Terjerat Cinta Nona Arogan
resa
, dan seperti biasa jalanan Jakarta macet. Benar-benar menyebalkan. Tidak biasanya
lobi, embusan nafas kasar sudah keluar dari mulutku. Sepertinya pagi ini memang hari
tu dengan senyum manis yang
uarkan senyum tulusnya. Alhasil sama sepert
kat, tentu dengan se
tu terkekeh memperlihatkan
an siang
raya berjalan mendahuluinya dan di
makan bersama dan sudah kesekian kalinya p
siang nant
O
ria itu. "Bagaimana? Bisa?" tanyany
eeting sama investor
hadiri resepsi pernikahan teman lamaku. Awalnya kami hanya sekedar berkenalan hingga belanjut bertukar pes
an nyaman de
ar mengajak makan bersama, liburan bersama, bertanya tentang kegiatanku, dan memberi perhatian kecil. Hanya sekedar itu. Tapi entah k
pit di pipi kanannya, hidung mancung serta bibir tipis berwarna pink yang menandakan bahwa Hendra bukanlah seorang perokok. Lengan
papun Hendra, aku hanya meng
kamu dengan investor
ak
aku bertanya darimana dia tahu karena pria itu selalu menjawab deng
u
ghindari ajakannya, pria itu tidak pernah marah dan s
i-i
aku malah g
ndra sembari menge
eting satu kali dalam sehari." Biarlah dia menganggapku sebagai orang yang sombon
ap
rus buru-buru mas
apa-apa. Mung
hargaiku dan tidak pernah memaksaku sedikit pun. Padah
Hendra terulur ke atas kepalaku un
a Hendra sampai di depan mobilnya
pria yang terbilang tampan, berbeda denganku. Jangankan baper, berdebar saja tidak! Aku malah menge
endra seenaknya membuat mahkotaku ini berantakan. Oh ya yang perlu ka
ktu saja! Lebih baik aku se
*
juga datang. Aku mengembuskan napas lega, setidaknya
gan ini terbuka dan menampilkan sosok wanita yang usianya 2 tah
dah datang?"
" sahut
wabanku dan tetap memasuki rua
baca pesan dari
ingung, memang sedari tadi
etapi aku tetap merogoh pon
ataku memb
m?!"
i kantor. Dia memang lebih tua dariku, sudah
m terjengkit saat m
lau pertemuannya diundur be
a jam 5 pagi. Tapi Mbak Echa ndak buka pesan d
malas mengecek ponsel saat pagi-pagi buta
aya buru-buru,"
gak buka HP pagi-pa
kepalaku ke arah Nilam,
am pelan sembari mengelus dada. "Sa
an menatap
bak Echa, soalnya Mbak Echa galak.
!" geram
dari mereka tidak betah dengan sifat jutek dan kata-kata pedas yang sering ku lontarkan
Denan memang lebih menyuka
Mas Hendra a
pria itu datang ke kantorku. Apalagi saat dia sedang hamil, bisa-bisanya
nggak pasti, say
Nilam lirih, tetapi