Little Brother
shb
a bergegas keluar kamar, Irena terdiam melihat orang tuanya datang tidak berdua. Melainkan seorang anak laki-laki turut serta bersama mereka. Irena ter
mar di mana satunya kosong. Saat itu Irena melempar tanya pada sang ayah. "Ayah, siapa anak itu? Aku tak mengenalnya," ujar Irena. Tidak ada wajah anak itu di dala
ng menakutkan bagi anak seusianya. Orangtuanya bercerai. Ayahnya menikah lagi dan ibunya bunuh diri. Sebelum meninggal, ibunya berpesan pada kami untuk
ah lain. Beliau meninggalkan anak laki-laki itu di kamar saat kembali lagi ke ruang
dak akan gila jika dirawat dengan baik." Sejenak beliau menghela napas prihatin. "Padahal umurnya baru sepuluh tahun, ta
omong, siapa nama an
oh
*
ernama Yohan di dalam. Anak itu rupanya hanya terdiam, duduk bersimpuh di bawah kasur. Irena berinisiatif mendekatinya. Setidakny
i pandangannya yang hampa. "Namaku Irena. Aku sudah mendengar tentangmu," buka Irena. Walau tahu dia tidak ditanggapi, Irena tetap melanjutkan bicara. "Aku mungkin akan mengalami hal yang sama denganmu jika aku be
han itu. "Baiklah. Kau harus istirahat hari ini. Kita akan bermain besok," kata Irena kemudian beranjak keluar kamar. Dia berhenti sebentar di pintu, menatap denga
ang tengah menonton televisi. "Sesekali temani dia
irinya ke kamar. Irena berlutut di depan Yohan yang duduk menekuk lutut di lantai dengan menghadap jendela. "Yohan, mau sampa
. Tapi---" Irena berhenti sebentar saat menempelkan telapak tangannya ke dada boc
an. Matanya membeliak marah. Sementara Irena menggeleng. "Kau tidak sendirian jika kau berpikir begitu. Kami menerimamu di sini. A
jimu?" katanya kemudian. Mengacungkan jari kelingking, tidak mungkin Irena mengabaikannya. Sehi
a menunggu di kursi tunggu, menanti cemas ibu dan Yohan keluar dari ruangan itu. Tidak berselang lama, Irena tersentak berdiri ketika melihat mereka keluar bersama. "Bagaimana?" tanya Irena. Ibunya
*
jarnya. Hingga seseorang berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar, Yohan tetap tidak menyadarinya. Gadis itu tersenyum melihat keseriusan Yohan di meja belajar. Lantas dia melangkah ma
ggingkan senyuman ringan. "Baiklah," setujunya. Dia memanfaatkan itu untuk mengobrak-abrik ruang kamar Yohan. Melihat-lihat apa pun yang menarik perhatiannya. Entah buku maupun b
ga. Irena merasa terkenang. Rasanya baru kemarin dia bertemu Yohan kecil, tetapi waktu berjalan denga
an semua buku itu, lalu berdiri berbalik. Seketika dia berhenti. Melihat Irena berbaring tidur di kasurny
s seketika. Sekilas Irena menyadari hal yang tak seharusnya dia alami. Wajah itu telah menyihirnya. Yohan tumbuh semakin menawan. Tapi! Irena mene
ari perutnya, akan tetapi Yohan bergerak dan mengeratkan dekapannya tanpa membuka mata. "Tetapla
k mampu menola
*