Dendam Mrs. Ilona
lantai hingga menimbulkan bunyi yang seakan terdengar seperti music pengiring langkah kakinya. Bunyi dengan irama konstan itu tak ia pedulikan kalau-kalau bunyinya nanti
juga ia tak punya kuasa untuk melakukannya. Lagi pula, ini temp
py eyes miliknya dan sejak tadi bertengger pada hidung bangir bak patung Yunani tersebut. Memandang lurus ke depan dengan senyum yang teramat tipis dan nyaris tak terlihat. Ia mencoba mengirup udara dalam-dalam seraya mengatup kelopak matanya
n. Ia lantas mendongakkan kepala tinggi-tinggi, menatap langit sore yang menyambut kedatangannya dengan warna indah-bir
an kembali lagi menginjakkan kaki di tempat yang banyak menciptakan kenangan indah itu? Tidak! Ia pasti akan kembali, tetapi untuk pula
u. Lelaki itu sekarang pasti tengah menanti kabar darinya. Namun, Ilona masih belum sempai mengirimkan pesan singkat untuk lelaki yang selalu membersamainya dalam segala keadaan selama di Paris. Lelaki
lnya. "Nanti akan kuperlihatkan rumah dan potret masa kecilku sesuai inginmu," sambung Ilona dengan senyum yang terpatri begitu cantik. Ia tiba-tiba membayangkan ba
ng Felix, sebab memikirkan lelaki itu tentu tak aka nada titi
sudah menyia-nyiakan waktu dan memperlambat dirinya tiba di rumah. Dan itu juga artinya ia akan membuat seseorang yang berjanji untuk menjemputnya sudah menunggu lebih lama. Kasihan. Sudah cukup satu windu lamanya men
akhirnya terjungkal ke depan dan lututnya berhasil menyentuh lantai pertama kali. Kacamata yang juga di dalam genggamannya terjatuh begitu saja. Ia menga
yentuh lantai bandara dengan sempurna. Namun, anehnya tak ada di antara keduanya yang angkat suara. Me
n, kelopak mata itu tampak terlihat memerah. Menatap Ilona tanpa berkedip. Tid
tapan Felix yang selalu berhasil membuatnya tenang. Namun, seperti ada luka yang terpancar dari sana. Dibuktikan dengan lebih kuat oleh kelop
ngat, ialah yang menjadi korban dalam insiden ini. Beruntungnya, ia
menembus tatapan Ilona, tetapi tak ada percikan ketertarikan di sana. Hanya yang jelas terlihat adalah duka. Lantas, Ilona menjentikkan jarinya di d
membangunkan laki-laki itu dari lamunannya. "Oh
ebelumnya menangis tersedu. Namun, detik berikutnya ia tersadar bahwa ia tidak boleh menjebak d
bergerak mengikuti arah gravitasi. "I'm okay," balasnya. "Aku pergi dulu," sambung laki-
, pikir Ilona. Namun, ia masih belum bisa melupakan s
a tersebut. Sejenak ia termenung memandangi benda itu. Ia lantas mengangkat kepala dan segera bangkit secepat kilat. Ini pasti barang laki-laki itu yang tak disadari tuannya terjatuh. Namun,
laki-laki asing pemilik bola mata basah itu. Akan tetapi, Ilona pun tak punya daya dan cara mengembalikan kepada pemiliknya. Ia tid
ia akan bertemu lagi dengan lelaki itu. Oh, apakah Ilona mengharapkan pertemuan lain setelah ini? Bukan! Bukan i
a bulatnya. Ah, laki-laki itu pasti salah mengambil barang karena tergesa-gesa, pikir Ilona. Tiba-tiba ia merasa sedih, karena harus kehilangan kacamata itu. Bagaimana tidak? Kacamata itu adalah barang pemberian terakhir
rangmu bisa berse
sejenak memicingkan mata untuk memperhatikan siapa laki-laki yang berdiri di hadapannya itu. Namun, detik berikutnya ia langsung memekik
itu di tanah kelahiran mereka. Tanah yang menjadi saksi masa kecil yang indah sebelum duka sama-sama merengg
perhatian orang, hm?" ujar Garry seraya melep
onesia jelas berbeda dengan Paris. Akan ada banyak pasang mata yang memusatkan perhatian dengan
ran
i orangnya sudah pergi," tutur Ilona
u ikut berjongkok dan membantu Ilona. "Dia tidak
ga baik-baik saja," ba
bah. Masih sama seperti dulu," puji Garry dan refleks mengelus puncak p
awa kecil. Padahal, di dalam hatinya ada desiran saat tangan besar Garry menyentuh pun
membantu Ilona membawa barang-barangnya menuju mobil. S