/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
Aku merasa takdir yang tersurat untukku kurang bagus. Karena ibuku meninggal ketika usiaku baru 5 tahun. Sedangkan ayahku meninggalkan aku dan Ceu Imas, satu - satunya saudaraku. Untungnya Ceu Imas sudah punya suami. Sementara aku masih duduk di bangku SMP, sehingga untuk mengandalkan Ceu Imas untuk membiayai sekolah dan kebutuhan sehari - hariku.
Itu pun hanya sampai tamat SMP. Setelah aku lulus SMP, kakakku “angkat tangan”. Aku malah disuruh cari kerja saja, supaya bisa menghidupi diriku sendiri.
Tapi apa yang bisa kuperbuat dengan ijazah SMP ? Lagipula saat itu umurku baru 14 tahun. Melamar ke mana - mana pun takkan diterima, karena masih di bawah umur.
Sementara Ceu Imas hanya bisa memberi uang seadanya tiap bulan. Uang yang jumlahnya tidak seberapa. Untuk makan sehari - hari pun tidak cukup.
Karena itu aku berusaha mencari duit sendiri dengan segala cara. Dengan membantu - bantu di pasar pun jadilah. Yang penting bisa makan tiap hari, tanpa harus menunggu kiriman dari kakakku.
Hal itu berlangsung selama bertahun - tahun.
Setelah usiaku 18 tahun, aku mulai berpikir untuk mencari kegiatan yang lebih bagus daripada sekadar menjadi kuli di pasar. Karena itu aku sengaja membuat SIM A dan C. Dengan tujuan, ingin menjadi sopir angkot. Mudah - mudahan nanti ada pemilik angkot yang bersedia menyerahkan mobilnya untuk kusopiri.
Tapi sebelum hal itu terjadi, aku berjumpa dengan teman karibku, Dadang, yang menghentikan sedannya persis di sampingku.
“Asep ! Apa kabar ?” tanyanya sambil memelukku.
“Dadang ?! “ sahutku kaget, “Wah ... keren ... loe sudah punya mobil sendiri ?”
“Asal rajin nabung, beli mobil aja sih gak susah - susah amat Sep. “
“Gue juga senang nabung. Tapi kalau penghasilan gue pas - pasan, apa yang bisa gue tabung ?”
“Ayo deh ikut gue. Biar bisa ngobrol lebih panjang lebar. “
Aku pun masuk ke dalam sedan Dadang. Dengan perasaan kagum, karena teman karibku sudah punya sedan segala. Padahal dahulu dia senasib denganku. Sama - sama anak orang tak punya. Tapi sejak ia pindah ke kota, aku tak pernah berjumpa lagi dengannya. Sementara aku tetap tinggal di kota kecamatan yang jaraknya 30 kilometer dari kota besar.
“Kalau mau maju, loe harus mau tinggal di kota Sep, “ kata Dadang sambil menjalankan sedannya ke arah timur, “Di pinggiran begini, mana bisa nyari duit ? Kecuali kalau loe mau bikin tempe atau dagang sayur, mungkin bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari. “
“Gue kan gak punya saudara di kota. Mau tinggal di mana ? Harus nyewa kamar ? Dari mana duitnya ?”
“Kalau loe punya niat untuk mencari duit di kota, loe bisa tinggal di rumah gue. “
“Loe udah punya rumah sendiri di kota ?”
“Udah, “ Dadang mengangguk.
“Loe hebat Dang. Umur loe sebaya dengan gue, tapi sudah punya rumah dan mobil segala. “
“Gue setahun lebih tua dari loe. Sekarang gue udah sembilanbelas tahun Sep. Ohya, loe mau ikut ke kota sekarang ?”
“Mau. Tapi gue harus nitipin dulu kunci ke tetangga sebelah. Takut kakak gue pulang gak bisa masuk. “
“Ya udah, sekarang ke rumah loe dulu. Sekalian bawa baju untuk ganti. Siapa tau loe kerasan di rumah gue nanti. “
“Kalau dikasih kerjaan, pasti gue kerasan di rumah loe Dang. “
“Kerjaan sih ada. Asal mau aja loe ngerjainnya. “
“Kerjaan apa pun akan gue kerjakan, asal jangan maling aja. “
“Nggak. Kerjaan kita takkan merugikan orang lain. Percayalah. “
Setibanya di mulut gang menuju rumahku, Dadang menghentikan sedannya. “Gue nunggu di mobil aja ya, “ kata Dadang.
“Iya, “ sahutku, “tunggu sebentar ya Dang. “
Bergegas aku melangkah ke dalam gang menuju rumahku yang kecil dan nyaris roboh itu. Di dalam rumah, kukumpulkan semua pakaian yang sudah dicuci dan disetrika. Lalu kumasuklkan ke dalam ransel.
Sambil menggendong ransel, aku keluar dari rumahku. Lalu kukunci pintu depan. Anak kuncinya kutitipkan ke tetangga sebelah, agar kalau Ceu Imas datang, bisa masuk rumah.
Kemudian bergegas aku menuju jalan besar, di mana Dadang tengah menungguku di mobilnya.
Pada waktu aku masuk ke dalam mobil, Dadang memandang ke arah kakiku yang cuma mengenakan sandal jepit. “Kenapa gak pakai sepatu Sep ?”
“Sepatu gue udah jebol. Belum punya yang baru, “ sahutku jujur.
“Nanti di rumah gue banyak sepatu yang udah gak dipake. Kelihatannya kaki loe seukuran dengan kaki gue, “ kata Dadang.
“Gue biasa pakai sepatu ukuran empatpuluh. “
“Sama. Gue juga pakai nomor itu, “ kata Dadang sambil menjalankan mobilnya.
“Gue memang sengsara Dang. Sejak ayah gue menghilang, gue mengandalkan belas kasihan Ceu Imas. Tapi dia kan punya suami, tidak bebas juga untuk ngeluarin duit. Makanya setelah tamat SMP, gue gak bisa lanjutin ke SMA. Karena kakak gue gak sanggup biayai sekolah gue lagi. “
Dadang terdiam. Mungkin sedang memikirkan kesengsaraanku ini.
Lalu Dadang berkata, “Kalau loe mau mengikuti langkah gue, pasti takkan kekurangan lagi. Asalkan loe mau aja. “
/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
/0/14523/coverorgin.jpg?v=129a31041e33c9d78477eab5582de025&imageMogr2/format/webp)
/0/7194/coverorgin.jpg?v=4ff094347bed047f5498cb232d936bd6&imageMogr2/format/webp)
/0/6822/coverorgin.jpg?v=545b0051c1d38b83b80a962229807050&imageMogr2/format/webp)
/0/4130/coverorgin.jpg?v=08e0ea24a3929e076e664ac257a3f876&imageMogr2/format/webp)
/0/3968/coverorgin.jpg?v=ceb6ecf5c18b901dd17f817d8465961f&imageMogr2/format/webp)
/0/4037/coverorgin.jpg?v=8bfe3620bd9e16b9b38c6f948bc9a606&imageMogr2/format/webp)
/0/22929/coverorgin.jpg?v=7210deed904b68c803a92f2cf55e913f&imageMogr2/format/webp)
/0/23359/coverorgin.jpg?v=6cc1c8db761967eeaa4c45bc90ba2de5&imageMogr2/format/webp)
/0/17140/coverorgin.jpg?v=9116f11934ba3241336420f79b9c0f06&imageMogr2/format/webp)