Lawon Abang (Kafan Merah)
ak
rgerak liar di atas tubuh Mawar. Lelaki itu langsung bangkit
Kang! sampean dip
tuk meraih pakaiannya lantas mengenakannya dengan cepat. Tubuh yang lelah dan remuk dia paksakan melangkah. Jalann
ikat sekitar luk
nafas, Kang! Hkkkhh!!" Lelaki tadi mengejang, matany
dakan. "Ini pasti gara-gara sumpah si perempuan
ana
tadi di... Lh
ebab utama atas apa
arena dipatuk ulo, Kang
itu sempat menyumpahi kita mati! Ayo kita buat s
meninggalkan Pramono send
sambil menahan nyeri yang merajai tubuhnya. Darah
Dra
ndekat. Mawar menoleh ke belakang, dia gemetaran hebat. Semakin kera
ang lelaki menarik rambutnya tanpa ampun. Diseretnya t
tu, di desa
g sudah menggelap pekat, juga suasana sekitar yang sudah sepi. Dia segera turun dari amben bambu yang sengaja diletakkan di teras ru
rumah," gumamnya dengan pikiran terbayang wajah cucu semata wayangnya. Dia segera meraih pincuk daun jati berisi makanan yang Tuan Rumah
mewah yang bahkan belum tentu bisa aku belikan meski setahun sekali. Aku jadi ndak s
cemas," Seru Mbah Karso sambil sesekali mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya. Dia mempercepat laju lan
bar-lebar. Sesekali, desau angin membuat dedaunan bergemerisik. Tiba-tiba, kilat petir menyambar-
suk gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso sontak mengehen
an mata memindai sekitar. "Halah, wis pura-pura ndak dengar saja!" sambungnya l
Karso yang berada di dekat tebing menoleh ke atas, ke arah dimana sumbe
ughh
atung, tubuh rentanya gemetaran hebat, degup jantungnya semakin menggila tak terkendali. Dia mendekat, menyoroti wajah ayu yang terpercik darah i
bah Karso mendongak, melihat ke atas tebing. Bulan merah seakan bersembunyi di baliknya
meng-harap ke-matian-ku, Mbah.." lirih Mawar dengan terbata-bata menahan sakit tak berperi. Tangan putih pucatnya terul
erbuat sekeji ini, siapa!?" tany
ar sekarat, dadanya naik turun, pasang m
itu pejam begitu saja. Tangan yang semula berada dalam genggaman Mbah Karso kini jatuh terkulai
Mawar!!!" serunya
ughh
gi bergerak di hadapannya. Masih segar dalam ingatannya
idup, sampean jauh dari kata bahagia, kenapa bahkan di pengh
mpean yang Mbah punya, namun takdir merenggut sampean paksa dengan cara yang
mping tubuh yang tergeletak bersimbah darah. Kepalanya memutar, menatap le
i. Dia mengangkat tubuh Mawar dengan susah payah. "Hiks hiks, sampean abot Nduk! Sampean w
cuma bertumbuh dewasa, tapi ndak bisa sampai menua." Mbah Karso meratap sembari