The Fate That Bind Us
as di atas kasur, masih merasa lelah setelah pertemuan yang penuh kejutan dengan Aideen. Pikirannya mas
Sinar matahari pagi dari jendela kamarnya di penginapan kecil itu terasa
arin sore. Freya memutuskan untuk memanfaatkan hari ini dengan berkeliling Venezia. Ia memeri
rbagai barang unik dan suasana lokal yang khas. Sepanjang perjalanan, ia menyempatkan diri berhenti di sebuah kedai kecil
Market, ponselnya bergetar. Sebuah nomor asing m
al
eberang terdengar tenang, tetap
Aideen. Ad
in bertem
saja ia merasa sudah cukup canggung berurusan dengannya. Tapi s
nnya, Tuan?" tany
Saya merasa belum benar-benar m
utang budi, tetapi rasa ingin tahu meng
a San
turis yang sibuk berfoto, tetapi Freya merasa dadanya sedikit sesak.
pandangan ke arah kanal. Tapi sebelum sempat memik
eya
atu kancing paling atas serta sepatu kets. Ia sengaja tidak menggunakan pomade serta kacamata hitam, membuat pen
odorkan kotak itu. "Ganti rugi
k perlu sebenarnya, Tuan. Lagipula
pnya serius. "Terimalah. Anggap sa
nya ada sebuah syal sutra berwarna biru l
gumam Freya, bingun
ewah untuk permintaan maa
ersenyum kecil. "T
na menjadi lebih santai setelah beberapa saat. Namu
bertanya sesuatu?" Freya a
. Apa
engan sangat lancar? Maksud saya, Anda tidak t
berbicara bahasa Indonesia dengannya di rumah. Meskipun saya leb
ngangguk. "Berarti And
t wajahnya sedikit berubah. "Ada beberapa
tetapi rasa ingin tahunya sulit dibend
elum menjawab. "Saya punya. Tapi
nyesal bertanya. Dia tahu ada luka di balik kata-ka
lalu banyak bertanya
melangkah. "Kadang pertanyaan kecil justru me
e kecil. "Saya ingin mengundangmu makan siang. Tidak perlu meras
at. "Tuan, ini sudah
i tidak mengintimidasi. "Lagipula, saya jarang punya waktu unt
sar di balik sikap Aideen. Di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan keny
akhirnya. "Tapi saya
kecil. "Kita
cerita mereka sendiri. Namun, di balik senyuman Aideen dan sikap santainya, ada misteri yang perlahan terungk
e Con