran yang mema
h perhatian, dan sama sekali tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di rumahnya. Ia sering memuji Elara, memintanya melakukan hal-hal ke
l. Beberapa kali, Marisol menatapnya dengan tatapan penuh pertan
isol suatu malam, saat mereka duduk di ru
antai. "Ya, aku baik-baik saja, Marisol. Ha
nnya masih tajam. "Kalau ada apa-
Namun, rasa bersalah perlahan muncul di hatinya. Setiap hari ia merasa semakin dekat dengan Ka
lara sedang menyiapkan teh di dapur ketika Kaden
a pelan. "Aku ingi
ungnya berdetak cep
k di bangku dekat meja. Suasana hening, hanya ter
nya, suaranya rendah, hampir berbisik. "Tapi aku... aku tidak bisa
berdebar, tetapi pikirannya berkata untuk lari, menj
boleh," bisiknya, suara
pi aku... tidak bisa menahan diri. Aku menghargai setiap batas yang kamu tetapkan
hu satu langkah kecil bisa menghancurkan semuany
kata yang keluar dari mulutnya, terus berputar di kepala. Ia tahu jalan yang merek
di hal yang mustahil. Godaan, rahasia, dan ketegangan batin yang teru
olak, semakin kuat godaan itu. Semakin ia mencoba menjaga hati s