HILDA PERAWAN TUA
kku Hilda segera memotong sayuran dan meracik bumbu-bumbu.
g, kesabarannya selama ini membuatk
ku. Tampak kedua bola matanya masih berka
ngin buang air besar?" I
u, berusaha untuk menahan kucuran air mata yang sudah menggantung pad
khawatir," senyum Hilda merekah. Aku tahu itu hanya senyuman palsu untuk tidak membuatku
gera mengatur hidangan di atas meja, lalu menyuapiku dengan telaten, set
ngkan pampers dewasa di tubuhku. Ya, bila Hilda sedang di luar rumah, aku selalu memakai pampers dewasa karena Hilda tak in
, ini gawainya aku taruh di meja ya, Mak." Lanjut
rjalan keluar rumah sambil menenteng
a Pramus
i rumah, namun apa hendak di kata, hanya akulah yang bisa menjaga Emak kare
ka mengangguk hormat, ada pula yang acuh tak acuh. Segerombolan mahasiswa tertawa terbahak-ba
mahasiswa semester lima menghampiriku untuk menawarkan bantuan walaupun seb
eman Rafael lalu disambut dengan tawa dari teman-te
i meninggalkan Rafael yang melihatku dengan lesu. Entah meng
kerjaku. Membuka laptop dan mengecek email sambil menunggu jam mengajar
dosen hukum yang selama ini selalu mende
k sekilas dan kembali membaca be
ada waktu? Bisa enggak kalau Ibu menemani sa
ku yang sedang menari
pak, Emak menungguku di rumah." Aku men
ini sudah dewasa bahkan sudah pantas mempunyai anak, tapi mengapa Ibu selalu menutu
Hatiku sedikit kesal mendengar ucapannya. Pak E
egois! Seharusnya Ibu
ak sudah
mencintaimu. Aku bisa menikahimu,"
irup oksigen sebanyak-banyaknya ag
tang satu persatu. Aku tak ingin keribut
u ke kelas." Aku berjalan melewatinya, membi
memang sudah mempunyai isteri, tapi...sekarang usiaku sudah sangat mapan, kepalaku berdenyut-d
anya di sepertiga malam ku. Ya Allah, b
, aku merasakan gawaiku bergetar. Cepat aku mengambil gawaiku di dalam tas dan menek
makan siang di restoran langgananku.) Su
aku enggak
etelah ini saya tidak akan mengajak Bu Hilda maka
seharusnya aku lakukan. Beberapa saat gawaiku menemp
Ibu masih
, Pak, saya
ima ajakan
a,
idak salah menerima ajakan makan siangnya? Hanya makan siang biasa
u harus meminta izinnya
ran kampus, aku menekan tomb
orean ya) kataku setelah sebelum
a mengajar di dua kelas saja
makan siang sam
ritakan pada Emakmu? Ya sudah, kamu terima saja aja
an aku berjodoh dengan seseorang yang menurut Emak sepadan denganku dan pant
aku menja
lau ia melamarmu, jangan kamu tolak,
ak, ia s
on tanpa mengucapkan salam. Aku menghela
iran kampus, kulihat Pa Ed
saja biar nanti saya antarkan pulang sekalian." Dengan sigap, Pak Edi me
melirik padaku sekilas sambil tersenyum
bilang terima
laupun ini untuk yang pertama dan terakhir
ma-sama
a..." Pak Edi menggantungkan kalimatnya
apa hatiku saat ini sangat berkecamuk. Kubiar
di sebuah kursi berhadap-hadapan dengan Pa
aku tak bereaksi sedikitpun. Saat ini aku tak tahu harus berbuat apa, yang jelas, aku sangat khawatir dengan usiaku yang terus beranjak menuju tua apalagi bila melihat Emak yang menginginkan
a yang di inginkan Emak untuk jadi menantunya. Tidak Hilda, ia sud
ak Edi bertanya, sebuah senyum hangat tersungging di bibirnya. Memang pria ini tak
tiba-tiba berdering, ke
Mak, a
saja datang. Katanya ia akan tingga
kenapa
dah tak bekerja, ia telah di PHK dua bu
an. Dan sekarang Risa sudah tak bekerja lagi di rumah makan karena kelahiran Dafa membuatnya sedikit
Ibu baik-ba