Tanpa Restu

ak Mukhlis dan ibuku bernama Ibu Wati. Ayah berumur 54 tahun dan ibuku berumur 49 tahun.

n nama belakang, Straiger. Itu adalah nama kakek buyut ke buyut ayah. Aku tidak tahu kami generasi ke berapa. Yang past

p besar terpampang disana dengan ukuran 1,8mx2m. Tidak mungkin untuk tidak melihat foto sebesar itu saat lewat dari ruangan itu. Lagian, semua orang yang datang k

pasti melihat foto tersebut. Saat duduk di ruang tamu, seolah

nangis saat melihat foto besar tersebut. Aneh! Tapi, aku malah jadi tertawa. Aku tahu itu, saa

a! Apa ayah dan ibu takut kami bertemu dengannya dan

aat melewati ruang tamu, aku selalu melihat wajahnya yang terpampang besar disana. Mata besar, hidung mancung dengan tulang yang

lan di televisi dan membandingkannya dengan foto kakek buyut. Apa kalian tidak merasa itu lucu? Aku harap apa yang kupikirk

melewati foto kakek buyutku, aku merasa bahwa matanya bergerak mengikuti gerak ku. Saat aku m

Kejadian di awal terulang lagi. Kami seperti main kucing-kucingan. Apa itu ha

a mereka dengan embel-embel Straiger. Memang aku menyukai nama itu, meski terdengar seperti nama cowok. Tapi nama itu membuatku merasa lebih tegar, penuh dengan keibaan

amaku Nanda. Adikku bernama Mikhael, dan itu nama yang diambil dari kitab suci. Abangku David, juga diambil dari nama seorang yang pembe

di antara mereka. Mereka suka baca kitab suci dan selalu menuruti apa kata ayah. Sedangkan aku adalah seorang pembangk

tikan bahwa apa yang dikatakannya aku lakukan. Lagian, itu tindakan sia-sia. Aku bisa bermain dengan teman-teman pria ku di dalam kelas. Apa dia bisa

a menit ia sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah seram. Tapi, jika aku pulang l

it, ayah pun menceramahiku. Ia sangat tegas dan disiplin. Terkadang aku merasa diperlakukan seperti anak tiri. Aku pernah berkhayal bahwa a

eman dengan yang bukan bangsa -nya dan akhirnya ia diperkosa oleh Syikhem yang merupakan orang kafir. Akh

a memberikan masalah kepada ayah dan juga abang-abangnya. Waktu itu memang aku tidak memikirkan sampa

ekerjaan dan diterima di sana. Awalnya ayah tidak mau aku pergi. Kami sampai-sampai bertengkar hebat k

arena ia selalu menuntutku untuk dirumah dan tidak boleh pergi dengan teman-teman sekolahku. Aku juga diter

i kesana. Itupun karena bantuan dari ibu yang mencob

ertentu aku akan berkeliling untuk mencari pelanggan. Selebihnya, aku akan berada di satu tempat di pinggir danau buatan yang ada di Kanada. Ada banyak orang jogging dis

t suka pekerjaanku dan omset ku juga selalu tinggi dibandingkan dengan yang lain seprofesiku. Aku pernah mendapat piagam

pada seseorang. Justru ketika aku tinggal disini, barulah aku merasa adanya perkembangan dalam diriku ke arah yang lebih baik. Mungkin

Karena begitu seringnya membeli disana, seluruh karyawan Mcdonald mengenalku dengan baik. Jadi setiap pulang, aku akan singgah ke tempat itu untuk membeli makan malamku. Aku menep

kanan ini karena badanku tidak terlalu besar dibuatnya. Timbanganku hanya 68

Saat aku bekerja di dalam mobil van ku, di danau buatan temp

ng terkadang dipakainya bagaikan langit malam yang kelihatan jelas bintang-bintang yang menghiasinya yang tidak bisa kulupakan. Saat ia menggoes sepeda nya, seperti akan ada gempa bumi dimana-mana yang menggetarkan seluruh tubuhku. Ketika ia

ku. Aku tidak bisa menghambatnya untuk pergi.

sepersekian detik lagi dia akan lewat. Mataku selalu tertuju ke depan, bahkan saat ada orang yang me

sekolah. Tapi, tak ada yang terjadi. Hingga sore datang, dia tak kunjung datang. Aku pun menyerah dan beberes unt

i plastik ku, tiba-tiba

ngg