Derita Seorang Gadis Desa
b, tubuhnya gemetar, dan pikirannya berkecamuk hebat. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia runtuh di hadapannya. Ia tidak tahu har
jatuh," gumam Alya lirih, meski sua
itu, dadanya sesak, air matanya mengalir tanpa bisa ia hentikan. Tapi di balik rasa sakit itu, ada satu hal yang menahan Alya
nya dipenuhi ketakutan. Bagaimana ia harus menjelaskan semua ini? Apa yan
unya hanya ada beberapa lembar rupiah yang bahkan tidak cukup untuk membeli tiket pulang ke des
sekali menelepon nenek, tapi pulsa pun sudah habisnya berantakan, wajahnya pucat, dan matanya bengkak akibat tangisan. Beberapa orang lewat menatapnya dengan ta
ini selamanya?" Alya bertany
an pakaian rapi, membawa tas kerja, dan menatap Alya dengan pandanga
sap air matanya yang masih menempel. "Ak
bisa membaca kepedihan yang ia sembunyikan.
jawabn
kamu se
nya tercekat, sulit baginya untuk
ya. "Namaku Sinta. Aku kerja di butik dekat sini.
seutas tali yang dilemparkan padanya saat ia hampir tenggelam. "Ak
mpatku kerja sedang butuh asisten. Kalau kam
dalam kegelapan hidupnya. "Benarkah, Kak? Aku...
uslah. Yuk, ikut aku sekara
ain interior modern. Deretan pakaian wanita terpajang rapi, d
Rani, menatap Alya dari ujung kepala sampai kaki.
bisa. Kasihan, Bu, dia lagi butuh
ja di sini? Pekerjaannya berat, harus angkat-angkat
p, "Saya mau, Bu. Saya bisa kerja
Mulai besok kamu kerja di sini. Tapi gajinya ti
gia. "Terima kasih, Bu! Saya jan
h, ia merasa punya arah lagi. Sinta yang membantunya sejak awal juga selalu m
tui. Ia sering menangis diam-diam, menutup mulutnya agar tidak terdengar o
i?" batin Alya. Ia ingin sekali bercerit
iri pesta-pesta malam, dan menikmati kehidupannya. Namun, di suatu sudut hatinya, wajah Alya sesekali muncul. Ada rasa ber
sendiri untuk mempert
besar dari sebuah perusahaan mode ternama. Pemilik buti
ng masuk. Alya menoleh, dan jantungnya langsung berdegup kencang. Sosok pria yang begi
r
g ia pegang. Wajahnya pucat pasi, tubuhn
rtama kalinya setelah peristiwa itu, mereka bertemu lag
ranya terde
ut baju yang terjatuh, lalu menunduk dal
ebih dekat. Senyum tipis yang sulit ditebak terukir
erusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Hat
bak yang akan mempertemukannya kembali dengan luka, dendam, dan
nundukkan kepala serendah mungkin, pura-pura sibuk merapikan pakaian yan
datar, tapi mengandung tekanan yang memb
Alya bergetar. Ia mencoba bersikap profesi
darinya. Dengan tangan bersedekap, ia menatap Alya dari uj
luka yang ia simpan. Tapi ia sadar, ia berada di tempat kerja. Di depan Sinta d
ihat-lihat dulu, Pak," ucap Alya liri
a rupanya. Aku kira setelah kejadian it
ta. Hatinya perih, tapi ia tidak ingin terlihat le
khirnya menghampiri. "Alya, sini. Bantu aku di be
ke ruang penyimpanan. Begitu pintu tertut
undaknya. "Dia
ndung. "Aku nggak bisa cerita sekarang. Tolo
engangguk. "Tenang, aku akan
kuh. Saat Sinta kembali menghampirinya, ia ters
ha terlihat tegas. "Ya, benar.
"Bukan urusanmu. Tapi mena
pak mau belanja, silakan. Tapi kalau hanya ingin mengganggu
ni juga." Ia melirik lagi ke arah pintu belakang. "Baiklah, untuk sekara
ninggalkan butik, meninggalkan
ta kembali ke ruang penyimpanan. Alya masih d
sebenarnya?" tany
k sanggup cerita, Kak. Yang jelas... aku nggak mau bertemu dia
gin memaksa. "Baik. Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi kamu harus h
sa sedikit lega. Setidaknya ada se
gnya. Kamar itu kecil, hanya cukup untuk satu ranjang tipis dan sebuah meja. Tapi bagi Alya, itu s
erduduk di ranjangnya. Tangis yang
an, aku sudah berusaha melupakan... ken
Luka itu kembali menganga, dan kali ini lebih menyakitkan k
di desa. "Kalau nenek tahu... apa nenek masih bis
itu terus
nnya. Gelas anggur berputar di tangannya, tapi pikirannya tidak sep
sa bersalah yang ia coba tekan, tapi ada juga rasa penasaran. Gadis itu masih
tadi diem aja," tegu
"Nggak apa-apa. Cuma l
temuan dengan Alya tadi telah me
u butik terbuka, ia selalu cemas kalau yang masuk adalah Arka. Setiap ma
n kekuatan baru. Alya mulai berpikir bahwa ia tidak
s bisa berdiri, apapun yang terjadi," ucapny
eri semangat. "Alya, kamu itu lebih kuat dari ya
ahan bakar bagi Alya
pintu kembali terbuka. Alya yang sedang menya
diri di
ekspresi angkuh berlebihan. Tatapanny
at-erat, wajahnya memucat. "Aku
aju. "Kamu punya
!" suara Alya meninggi, membuat
ranya. "Aku salah, Alya. Aku tahu. Tapi
enti. Untuk pertama kalinya, Arka mengu
ukan hanya kata maaf yang bisa mengh
rkan hidupku. Kamu pikir cukup dengan bilang '
ap dari jauh, tak tahu ha
ang. Ia tidak pernah melihat
ak untuk diam. Dan Arka... mulai merasakan bahwa l