Atha terpaksa menikahi Enzy karena sebuah jebakan, terlebih dia juga berniat akan memanfaatkannya sebagai sebuah kesempatan bagus sebab dia sudah cukup lelah dengan pertanyaan orang-orang tentang usianya yang tidak lagi muda. Enzy yang pertama kali membawanya ke sebuah ikatan tanpa kepastian. Mereka menikah, tapi hanya terjebak dalam status itu karena ternyata Enzy pun hanya memanfaatkan Atha untuk tujuannya sendiri. Enzy menyukai orang lain dan tidak berencana menyukai suaminya sendiri. Selama pernikahan mereka, ada banyak hal terjadi. Apa mereka akan tetap terjebak dalam ikatan itu selamanya? Atha tidak tahu, dia hanya kesal karena perasaannya sendiri untuk gadis muda itu.
"Bibi! Bibi di mana alas kaki yang kuminta tadi?!" teriak Enzy sangat keras sampai terdengar olehku yang masih dalam kamar.
Suarannya datang dari lantai bawah, astagfirullah. Berapa kali aku harus mengucap kata itu selama satu hari pernikahan kami?
Belum lagi kutahu ia jarang melakukan ibadah, sekarang kebiasaan buruknya mencuat ke permukaan. Tak ingin ambil pusing, memerintah orang seenaknya dan bersikap manja layaknya putri kerajaan.
Baiklah. Dia memang seorang putri kesayangan. Kelakuannya itu pasti datang dari kebiasaanya yang selalu mendapat apa yang ia inginkan.
"Apa kau tidak bisa mencari sendiri barangmu?" tanyaku, menghampirinya.
Seorang asistant rumah tangga datang dengan tergesa-gesa, membawakan sepasang sepatu high heels yang tadi diminta oleh si empunya perintah.
Sekarang, setelah sah menjadi seorang istri Enzy sungguh mengubah total penampilannya. Si gadis tomboy itu merombak habis dari ujung kaki hingga kepala.
Sepatu ia ganti dengan high heels, celana pun terganti oleh rok. Warna-warna lembut tak mencolok ia padu-padankan menjadi sebuah style yang cocok.
Rambutnya tergerai indah dengan atasan yang menonjolkan pundaknya, putih bening nan mulus. Ia tampak sedikit lebih dewasa dan sexy dengan pakaian itu, mungkin. Tapi tidak untuk sifatnya.
"Tidak." Dengan entengnya ia bicara. "Yosh! Aku sudah siap. Ayo kita berangkat!" serunya bersemangat.
"Oke, kita berangkat. Tapi tidak ada Mall atau pun restoran. Apalagi rumah ibu." Datar.
Yah, begitulah. Rencananya hari ini kita berdua akan pergi jalan-jalan karena ia terus merengek minta diantar membeli beberapa buah tangan sebelum kami berkunjung ke Purwakarta.
Sejak kusetujui keinginannya, ia jadi orang yang paling tersibuk. Mempersiapkan diri dari pagi dengan penuh semangat.
Tapi kini aku akan sedikit menghancurkan harapannya, sebab ia sendiri yang membuatku mengubah pikiran.
"Kenapa?" tanya Enzy. Garis di sudut bibirnya menurun, menatapku dengan kerutan di kening.
"Hari ini, kita akan pergi ke rumah yang disediakan ayahmu untuk melihat kondisinya."
"Ikh, Kakak. Rumah itu kan tidak demam, kenapa harus dilihat kondisinya? Nanti saja, ya." Ia manyun.
"Apa?" Mengernyit.
Plakk!
"Argh! Kenapa aku harus diberi istri sepertinya?!" Batin menggerutu. Menggaruk kepala yang tak gatal.
Sungguh.
Kelakuannya itu pasti akan membuatku terkena serangan jantung suatu hari nanti.
***
Datang ke sebuah rumah cukup besar di daerah Tangerang banten. Tampak jelas olehku bagaimana rumah ini mampu menciutkan hati.
Kami akan tinggal di rumah ini. Meski besar dan terkesan mewah, tapi tetap saja ini bukan rumahku. Rumahnya, ia yang berhak.
Aku tetaplah aku. Sebutir debu yang menempel, sekali hempas lenyap sudah.
