Ikatan Cinta yang Unik
Mobil yang mereka naiki segera berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang terletak di komunitas yang tenang dan asri.
Waylon membantu membawa barang bawaan Yvonne dan mengantarkan mereka ke apartemen. Dia kemudian berkata, "Kalian berdua akan tinggal di sini untuk sekarang. Aku akan mengatur vila dan kemudian kalian bisa pindah ke sana."
Yvonne berjalan untuk melihat sekeliling, dia segera menyadari bahwa apartemen ini cukup bagus.
"Ini cukup untuk kami, Waylon. Kamu tidak harus repot-repot menyiapkan vila. Terima kasih."
"Tidak perlu sungkan."
Waylon bersedia melakukan semua ini dan lebih banyak lagi untuk Yvonne. Lagi pula, dia juga akan membantunya. Dia mengandalkannya untuk menyembuhkan penyakit yang diderita kakek buyutnya. Membuat Yvonne tinggal nyaman di kota ini tidak terasa merepotkan untuknya.
Yvonne dan Aiden tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat nyaman diri mereka di apartemen itu. Seperti setiap anak seusianya, Aiden merasa penasaran dengan lingkungan baru ini. Dia berlari memutari apartemen selama beberapa menit sebelum bertanya dengan penuh semangat, "Bu, apa ini akan menjadi rumah baru kita? Aku suka di sini!"
"Ya, ini menjadi rumah baru kita!" ucap Yvonne sambil tersenyum dan mengelus kepala putranya. "Aku senang kamu menyukainya. Mari kita tinggal di sini untuk waktu yang lama, oke?"
"Oke!" jawabnya sambil memberi isyarat dengan jari-jarinya.
Saat Yvonne memutuskan untuk kembali ke Kota Egoford, salah satu kekhawatiran terbesarnya adalah bagaimana Aiden akan beradaptasi. Dia bertanya-tanya, apakah putranya akan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekarang, dia senang karena Aiden menyukai apartemen ini dan ingin tinggal di sini.
Tiba-tiba Aiden memeluknya dan berkata dengan lembut, "Aku selalu ingin mengunjungi kampung halaman Ibu dan mengetahui seperti apa hidup Ibu sebelum Ibu melahirkanku ke dunia. Aku senang kita berada di sini sekarang."
Yvonne terkejut mendengar perkataan putranya. Putranya sangat dewasa, jauh melebihi usianya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Aiden memiliki pemikiran seperti itu.
Sampai sekarang, Aiden merupakan sumber kekuatannya. Yvonne tidak berpikir dia akan bisa bertahan selama beberapa tahun terakhir ini jika bukan karena putranya.
Dia bersyukur pada Tuhan karena telah memberinya anak yang begitu bijaksana.
Air mata bahagia membuat matanya terasa perih saat dia memeluk tubuh mungil putranya. Dia mendaratkan sebuah kecupan ke pipi putranya yang lembut dan berkata, "Seandainya Ibu tahu bahwa kamu berharap untuk datang ke sini, Ibu akan datang ke sini lebih cepat. Bagaimanapun, Ibu berjanji bahwa kita tidak akan sering berpindah-pindah tempat tinggal lagi. Secepat mungkin, Ibu akan mengurus semuanya di sini. Lalu, kita berdua akan hidup bahagia selamanya."
"Janji?" Aiden dan ibunya menyilangkan kelingking mereka pada satu sama lain. Kemudian Aiden menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kilatan penuh arti di matanya.
Dalam benaknya, dia bersumpah akan berurusan dengan semua orang yang berani menyakiti ibunya di masa lalu. Dia tahu bahwa ibunya datang ke sini untuk membalaskan dendamnya pada orang-orang jahat.
Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat mengintip melalui tirai dan jatuh menyinari wajah Yvonne. Dia sedikit bergerak dan membuka matanya. Tatapannya jatuh pada Aiden yang sedang tertidur di pelukannya. Dia mencium kening putranya dan perlahan bangkit dari tempat tidur.
"Bu, apa Ibu akan berangkat untuk menghadiri wawancara sekarang?" Aiden yang terbangun karena gangguan itu, bertanya sambil menggosok matanya.
