Di Sudut Memori
aneh menghinggapi dalam rongga dada. Kecewa, sedih, dan berat pada wakt
n anjing yang tengah berkejar-kejaran. Mungkin aku tengah be
jam yang terus menerus bergerak dan menambah angka setiap lima menit be
ada Dwiyan. Berkata kalau pesan singkat yang kukirimkan kemarin hanya sebuah salah pah
hampir membuatku limbung karena tiba-tiba kakiku mendadak lemas. Dengan detakan jantung lebi
pa adanya ancaman atau rencana-rencana lain yang
melatuk. Kurasa, aku hampir saja pingsan kalau Maha tidak segera mengangkat tubuhku. Ia tiba-tiba datang. Adik bungsu yan
nya. Mendengarkan derap langkah kaki menjauh dari kamar mandi. Ia menurunkanku di kasur lalu mengambilkan handuk untuk mengeringkan rambut ya
ahi atau pun mengomel karena ia sering meninggalkanku sendirian.. Tapi yang bisa kulakukan
nya mengangkat ponsel mungil monokrom yang masih betah dipakainya. Setiap aku menyuruhnya untuk mengganti dengan ponsel baru, M
dengan badan yang bidang. Ketika Maha menyelesaikan pembicaraan dalam telepon, kesadaranku mulai
rkata apa pun. Namun, merengkuhku dan tangannya menggenggam telapak tangank
aku benar-benar mengutarakannya. Kalau aku ingin berhenti kerja di pompa bensin. Bukan karena terikny
rta makian yang membuat jantungku kembali berdetak lebih cepat. Rasa takut menggelayuti hatiku jika aku tiba-tiba harus diusir karena tidak menuruti perintah bap
presi itu. Kemarahan. Aku ingin mengatakan semua yang telah terjadi di pompa bensin. Tapi, ibu memotong ucapanku dan men
iyan. Diiringi seulas senyum. Setelah mendapat jawaban singkat dari ak
a mengungkapkan semuanya. Betapa takutnya ak
an di kamar dan merenungi perbuatan tadi. Pikiranku mulai mengingat
pat sebuah tamparan yang masih terasa perih sampai sekarang. Aku tadi tidak berangk
diri di kasur. Menolak untuk makan dan mandi. Sekalipun Maha yang menyuruh. Sekarang pandanganku memburam. Suara-suara wanita berteriak bergema di kepala. Aku tid
+.+
rjap. Berharap kalau apa yang kulihat sekarang bukan ilusi. Bapak dan ibu duduk berdampingan di sofa kamarku. Tapi, ada yang aneh. Mereka tengah
kkk
ddy bear erat –hadiah ulang tahun ke empat belas dari Yanti. Kemudian, m
ata yang menyeramkan. Tidak sekali pun aku pernah melihat raut wajah mereka yang men
lebar. Giginya kehitaman. Mata ibu menyipit sampai tidak terlihat. Aku ingin
?" tanya Ibu dengan s
biasanya. Aku menautkan kedua alis. Pasti ada yang salah. Aku menguc
. Tapi, setelah bangun tidur justru disambut oleh pemandangan menyeramkan begini. Jantungku berpacu c
yak dan helaian rambut putih termakan usia. Baru kemarin di rambutnya hanya te
ku takut sekali. Apakah mungkin aku terdampar di pulau yGenangan air mata memenuhi kelopak mata. Lama-lama aku bisa gila. Aku meremas rambut frustasi. Siapa s
lang belulang yang tadi kubilang. Rasa mual terasa di lambung. Aku ingi
alian sem
bukan kamarku. Hanya ada sebuah kasur untuk seukuran pasien rumah sakit. Di sek
ah tiang besi. Benar saja, aku tidak bisa bergerak. Kakiku dirantai. Dan j
ruangan yang tiba-tiba menjadi gelap. Aku sampai tidak bisa melihat tanganku
saling bertautan. Berulang kali aku menggumam dalam hati. Aku berjanji tidak a
ulang.." gumam
ijau terbentang pada lapangan. Bunga-bunga cantik tanpa wangi semerbak yang menyita perhatianku. Atau, makanan enak yang belum pern
n saja salah. Tapi, suara itu terus-terusan mengusikku. Suara detak jantung yang berdetak lambat dan semakin cepat. Lalu, kembali dengan
ak
Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah mereka. Ketiganya memakai jubah putih dan membawa
an. Sekali lagi. Aku meyakinkan hal itu. Namun saat membuka mata, orang-orang asing yang memakai
Kubilang
dalam waktu bersamaan. Aku tidak ingat apa yang telah terjadi hingga berakhir di tempat mengerikan ini. Rasanya, aku ingin kembali berteriak saat jarum sun
aku bisa saja muntah sekarang. Setelah rasa sakit yang kembali menyiksa pada kepala bagian belakang. Sayu