Di Sudut Memori
ingat hanyalah beberapa macam memori random. Kelulusan pada masa
anya. Hari dimana teman di pompa bensin berencana untuk memperkosaku. Mataku berkedip berulang kali. Menyesuaia. Bagaimana tetesan air datang bersamaan. Membuat apa pun yang tersentuh olehnya menjadi basah. Bahkan bisa membuat suhu tubuh manusia menjadi kedinginan. Aku sering kehujan
ntik air hujan. Tidak ada satu pun orang sadar aku tengah membahasakan kecewaku. Dengan hidup yang entah sejak kapan, bosan u
gia. Tapi, mencoba untuk menyadarkan diri kalau apa yang terjadi memang harus dilewati. Mau atau tidak. Aku pasti akan menghadapi masalah
kit. Tubuhku bergeser ke kanan. Mendapati sebuah tempat tidur lagi. Seorang nenek yang terlihat sudah cukup tua. Mungkin sekitar umur lima puluh tahun. Mata sayu itu balas menatapku. Lalu
mar. Apakah aku sedang berkhayal? Aku tidak y
li. Barulah, aku melihat ada dua pasien lain, kira-kira umurnya jauh lebih tua dari nenek tadi. Mereka
kan, aku dan nenek di sebelahku hanya terdapat selang infus? Banyak sekali pertanyaan yang t
ngkin saja selama ini aku salah sangka. Kalau aku memang sudah tua. Hanya
membingungkan. Di suatu ketika, aku terbangun di tempat gelap tanpa ada satu cahaya
ecuali rasa sakit bertubi-tubi pada kepala. Awalnya bagian belakang. Sekarang, s
ketahui isinya. Rasa takut kembali menguasai diriku. Aku melempar apa saja. Asalkan bisa membuatnya pergi. Sebuah botol air mineral, bantal yan
ang pergi!" ter
ba melemah. Kalau saja bisa berlari, aku pasti sudah melakukannya dari t
Sebuah amarah juga kurasakan. Seperti ada bola api panas di dalam rongga
tu sudah pergi. Tapi aku masih merasakan takut. Lalu, sosok ibu tiba-tiba mun
aturan. Lebih sering tersendat karena tadi menangis. Ibu tidak berkata apa pun melaink
akutan hingga ingin bersembunyi di balik selimut. Berharap kalau hari-hari cepat berlalu. Bisa saja aku tengah bermimpi
npa adanya biji. Ibu selalu tahu kesukaanku terhadap buah ini. Semangka. Alasanku menyukai semangka karena selain rasanya
Perintah Ibu den
terkesan galak. Setiap kali jatuh sakit, ibu akan begadang untuk me
Karena pada masa itu belum memahami rasa kecewa, sedih, dan marah. Termasuk waktu aku terjatuh hingga membuat tangan
menoleh ke arah lain. Tiba-tiba aku malas untuk memakannya karena mendengar perkataan ketus barusan. Ya,
u berpikir positif karena ibuku pasti lelah. Justru sekarang bersikap seakan-akan aku patut d
ah ini. Bantal serta tempat tidur terasa keras. Seperti tengah berbaring di batu karang pantai –biasanya tempat orang-orang duduk dan menikmati sep
n supaya tidak merepotkan Ibu dan Ba
n nada yang sebisa mungki
Aku mulai merasa curiga kalau semua memang disengaja. Baik itu berada di rumah sakit. Atau penyakit yang tidak diketahu
Ya Tuhan, aku benar-benar kecewa melihat sikap ibuku sekarang. Lebih tepat jika dikatakan kec
mau mendengarkan seluruh pendapatku. Bahkan, memberi naseh
jatkan setiap harinya. Aku berharap bisa mengulang waktu dan memperbaiki segala kekacauan yang ada. Namun, aku segera tersadar kalau yang kupikirk
Ibu al
s. Yang aku tahu, selalu memelukku ketika sakit. Menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur dengan wajahnya yang selalu terse
awaban. Seluruh pikiran tiba-tiba kembali kosong. Rasa sakit kembali kurasakan. Bertubi-tubi seperti dipukul oleh tongkat bisbol dengan keras. Kemudian, s
r itu terlihat kaget. Matanya menatapku tidak
, ini
kata-kata yang pas. Aku putuskan untuk berdiam diri. Tidak menanggapinya. Lalu, mataku kembali
a ingat! Ini
hnya. Aku tidak tahu alasan mengapa ia menangis pilu. Bahunya terguncang. Bahkan
teskan air mata. Jatuh ke telapak tanganku yang terasa dingin. Rongga dadaku terasa berat. Seperti
i. Kenapa seorang ibu di hadapanku menangis. Dan lebih anehnya karena aku ikut-ikutan menangis. "Ibu
tra. Sungguh
pucat. Aku merasa sedih. Bagaimana bisa ia mengakui diri sebagai ibuku? Ada perasaan kecewa. Karena, aku benar-benar membutuhkan kehadir
amu bukan
karena kemarahan atau kecewa karena belum menemukan anaknya? Satu hal yang aku tahu, kalau ia pasti sud
lat. Dua bungkus nasi. Serta parsel buah berukuran kecil yang dirangkai dengan apel, jeruk, anggur, serta jambu
tu sepenuhnya terlihat lelah. Aku tidak berkata apa pun dan memilih untuk mendengarnya berbicara di telepon. Aku tertarik untuk mengambil sebuah boneka yang t
dengan tatapan yang dalam. Karena melihatnya bersedih membuat perasaan an
menepisnya. Berikutnya adalah sebuah tepukan pada punggungku. Tanpa disadari, air mataku mengalir. Aku juga tidak mengerti kenapa