/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Slater baru saja tiba di rumah. Pintu ia dorong pelan, namun suara engsel yang berderit terdengar jelas dalam keheningan rumah. Wajahnya tampak kusut, tubuhnya benar-benar kesal, lelah, letih, lesu, dan sangat penat. Hari ini terasa seperti hari paling panjang dalam hidupnya. Jasnya sudah kusut, dasinya melonggar, dan kemejanya lengket oleh keringat serta debu kota.
Begitu masuk, matanya langsung tertuju pada Seveline-istrinya-yang tampak duduk santai di sofa ruang tengah. Kakinya berselonjor, ponsel di tangan, matanya fokus ke layar, jari-jarinya lincah menari.
"Kamu pulang dari tadi?" tanya Slater, suaranya berat dan datar, mencoba menahan rasa jengkel.
Seveline hanya mengangguk kecil, tak menoleh sedikit pun. Bahkan tidak menyapa. Hanya sekali sentuhan singkat pada layar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
Slater menghela napas panjang. Ia meletakkan tas kerja di sisi rak, melepas dasi dengan gerakan lambat, lalu sepatu yang terasa seperti beban batu ia tendang pelan ke sisi karpet. Tanpa bicara lebih, ia berjalan ke lantai atas, langkahnya berat dan malas.
Usai mandi, Slater turun kembali dengan rambut masih agak basah dan pakaian yang lebih santai. Aroma sabun masih menyelimuti tubuhnya, namun kehangatannya tak cukup untuk meredakan letih di hatinya. Seveline masih berada di tempat yang sama-pose yang nyaris tak berubah.
Slater berjalan menuju meja makan, berharap setidaknya ada semangkuk sup atau sepiring nasi hangat. Tapi kenyataan berkata lain. Meja itu kosong, bahkan tak ada satu pun sendok tersusun.
"Kamu nggak masak untuk makan malam?" tanya Slater, nadanya mulai sedikit meninggi, jelas menyimpan nada kesal.
Seveline akhirnya menoleh, wajahnya datar. "Beli aja di luar. Kebetulan aku juga belum makan," jawabnya singkat, tanpa ekspresi bersalah sedikit pun.
Slater menggertakkan giginya pelan, lidahnya bergerak di dalam mulut, menahan gejolak amarah yang hampir meledak. Ia menatap istrinya beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Lalu, dengan langkah tenang namun penuh tekanan, ia berjalan mendekat ke ruang tengah, menghampiri Seveline.
Matanya menatap lekat, seolah ingin mengucapkan banyak hal... namun lidahnya belum juga bergerak. Ada yang mulai retak di antara diam mereka-dan Slater merasakannya makin jelas malam itu.
"Apa kamu akan terus bersikap acuh seperti ini?" tanya Slater, suaranya terdengar tegas namun masih menahan emosi.
Seveline akhirnya menoleh, kali ini benar-benar menatapnya. Wajahnya tetap tenang, tapi mata itu-mata yang biasa dingin-kini mulai menunjukkan sedikit percikan emosi. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap Slater dengan alis terangkat.
"Kenapa?" balasnya singkat, nada suaranya datar namun terasa mengandung tantangan.
Slater menghela napas panjang, dalam dan berat, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum akhirnya menatap istrinya.
"Kau seorang istri," ucapnya, lebih pelan namun jelas. "Kewajibanmu melayani suami. Aku tidak menuntut kamu harus masak, bersih-bersih rumah, atau mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan itu. Aku hanya butuh kamu... melayaniku."
/0/4037/coverorgin.jpg?v=8bfe3620bd9e16b9b38c6f948bc9a606&imageMogr2/format/webp)
/0/7432/coverorgin.jpg?v=cdad065e9d03d2602fa89d649f5f3d93&imageMogr2/format/webp)
/0/7540/coverorgin.jpg?v=64ba578be9dfd13513fb31866dbcd0fd&imageMogr2/format/webp)
/0/29709/coverorgin.jpg?v=6fcb174a878b4609f3946580a7866757&imageMogr2/format/webp)
/0/6800/coverorgin.jpg?v=bb215ec44e5fcbdc9a77524e4a36d19c&imageMogr2/format/webp)
/0/5461/coverorgin.jpg?v=3ac303780a237094524cb6ff4f1c3c17&imageMogr2/format/webp)
/0/12626/coverorgin.jpg?v=feb13b1300e4221467f17e6271b97f27&imageMogr2/format/webp)
/0/2454/coverorgin.jpg?v=693f1f249946477a393a40fd87fcbd4e&imageMogr2/format/webp)