TITIK PENGKHIANATAN
jam dinding menambah kesunyian malam itu. Dia melirik ke arah jam-sudah hampir tengah malam. Dika, suaminya, belum juga p
suaranya nyaris tak terdengar. Dia menga
kamu d
api tak ada balasan. Rina merasa gelisah. Dalam hatinya, benih kecurigaan mulai tumbuh. "Dia pasti sed
ika melangkah masuk. Dia terlihat lelah, denga
umpuk," katanya sambil men
dipenuhi pertanyaan. "Kamu pulang lebih laru
at tertekan. "Hanya tugas tambaha
ni sudah terjadi berulang kali, Dika. A
na, kamu tahu aku mencintaimu. Kenapa k
anya ingin kejujuran. Jika ada sesuatu yang k
Aku tidak menyembunyikan apa-apa.
pulang larut malam seperti ini? Apakah ada orang lai
g dan frustrasi. "Rina, cukup!
tidak mau seperti ini, Dika. Aku butuh kejelasan. Jika kamu ter
berusaha menenangkan dirinya. "Baiklah, aku akan lebih terbuk
a. "Aku hanya ingin kita kembali s
ggamnya erat. "Kita akan cari
. Dia tidak tahu apakah janji itu bisa mengembali
ta Dika. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya masih
terang, seolah-olah mereka menantikan ja
on. Dia bisa mendengar desah napasnya yang dalam dan nada suara yang berbeda dari bia
a dengan seseorang yang suaranya tak dapat dikenali. Ketika Rina mencoba memejamkan mata, piki
Dika yang tergeletak di atas meja. Tanpa berpikir panjang, dia ba
sofa, matanya tertuju pada layar ponsel. Rina merasakan ke
elesai," Dika berbisik,
masuk. "Siapa yang kamu ajak bicara?" tanyany
na dengan tatapan serius. "Hanya teman ke
idak puas. "Kenapa kamu tidak bisa bicar
a, aku tidak sedang melakukan apa-apa yang salah! Me
"Karena aku merasa terasing, Dika. Kita seharusnya s
k bermaksud menjauhkan diri. Ini hanya pekerjaan, s
hanya kata-kata?" Rina menantan
. "Aku tidak ingin kita berdebat lagi. Mari kita bicarak
mata Dika. "Tapi bagaimana jika semua ini hanya permaina
ah segalanya bagiku. Tidak ada orang lain. Jika aku benar-benar menci
anya. Dalam hatinya, dia berharap bisa percaya. "Ta
segala ketakutan. "Kita akan mencari jalan keluar. Aku berjanji a
nginnya keraguan. "Apakah kita masih bisa kembal
rasakan ketidakpastian dalam jawaban
an dan perasaan mereka mengalir. Namun, di dalam hati Rina, bayang-bayang
saha untuk mempercayai Dika, tetapi semakin dia mencoba, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Set
getar. Dia melihat nama yang tidak dikenalnya muncul di layar. Rasa ingin tahunya m
aranya sed
tetapi tidak bisa dia ingat dari mana. "Ini Gi
ma itu. "Oh, halo. Tidak, tidak me
ni, dan mungkin dia tidak memberitahumu semua detail proyeknya. Tapi aku rasa di
erasa sedikit bingung." Rina berusaha t
butuh berbicara, aku ada di sini. Dika sangat menghargai kamu," Gita me
ntuk berhati-hati. Dia menutup telepon dan berusaha menenangkan dir
an dengan makanan yang telah disiapkannya. Dika tampak
r lagi," katanya sam
ina mengawali percaka
nya langsung berubah. "O
ras dan tidak ingin aku khawatir,"
. Aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku," Dika berkata,
Kenapa kamu tidak bisa memberi tahu aku lebih ba
sudah menjelaskan semua ini. Pekerjaanku tidak mudah. Jika aku memb
! Kita sudah menikah, seharusnya kita saling berba
ukanlah tentang kita. Ini tentang pekerjaanku dan
u? Atau ada yang lain?" tanya R
na, tolong. Jangan terus mengulang pertanyaan yang sama
kejelasan, Dika. Jika ada yang tidak beres, kata
. "Aku tidak tahu harus bilang apa. Kadang-kadang aku merasa tert
ingin mengerti, Dika. Jika kita terus bersembunyi di
uh dengan kelelahan. "Mungkin kita perlu mencari
a? Apakah itu berarti kita
ingin bertahan, kita harus beran
nya kita sudah gagal, kan? Apakah kita sud
dak, kita tidak gagal. Kita hanya perlu mengakui bah
, rasa sakit dan keraguan itu sulit dihilangkan. "Aku tidak ingin kehila
tu. Mari kita hadapi bersama. Kita bisa me
u mereka sedang berada di persimpangan yang penting, dan keputusan yang mereka buat selanjutnya akan menentukan masa depan
nggantung: Apakah mereka cukup kuat untuk
ambu