Kisah Cinta di Batukarut
olat berjamaah. Kuikuti imam yang paruh baya, pengganti dari bapaknya yang sudah tiada. Aku jadi ingat tahun-tahun yang lalu saat aku masih sekolah di SMA, Musola tua ini tempat kami kum
ang memang memiliki putri yang cantik-cantik. Namun kini teman-teman yang biasa sholat di sini tidak kujumpai lagi. Dan aku menyadari betapa aku sudah lama tidak sholat
lah tua ini, karena besok akan meninggalkan Sawangan
a Aang berbasa-basi. Kujawab iya. Lal
au..." Aku menja
u menggambar. "Ya... gitu deh, kalau nggak menggambar, ya siaran di radio Cobra." Kataku seadanya. Tapi memang begitulah, sepulang dari rantau aku memang meng
gar perkataan itu, aku berhenti menggambar. "A
. Jadi dia tuh mau usaha mengelola tanah teras untuk batako.
ua kerja ngapain?
mandor, atau wakil manager...pokoknya d
tuju, kapan
es
biasa Emak selalu menyediakan sarapan dan makanan yang harus dibawa. Sekitar jam 7.00 pagi aku suda
gukkan kepala, sementara istri dan dua anak Pak Yatna tertawa. Mungkin mereka heran dengan nama Batukarut. "Oya,
itu Pak Ading punya anak yang sebaya denganku namanya Herman, atau Belu, nama panggilannya. Kemudian aku juga diperkenalkan oleh P
at sambil menunjuk sana-sini. Aku hanya manggut-manggut saja. "Hm... bagaim
ak Yatna akan ke sini, kas ang
egang kas anggaran tersebut." Pak Ajat menepuk bahuku. "Coba kamu tanya
ika aku menemuinya di rumah Pak Ading. Saat itu istri
ku, "Hm... Pak Ajat
i lokasi ya?" Kata Pak Yatna sambil mem
ra Ibu Yatna, Anak-anaknya tampak kegirangan, karena
ita ke lokasi aja." Kat
isi Pak Yatna, yang masih memegang buku besar tersebut. Pak Ad
Pak Ajat hanya sebagai pengawas saja." Kata Pak Yatna sambil memilih jalan yang enak, karena jalan yang dilaluinya itu ag
itu pengaw
tas mengetahui medan lokasi." Ia berhenti sebenta
Aku masih b
nya ada di pojok. Pak Yatna membalas lambaian tangan sambil tersenyum. Kemudian berkata kepada Pak Ading, "Pak Ading, tolong deh para pekerja dibilangin, nanti sehabis zhuhur segera berkumpul di sini." Pak Ading mengangguk, lalu permisi. Cangkul yang tengah dipegangnya ditinggalkan di dekat gubuk, kemudian berlalu dari tempat itu. Kuli
tersenyum, namun aku melihat ada senyum yang sinis m
pemasukan dan pengeluarannya." Pak Yatna berhenti sebentar memperhatikan Pak Aj
..." Katanya tertawa, "Tenang Lih,
Deni, salah satu anaknya Pak Yatna menghampiriku. "Bang Liar
g kemudian menyuruh anaknya kembali kepada ibunya. Dengan kecewa Deni kembali
pa-apa... Kita tunggu a
ya lebih jauh. Posisinya di pinggir tebing yang menuju balong, yang di bawahnya terdapat beberapa mata a
yang ia lihat. Sebuah dataran yang mengarah ke balong. Di mana pemandangan
s yang sudah digali harus berada di tepi jalan agar mudah diangkut mobil dan
imana ya?" Bu Yatna tampak agak bingung. Aku langsung
na turut tertawa. "Lho,
air." Aku menunjuk ke bawah. Di sana tampak
mengambil posisi di bangku panjang, yang terdapat di seberang bale bambu tersebut. Ada pula bangku yang terbuat dari rotan, dan bangku biasa, dengan meja kecil yang cukup untuk meletakkan ge
uju ke bawah dengan posisi landai ke arah timur. Maka di ujung sana aku dapat melihat empang-empang yang bertembok, dengan aliran air di sisinya. Pada sisi aliran air terdapat jalan setapak yang sudah dirapikan, dengan tembok atau semen yang sudah dibuat oleh dinas irigasi. Setiap melintas seratus meter terdapat pagar tembok berbentuk persegi, gunanya untuk orang mandi atau mencuci. Sementara di tempat aku berdiri dekat mata
elimpah dengan sebasah-basahnya. Deni
nyak banget.. dan
baru ngomong." Teg
emanjat sedikit kami menyeberangi parit berair bening, lalu sampailah kami di musola. Ternyata ukuran bangunan itu kecil, di dalamnya cuma muat untuk dua shaf, dengan posisi imam di tempat yang menjorok. Musola itu dibuat memang khusus buat orang-orang sholat, yang mandi di mata ai
ua yang sudah selesai sholat. Orang tua
" Sahutku de
rsebut permisi. Aku meng
mum. Selesai sholat kulihat Pak Yatna sudah berdiri
dulu... tunggu Bapak
k." Aku m
ani irigasi, memanjang, menurun sampai ke hilir. Kulihat pula ada beberapa orang datang ke mata air, perempuan dan juga laki-laki. Kalau yang lak
u. "Peganglah, Lih.. ada beberapa bagian, untuk uang saku kamu
agaimana, P
ta jangan kamu berikan..." Kata Pak Yatna serius, "Oh, ya
s datang?
ar. gua pikir siapa..?" Kata Pak Yunus tertawa ketika melihatku. Logat Sawangannya terdengar dengan jelas. Pak Yunus memang tet
jadi supir di sini..." Sahutku bergurau. Pak Yunus tert
il menyebut namanya, "Ubed..." Kata seorang yang kurus dan agak hitam, Kemudian Dadun, yang rambutnya gondrong keriting, tampangnya lugu, logat sundanya pun kental. Yan
mu, Ingat ya pesan-pesan Bapak tadi. Sementara ini kamu tinggal di ru
asih, Pak
obil pribadinya. Dan setelah itu, Pak Ajat mengajakk
ya. Mulutnya tersenyum, tetapi matanya nanar. Belum sempat aku bicara, buku
as anggarannya nanti
nti?" Buku besar itu dikembalikan lagi padaku. Aku melihatnya,
ci dahulu, berapa besarnya pemasukan dan pengeluarannya nanti. Belum lagi tenaga beberapa pek
bahuku..."Pinter kamu Lih..hmm.." Ia menatapku s
ana ya?" Ak
luarkan uang dari dompet pribadiku, uang dalam amplop tidak kuperlihatkan. Ia menerimanya dengan tersenyum, "Terima kasih, Lih... Pokoknya jangan kuatir, urusan kuli nanti beres." Pak Ajat permisi, ia pulang meninggalkan aku yang termangu sendiri. Ternyata sulit memegang amanat Pak Yatna, untuk tidak memberi uang sesenpun kepada Pak Ajat. Kulihat Pak Ading dan tiga anak
rcerita apa saja saat berada di Sawangan. Dan ketika cerita beralih tentang pembahasan pekerjaan di sini. K