DUA CINTA SATU PENGKHIANATAN
apaian tim selama setahun terakhir. Doni datang terlambat, sedikit lelah setelah seharian menghadapi rapat yang tak ada
u pada sosok wanita yang tak dikenalnya. Clara. Ia sedang berbincang dengan beberapa kolega, ter
sebelumnya. Padahal, sebagai salah satu manajer senior di perusahaan, Doni biasanya me
oni, senyumnya langsung mengembang. "Pak Doni, kan?" Clara mende
balas senyum itu. "Iya, betul. Maaf,
a bulan, tapi mungkin belum pernah ketemu langsung d
gingat tapi sia-sia. Entah kenapa, meski ia sering mengawasi divisi l
a bisa ketemu sama Bapak. Saya dengar Bapak salah satu pilar
nggung. "Ah, mereka terlalu berlebihan.
i, ide-ide segar, dan caranya melihat dunia begitu berbeda dari apa yang biasa Doni hadapi di rumah atau di kantor. Setiap
n dan menawari Doni. "Pak, minum dulu. Kita t
s kali ini. "Kamu benar. Acara
ersulang dengan tawa ringan. Suasana yang
i?" tanya Clara, matany
n panjang kariernya di perusahaan itu. "Mulai dari bawah sampai s
uar biasa. Saya suka cara Bapak cerita. Selalu ada keseriusa
h menjadi barang langka. Sesuatu dalam diri Doni bergerak-sebuah ketertarikan yang tidak ia sadari sedang tumbuh. Cara Clara tersenyum, caranya berbicara dengan semangat,
tai, seperti tak ada beban. Doni menikmati momen itu-suasana yang bebas, jauh dari rutinitas, jauh dari kewajiban rumah tangga yang
sa dengan rekan kerja baru, namun ia tahu, dalam hatinya, ada sesuatu yang lebih. **Clara bukan sekadar ka
gan senyum yang tak pernah pudar, "Senang bisa ngobrol sama Bapak. M
annya yang campur aduk. "Tentu,
i sana sejenak, menatap kepergiannya. Hatiny
salah besar. Tetapi, dalam keheningan malam itu, Doni
ersalah karena terlalu menikmati perhatian Clara, tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam diri wanita muda itu yang membu
onton televisi. Dina tersenyum hangat begitu melihat suaminya pulang. "Acar
enanggalkan sepatunya. "Cuma acar
akan ingin menggali lebih dalam. "Kamu te
ahannya. "Biasa, Din. Kerjaan di kantor lagi ba
ring pulang larut dan terlihat lelah akhir-akhir ini. **Apa benar cuma soal pekerjaan?** pikir Dina, ta
ujung tempat tidur, matanya menatap kosong pada dinding. Suasana rumah terasa begitu t
dakan ada pesan masuk. Doni mengeluarkan
a ngobrol sama Bapak tadi. Semoga ki
sesuatu yang lain di balik kata-kata Clara. Sesaat, ia menatap layar ponsel, jari-jar
n yang berbahaya, tangannya seolah
juga senang ngobrol tadi. Kita
bat terlalu jauh, tapi di sisi lain, ada sisi dari dirinya yang belum siap untuk melepa
, pikirannya terus-menerus kembali ke Clara. Setiap kali ia mencoba menyibukkan diri denga
n membawa beberapa dokumen, ia tersenyum dan menyapanya. "Pak Doni, ini lapor
kehadirannya setelah apa yang terjadi kemarin. "O
epat terus, ya, Pak. Saya bel
asa dihargai, sesuatu yang lama tak ia rasakan dalam kehidupan rumah tangganya. I
na meeting minggu depan," kata Doni mencoba mengalih
ambil tersenyum ceria. "Mungkin kita bisa ngobrol
, tapi ia tahu, jika ia menerima, itu hanya akan membuat situasinya semakin sulit.
ke sana," jawab Doni, t
tu bisa menjadi titik balik yang membawa hubungan ini ke arah yang lebih berbahaya. Tapi, di d
ana tenang, lampu-lampu remang menambah nuansa nyaman. Clara sudah m
r kantor," Clara menyapa dengan nada rama
han-lahan menjauh dari hal-hal profesional dan mulai memasuki topik pribadi. Clara menceritakan tentang hidupnya, perjala
Clara dengan senyum tipis. "Tapi aku senang, karena aku bi
ungnya. "Aku juga banyak belajar dari kalian yang mud
asaan ini salah, tapi semakin lama, semakin sulit untuk menghindarinya. Setiap senyum, s
njadi momen yang lebih personal. Ketika mereka berpisah, Doni merasakan sebuah
ni tahu, jalan ini hanya akan
ambu