Lawon Abang (Kafan Merah)
li, dia menggigit kukunya hanya demi menyalurkan kegusarannya. "Dimana Si Mbah? in
agi seraya menatap langit malam. Angin berhembus kencang, membelai mesra wajah ayu serta rambut hit
atang," gumamnya lirih sembari menarik kembali daun jendelanya, lantas menutupnya rap
hingga akhirnya pasang matanya pejam. Dia, gad
Tok
sana. Gadis yang baru saja terlelap itu lantas membuka mata. Dia mengge
ambu beralaskan tikar di kamarnya, lalu berjalan cepat menuju pintu. S
ieee
ra berusia delapan belas tahun itu tersenyum lebar, namun senyumnya memudar cepat saat menyadari yan
Mbah?" Tanya Mawar terbata-bata. Para lelaki itu dia
tadi pamitnya mau ke
ris, aku benar kan?" sambung lelaki jangkung y
awar membenar
i datang sekarang," ujar yang l
n? Jangan dekat-d
!? Cuih! Doamu ndak akan pernah di den
eraih daun pintu lantas menutupnya. Namun belum juga pintu itu tertutup dengan benar, seseorang me
singkong yang tumbuh subur di belakang rumah. Gadis ayu itu berlari sam
rapannya hanya satu, bertemu dengan Si Mbahnya di jalan nanti. Dia tak ingin pulang sendirian karena kali ini, dia mulai merasakan
n untuk beristirahat sebentar di balik pohon besar. Sejenak,
t cari dia, mata merahnya itu pasti tak cukup baik saat melihat apalagi dal
h baik istirahat dulu," Celetuk salah satu lela
!? Wajahnya mirip dengan makhluk itu! Bisa jadi, dia sebenarnya bukan manusia!" Serunya lagi. Para lela
Gadis ayu bermata merah menyala itu bersembunyi dengan tangan membekap mulutny
tih pucat, dengan pasang mata berwarna merah menyala. Warga desa
tu meliuk melingkari betisnya. Dia menajamkan penglihatannya dalam remang. "Akhh!" Dia memekik tertahan tanpa s
ng mencarinya itu lantas menghentikan langkah, menyeringai jahat
derang perang. "Syukurlah, sepertinya mereka sudah pergi," gumamnya.
nta saat tubuh rampingnya disere
ra
nya. Mawar terlepas dari bekapan, dia kembali berlari dengan kaki telanjang. Jalanan yang gel
"Aaaakhhh
.. Gusti Allah, ini sakit sekali," lirihnya. Dia duduk, lalu meraba telapak kakinya dengan tangan yang gemetaran.
Teriakannya tertahan, namun air
terasa kaku, melihat siapa yang bicara. Dia kembali gemetaran, ber
ni sedang menyoroti wajah Mawar dengan obor. Para lel
i jangkung. Tangan-tangan kekar itu mulai menyeret Mawar dengan kasar, membawanya paksa ke balik semak lantas mulai
utukan lolos dari mulut Mawar. Hingga di akhir, saat rasa sakit sudah s
eronta sekuat tenaga, dia juga m
! Setan!!" um
h tamparan melayang di pipi mulus Mawar, membuat
rinya untuk melayangkan kalimat kutukan. Dengan seluruh si
engking disela tubuhnya ya