Proposal Cinta Sang Miliarder
VIP, sebotol minuman mahal di genggamannya. Asap rokok mengabur pandangan, sementara suara tawa teman-temannya membahana, seolah
s hepi, men!" ujar Tio, salah satu temannya, sa
an kegelisahan yang sejak tadi menusuk pikira
turunan, Far. Jangan sok-sokan mellow gitu,
sudut matanya, seorang wanita dengan gaun merah menyala berja
Jefri, yang duduk di sebelahnya.
ngannya bermain di bahunya. "Halo, aku Rina
atinya terasa semakin berat. Ia tahu permainan ini, terlalu sering memainkannya.
k lagi, membuat suasana semakin bising. Farhan hanya diam, bahkan
ecah lamunannya. "Ini buat miliar
tersenyum kaku, merasa seperti boneka yang sedang dipertontonkan. I
angnya. Kepalanya berdenyut, dan kakinya terasa lemas. "Gue ke toi
butnya berantakan. Namun, yang paling mengganggunya adalah bayangan dirin
iri sendiri. Ia memercikkan air ke wajahnya, b
a pria masuk sambil berbicara dengan nada tinggi. Mer
ok banget! Berlagak kaya tapi cuma nump
banyak, tapi nggak punya tujuan hidup. Hidupny
u mereka berbicara tentang dirinya. Hatinya seperti ditampar. Selama ini, ituka
tanpa menoleh ke belakang. Udara malam yang dingin menyambutnya, membuat pikirannya sem
-
-langit. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Ia membuka ponselnya, mencari sesu
i hampir tidak pernah dibuka. Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mengetuk ikon itu. Lay
atang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk t
tinya bergetar, dan untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu yang tid
alat, tetapi selalu ia abaikan. Ia teringat ayahnya, yang pernah berkata bahwa harta adalah ujian,
cingkan kemejanya, pikirannya berkecamuk. "Apa yang gue lakuin ini benar?" tanyanya dalam hati. Ia menatap cermin di depannya,
nya melangkah keluar rumah, kunci mobil di tangan. Namun, ketika sampai di garasi, ia berhenti sejenak. Mobi
terus dipenuhi pertanyaan. Apa yang akan orang pikirkan? Bagaimana jika ada yang mengenalnya? Tapi di sela semua itu, ada dorongan
yang berjalan masuk. Pohon mangga besar di halaman masjid memberikan keteduhan, sementara angin semilir memb
ria tua dengan jenggot putih dan sorban kecil di kepalanya berdiri d
meski gugup. "Wa'alaikumussalam. Iy
n. "Masya Allah, jangan ragu, Nak. Allah selalu meny
masjid, hawa sejuk langsung menyapanya. Suara lantunan adzan yang mengisi ruangan membuat hatinya bergetar. Farhan memandang sek
ntai saja, Nak. Kita di sini bukan untuk dihakimi. Kita di sini unt
uatnya merasa segar, seolah ada beban yang perlahan-lahan hilang. Setiap gerakan wudhu yang ia lakukan terasa baru, meski ia pernah mempela
bimbingnya menuju barisan paling belakang. "Di sini saja, Nak. Ik
ba mengikuti, meski gerakannya sedikit kaku. Namun, ketika ia bersujud, sesuatu yang berbeda terjadi. Di sana, di atas sajadah, dengan dahi menyentuh lantai, ia mer
oba mencerna apa yang baru saja ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa damai. Tidak ada suara musik b
itu memecah keheningan. Ia duduk di sebelah Fa
cil. "Tenang, Pak. Entah ken
dengan mengingat-Nya. Dunia ini penuh gemerlap, tapi hati yang gelisah tidak akan
aca lagi. "Saya nggak tahu harus mulai dari mana
ang penting adalah langkah yang kamu ambil sekarang. Allah Maha Pengampun, s
angan arah. Namun, pagi ini, di tempat yang sederhana ini, ia merasa seperti menemukan
man bergoyang lembut diterpa angin. Ia berhenti sejenak di bawahnya, menatap langit biru yang te
l hitam berhenti di depan gerbang masjid, dan seseorang yang ia kenal kel
ak serius kan?" teriak Tio,
lai bergolak. Apa yang harus ia katakan? Apa yang akan te
menjadi saksi dari keputusan