MELEPAS JERAT SUAMI PARAS(H)IT
n meski hatinya terasa berat. Saat mereka memasuki rumah, aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan.
glamor. Ibu Damar segera menyambut kedatangan mereka dengan hangat, s
Damar berkata sambil memeluk mereka. "Ibu sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk kalian." Elmi
nyum ramah. "Wah, Hendra yakin masakan i
jam. Entah kenapa, Risma selalu saja iri dengan penampilan Elmi,
ya, ibu kan bukan koki profesional." Ib
... Saya harap semuanya sesuai s
runtungnya Risma memiliki suami sepertinya. "Hendra ini sangat sukses, kerja di perusahaan besar. Kamu h
seperti Hendra. Kamu tidak pernah salah memilih," I
Damar dan Elmi. Mereka hanya mampir setiap kali ada
pujian yang berlebihan dilontarkan ibu mertuanya. Namun, saat Risma
an, katanya kamu pengen banget jadi ibu?" Risma menyindir dengan nada menyengat. "Aku aja renca
anan cuma mengangguk setuju. Damar yang baru sa
ng berusaha, Risma. Semoga saja tidak lama lagi," jaw
ukan apa pun untuk membela istrinya. Dia hanya fokus pada pi
hkan, "Benar, Elmi. Kamu harus berusaha lebih keras. Ti
an. "Saya mengerti, Bu. Ka
Kita semua tahu Damar tidak terlalu berambisi." Dia tertawa sinis, dan t
agar Damar membantu dirinya untuk menyuarakan perasaannya, tetapi dia tahu itu hanya akan memper
sa hancur mendengar sindiran-sindiran itu. Semua harapan dan impian tentang kebahagiaan pernikaha
alam ketidakberdayaan, memilih untuk tidak terlibat dalam ketegangan yang terjadi. Elmi menghela napas, menyadari bahwa
ilang begitu saja. Dia membersihkan meja makan dengan hati-hati, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian penghinaan saat makan siang. Begitu se
ang masih setengah basah, lalu mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Namun, pikiran Elmi masih terpusat pada kejadian makan siang tadi. Bag
ti itu tadi?" tanyanya dengan suara pelan, nyar
s pada layar ponselnya. "Mereka cuma ber
Damar seolah membuat semua kejadian tadi menjadi tidak penting. Padahal, bagi Elmi, itu
ang masih asyik dengan ponselnya. "Mereka mengh
erius. "Sudahlah, El! Jangan memperpanjang masal
lmi mulai bergetar. "Aku ini istrimu, Dam. Kenapa kamu tidak pernah ber
at sebal. "Kamu ini kenapa, sih? Sudahlah, jangan lebay. Mereka
edihan bercampur menjadi satu. Bagaima
nahan tangis yang mengancam pecah. "Aku ini kan istrimu. Aku b
n kesal. "El, aku capek. Bisa nggak sih,
natap suaminya dengan tatapan tidak percaya. "Drama-dramaan
"Ya sudah, aku salah. Maaf, ya? Tapi, tolong, jan
ia tahu, Damar tidak akan pernah mengerti perasaannya. Dan dia juga tahu,
atikan lampu kamar, menyisakan hanya lampu tidur yang remang. Sambil berba
ngiang di telinganya, menambah luka yang semakin menganga di hatinya. Sementara Damar, yang kini ter
rnyata dia masih berdiri sendirian. Dan seiring berjalannya waktu, dia semakin menyadari bahwa tidak ada
*