Saat Istriku Memilih Mati
erti saat aku menyambutnya dengan senyum terkembang kala meminta kesediaannya untuk menikah
i bahagia itu mem
tanganku gemetar tak karuan. Dengan hembusan napas panjang dan hati ge
asih
hati-hati sekali takut menyakitinya. Takut menyakitinya? Mengapa baru sek
aku berjanji di depan penghulu, tapi rupanya aku bukanlah lelaki atas sumpahku. S
a keberadaanku dan kapan aku pulang. Lebih-lebih harus mendengarkan cerita hari-harinya, seti
ami bertiga, lagu lama kaset rusak, aku bosan. Dia wanita yang kunikahi karena kepintarannya dulu, ki
rja dengan karakternya masing-masing yang bikin pusing kepala. Ak
rumah tetangga agar pikiranku rileks. Waktu itu aku merasa, rumah bukanlah rumah, tapi bara api, selalu pan
r, dengan demikian aku juga bisa langsung istirahat setibanya di
mpat memutus pers*ngg*maan kami saat aku mencapi klimaks, namun aku berda
sorot mata tak terimam
bersamaan! Bahkan Rayi masih kecil 15 bulan, dan Azka baru 4 tahun, bagaimana jika
alhamdulillah." Dalihku ent
s satu bayi saja sudah berat, ditambah lagi harus mengurusi kakak-kakakny
las, apa yang bunda lakukan itu tak tampak nilainya, tapi disitulah le
saat kulirik mulutmu menganga kehabisan kata-k
unjukkan garis dua. Juga rutin mengayuh sepeda untuk Azka, sulung
k kita yang kedua yang masih balita sembari menyicil tanah di
pi kamu cerita jika ibuku bertanya kemana saja hasil kerjaku selama ini
tu itu, sehingga kamu berinisiatif untuk berjualan donat frozen at
au melakukannya sembari mengurus rumah, Azka, Rayi dan juga jabang
bahwa tubuhmu entah bagaimana keadaannya waktu itu. Karena aku tidur sepanjang malam, tak pernah mengert
u hendak berangkat kerja. Tak paham keluhanmu yang bilang habis begadang
a dokter memimpin operasi. Suami mau berangkat kerja mal
*
butuhkan sosok bundanya menangis memegangi kedua tanganku sembari menat
tangisan, penyesalan, dan juga kekecewaan dari dalam diriku untukku sendiri. Kukunci pintu dan memeluk
tku candu? Kapan lagi aku dapat mengirup wangi tubuhmu secara langsung adinda? Mengapa kita tak
h mengakhirinya. Dua hari lalu kau minta bicara, tapi lagi -lag
ng salah. Bukan diskusi terbuka yang sehat antar dua insan manusia yang de
ya? Terserah aku d
*
peeer..." Rengekan Azka, diiringi t
sekedar berkabung sedih? Aku baru saja kehilanga
itu? Saat ia mengingatkan tangannya yang hanya dua? Saat ia s
mereka saat ini adalah suatu kewajaran. Duh, susah sekali
ertiga. Menuju dapur dan membuka kulkas untuk melihat bahan
suratmu
k Sua
esa-gesa, akhirnya aku mengetahui alasan kepergianmu, dengan demikian aku
udah lulus tahapan pertama menjadi seoran
akan lebih mudah kau lalui. Berikut kujabarkan kebiasaan anak-anak kita, a
n beberapa sayuran lengkap dengan bumbunya agar kau tak kerepotan di 5 hari pertama, i
af
egois untuk mengambil cuti panj
dan juga bumbu yang sudah dikupas beserta catatan kecil cara mem
ini. Apakah di sana lebih baik dibanding hidup denganku, adinda? Kau masi
t sebagai selingan hanya agar mereka mau makan. Maaf anak-anakmu makann
an dia cukup istirahat ya jika tak ingin kerepotan mengurus anak sakit. Jika mus
mijetin semalaman, pastikan mengoleskan balsam di kedua kakinya
i paham yang dia minta. Cobalah memahaminya dengan hati, bukan logika seperti yan
stru belajar memahamimu. Jadi, seperti yang sering
arl
a percakapan kita yang akhirnya baru kudengar (baca) ini berak
enyapa dari balik bahuku ik
ka mau ma
uju pada kotak berisi potongan-potongan a
u di meja makan ya?" titahku yang
emenuhi ruangan saat baru
rcekat saat bukan orang yang dirindukan yang berdiri menunggu ayam mata
ka dan sibuk berkubang dengan kesedihanku sendiri. Saa
g kugoreng dengan mas
Rayi? Ayo makan, k
nda... Karena Azka gak pandai makan dagi
Ali juga, suka yang banyak kuli
ah gorengkan lag
terlalu kering ya
banding terbalik denganku. Aku ingat, saat makan bersama waktu kuliah dulu kamu ju
n kamu beralih lebih menyukai b
hu alasannya. Karena bagian-bagian
gat sindiranku padamu yang sedang meng
rku yang menerbitkan senyum
Allah ya tentang kedzaliman