"Benar, Sayang. Kamu harus tinggal di rumah dan menjadi anak yang baik, oke? Ibu sudah mengirim pesan pada Tante Isabella. Dia akan datang ke sini untuk menemanimu nanti."
Aiden melompat ke dalam pelukan ibunya. Menggosok hidungnya ke hidung ibunya, dia berkata dengan percaya diri, "Ibu sangat luar biasa! Aku yakin Ibu bisa lulus dari wawancaranya. Pergilah ke sana dan tunjukkan pada mereka kemampuan Ibu!"
Yvonne tertawa, hatinya menghangat.
Dia mandi dengan cepat dan mengenakan setelan profesional yang menonjolkan tubuhnya yang ramping dan montok. Dia mengenakan riasan wajah tipis dan menata rambutnya dengan rapi. Menatap pantulan bayangannya di cermin, dia mengangkat tangan kanannya dan berkata, "Semangat, Yvonne!"
"Aiden, Ibu berangkat!"
Setelah mencium putranya dan mengingatkannya untuk bersikap baik, Yvonne pergi meninggalkan rumah. Dia berjalan ke pinggir jalan untuk menaiki taksi. Tiba-tiba, seorang pria menabraknya dan hampir jatuh ke pelukannya. Dia menangkapnya, merasa bingung. Ada apa dengan orang ini?
"Hei Pak!" ujar Yvonne, melihat mata pria itu terpejam dan wajahnya pucat. Bulu matanya sedikit bergetar, tetapi sepertinya dia tidak berpura-pura. Yvonne memperhatikan bahwa pria ini mengenakan pakaian bagus. Dia tidak terlihat seperti penipu yang hanya berakting untuk membuatnya lengah sebelum melancarkan tipuannya.
"Uhuk, uhuk ...!"
Pria itu terbatuk, napasnya terengah-engah seolah baru saja lari maraton. Dadanya berulang kali naik-turun.
Yvonne menempatkannya di bangku yang berada tidak jauh dari sana. Dia memeriksa denyut nadinya untuk mencari petunjuk tentang apa yang tejadi pada pria itu.
"Oh, kamu menderita asma!"
Yvonne dengan cepat merogoh saku dan tas pria tersebut untuk mencari inhaler. Biasanya penderita asma membawa inhaler ke mana pun mereka pergi, kalau-kalau penyakit mereka kambuh secara mendadak. Sayangnya, setelah mencari di mana-mana, dia tidak menemukan benda penting itu pada pria ini.
Dalam kurun waktu itu, deru napasnya menjadi lebih berat dan wajahnya memerah. Banyak orang berkumpul di sekitar mereka untuk menyaksikan adegan itu. Beberapa orang dari mereka bahkan mengambil ponsel mereka dan mulai merekam.
Itu gangguan yang tidak diinginkan saat ini. Meskipun begitu, Yvonne tidak panik dan segera menelepon ambulans. Dia terus memberinya pertolongan pertama sampai ambulans tiba. Kemudian pria itu diangkat ke dalamnya dan diantarkan ke rumah sakit terdekat.
Dokter yang merawat pria itu terkejut karena nyawanya berhasil selamat meski tidak memiliki inhaler. Dia berjabat tangan dengan Yvonne dan berkata, "Kamu seorang penyelamat, Nona. Apa kamu seorang dokter? Jika kamu tidak memberinya pertolongan pertama, dia pasti sudah meninggal jauh sebelum dia bisa dibawa ke sini."
Yvonne hanya menanggapinya dengan senyuman.
Setelah itu, Yvonne mengurus tagihan medis dan menghubungi kerabat pria tersebut. Dia tidak meninggalkan rumah sakit sampai kerabat pria itu tiba.
Ketika berjalan keluar dari rumah sakit, dia melihat jam tangannya dan menemukan bahwa sekarang sudah lewat jam sepuluh.
"Astaga, aku sudah terlambat untuk menghadiri wawancara!" seru Yvonne kaget, berharap dia akan dimaafkan karena sudah datang terlambat.