/0/26688/coverorgin.jpg?v=c4b3c2c782fc14e4cf02f18cc7392d82&imageMogr2/format/webp)
Hujan turun dengan deras di luar jendela, menimbulkan suara gemuruh yang bercampur dengan dentingan air mengenai atap rumah. Dari balik tirai tipis, Arunika Selvara menatap kosong ke arah gelap malam. Cangkir teh hangat di tangannya sudah lama dingin, uapnya lenyap sejak ia biarkan tanpa disentuh.
Di ruang tamu yang luas itu, hanya suara hujan dan detak jam dinding yang terdengar. Rumah sebesar ini seharusnya ramai dengan tawa dan obrolan keluarga, tapi malam itu yang tersisa hanyalah kesunyian.
Pintu depan tiba-tiba terbuka. Suara langkah sepatu bergema. Seorang pria tinggi dengan jas yang masih melekat di tubuhnya masuk dengan wajah tanpa ekspresi.
"Sudah larut," ucap Arunika pelan, hampir tanpa suara.
Davin Albrecht tidak langsung menjawab. Ia melepas jasnya, menggantung di dekat pintu, lalu berjalan melewati Arunika tanpa menoleh. Bau parfum asing yang samar tercium saat ia lewat, menusuk indera Arunika dengan getir yang sulit dijelaskan.
"Papa!" suara riang terdengar dari tangga. Mireya, gadis kecil berusia lima tahun, berlari turun dengan piyama bergambar kelinci. Matanya berbinar, seakan baru saja mendapat hadiah besar hanya karena ayahnya pulang.
Davin berhenti. Senyum tipis, jarang sekali muncul, terbit di wajahnya. Ia berjongkok, meraih Mireya dalam pelukan. "Sayang, sudah tidur?" tanyanya.
"Aku tunggu Papa pulang. Mama bilang Papa sibuk, tapi aku ingin kasih lihat gambaranku." Mireya menunjukkan kertas berwarna yang digenggamnya erat.
Arunika hanya bisa memperhatikan dari jauh. Senyum Mireya, tawa kecilnya, dan pelukan erat itu bukan untuknya. Hatinya menghangat sekaligus perih.
Davin menatap gambar itu. "Indah sekali. Kamu memang pintar."
Mireya tertawa kecil. "Aku gambar Papa, Mama, dan aku. Lihat, di sini kita bertiga pegang tangan."
Arunika menelan ludah. Dadanya terasa sesak mendengar kalimat sederhana itu. Gambar keluarga kecil yang tampak sempurna, meski kenyataan begitu jauh dari itu.
"Cantik sekali." Davin mengacak lembut rambut putrinya. "Sekarang, waktunya tidur. Papa antar, ya?"
"Boleh, Papa!" Mireya melompat kegirangan.
Arunika ingin ikut bicara, ingin mengatakan bahwa ia yang seharusnya menemani anaknya tidur. Tapi tatapan dingin Davin saat ia hendak membuka mulut membuatnya mengurungkan niat. Ia hanya duduk diam, memeluk cangkir kosong yang sejak tadi tidak berguna.
Langkah kaki mereka berdua naik ke lantai atas, meninggalkan Arunika sendirian di ruang tamu. Hanya dentuman hujan yang kembali mengisi ruang.
Beberapa menit kemudian, Davin turun lagi. Wajahnya datar, dingin, seolah senyum tadi hanyalah topeng untuk putri mereka.
"Kamu belum tidur?" suaranya terdengar datar, nyaris seperti pertanyaan basa-basi.
Arunika menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela. "Tidak bisa tidur."
Davin duduk di sofa seberang, mengambil tablet dari tasnya, langsung menatap layar. Tidak ada kelanjutan obrolan. Tidak ada pertanyaan lebih jauh.
Arunika menghela napas. "Kamu makan?"
"Sudah." Jawaban singkat.
"Dengan siapa?" Pertanyaan itu lolos begitu saja, meski ia tahu risikonya.
Tatapan Davin terangkat dari layar. Mata abu-abunya menusuk, dingin, penuh peringatan. "Apa gunanya kamu tahu?"
Arunika terdiam. Lidahnya kelu. Ia ingin marah, ingin menuntut, ingin menjerit bahwa ia tahu ada wanita lain bernama Selina yang kini menjadi bagian hidup Davin. Tapi ia menahan diri. Sudah terlalu sering ia melawan, dan hasilnya hanya luka baru.
"Aku hanya... khawatir," jawabnya pelan.
Davin tidak menanggapi. Ia kembali menatap layar, seolah Arunika hanyalah bayangan tak berarti.
Arunika menunduk. Tangannya gemetar memegang cangkir. Ia ingin sekali menanyakan apa Selina lebih baik darinya, apa Selina yang mampu membuat Davin tersenyum dengan tulus. Tapi suara itu terjebak di tenggorokan.
/0/28208/coverorgin.jpg?v=412a8cf94fdd73cdbc528d0668148c35&imageMogr2/format/webp)
/0/6109/coverorgin.jpg?v=cf942bb99b8fc29cfd071d9f0d1e127f&imageMogr2/format/webp)
/0/12656/coverorgin.jpg?v=c9626fbcae3e583f3765ce46ec87d742&imageMogr2/format/webp)
/0/24544/coverorgin.jpg?v=20250530185549&imageMogr2/format/webp)
/0/16975/coverorgin.jpg?v=2de95201a1dd53d808eae22a016988db&imageMogr2/format/webp)
/0/30469/coverorgin.jpg?v=457d50ab47bd5ccb4157b7e9162c8b93&imageMogr2/format/webp)
/0/29102/coverorgin.jpg?v=fe96be1fdce6c6b952b09697e2127b92&imageMogr2/format/webp)
/0/5756/coverorgin.jpg?v=22395f8a604d06774cbebbcddcc206b3&imageMogr2/format/webp)
/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
/0/29707/coverorgin.jpg?v=6a5e2553a396061dcab0e8081b7e7f0e&imageMogr2/format/webp)
/0/29103/coverorgin.jpg?v=979a3c394d00f6aae1a78fe5c26076dc&imageMogr2/format/webp)
/0/27010/coverorgin.jpg?v=86da652b394a41adaee1da3a56cac712&imageMogr2/format/webp)
/0/29161/coverorgin.jpg?v=15008b67ea5914b9bcf64e0b495c70e6&imageMogr2/format/webp)
/0/13466/coverorgin.jpg?v=81e65921a2deae8529f27d361223e649&imageMogr2/format/webp)
/0/25076/coverorgin.jpg?v=12001f1cee1d32f57b78dd7e7ed03466&imageMogr2/format/webp)
/0/3113/coverorgin.jpg?v=e760d12db1e35bdd078df92d01953442&imageMogr2/format/webp)
/0/24906/coverorgin.jpg?v=8785ebc9ee09ac2a56a391cb21aecef2&imageMogr2/format/webp)
/0/27202/coverorgin.jpg?v=f52e8846988ac37d758841a99a0961ed&imageMogr2/format/webp)
/0/18382/coverorgin.jpg?v=9bbdc40dbf7874e0fb2cfa1b2697a7af&imageMogr2/format/webp)