"Kakak, aku tidak ingin tinggal di rumah ini. Kenapa kita tidak tinggal di rumah ibu saja? Di sana lebih ramai orang, aku tidak suka tempat semacam ini, Kak." Ia memasang wajah memelas lagi. Setelah selama perjalanan perdebatan kami tidak mendapatkan titik terang, ia kalah dan mengikuti perkataanku.
Kedua lensa mata kecokelatannya menyapu sekeliling. Juga matakj yang turut mengikutinya. Tempat ini, lebih bisa dikatakan sebagai perumahan cina.
Rumah-rumah besar bertingkat di sebelah kiri dan kanan rumah kami tergantung benda khas yang digunakan oleh orang-orang bermata sipit itu. Lampion, serta gantungan yang menimbulkan suara jika tersibak angin.
Tepat di depan rumah, sebrang jalan. Terdapat lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan liar serta beberapa pohon besar menjulang tinggi.
Memang sepi. Hanya ada segelintir orang yang berlalu-lalang di jalan tempat kami berada.
"Belajarlah mandiri, di sana pasti kau akan memanfaatkan ibuku untuk mengerjakan tugas rumahmu."
Ia merengut. "Apa yang kakak lakukan padaku ini ... jahat." Matanya menyipit, sinis. Menirukan gaya bicara seorang aktris satu film.
Sebelah kakinya menghentak jalan aspal sebelum meninggalkan jejak kesal. Membuka gerbang rumah, ia lebih dulu masuk ke dalam.
Menggelengkan kepala, dasar aneh.
***
Menekan bel rumah, ada yang membuka pintu. Seorang wanita, menyambut kedatangan kami dengan hormat.
Sepertinya ia sudah bekerja di rumah ini. Bahkan sebelum kami berniat pindah. Menunjukkan seluk-beluk rumah, kami berdua mengikuti langkahnya dari belakang.
Mata cukup dimanjakan oleh karya seni dari lukisan tiga dimensi penuh makna yang tertempel di dinding, perabotan lengkap serta guci-guci keramik mengkilat di setiap sudut strategis.
Di lantai dua, cahaya matahari menyorot dari jendela. Dari atas juga bisa di lihat jelas pemandangan yang menyajikan keramaian tak jauh dari rumah ini.
Rumah yang cukup strategis di area padat penduduk, apalagi di sini juga terjamin oleh pembuatan saluran air yang sangat baik. Hingga mampu menekan potensi banjir jika hujan deras turun.
"Heh, apa yang kau lakukan? Lihat rumahmu ini baik-baik agar kau tahu tugasmu. Aku tidak ingin punya istri malas, apalagi jarang shalat," ujarku. Risih, kesepuluh jemari lentiknya itu terus mencengkram lenganku erat.
Bersembunyi di balik punggung, ia seolah tak ingin melihat lebih jauh lagi.
"Aku takut, Kak. Ayo kita pergi saja dari sini," jawabnya. Suara gemetar itu kembali terasa. Makin erat genggamannya ketika kuajak ia melihat kamar kami.
"Takut apa? Bukankah kau mampu menghabisi empat orang laki-laki dalam sekejap? Berhentilah merengek dan berpura-pura. Aku tidak akan membawamu ke tempat ibu sebelum kau terbiasa dengan ini." Menggerakkan lengan, tubuh Enzy terus bergelayut padaku. Pegal, beban yang dibawa tubuh berlipat ganda tapi ia malah tak peduli.
"Itu kan manusia, Kak."
Aku berdecap malas. Masuk ke dalam kamar, ruangan ini ternyata sudah dirapikan dengan apik. Lemari, meja rias, tempat tidur luas, juga sebuah tirai besar kuning keemasan membentang.
Saat tirai disibak, sebuah jendela kaca besar menampakkan jelas pemandangan lain yang berbeda dari tempat sebelumnya.
Enzy pun memberanikan diri membuka pintu lemari besar di sudut lain.
"Oeekk!"
Tercekat. Saat mata fokus menikmati pemandangan, suara muntahan Enzy terdengar dari arah kamar mandi.
"Ada apa?" tanyaku, sedikit panik.
Ia seolah mencoba mengatur napas, mencuci mulutnya dengan air lalu menubruk tubuhku seketika, ia menangis.
"Kakak, aku tidak ingin tinggal di sini. Tempat ini menyeramkan, mereka semua menjijikan. Aku takut ... hiks. Ayo kita tinggal di rumah ibu Anika saja, aku ingin bersamanya. Tolong, Kak." Ia menangis, memelukku erat.
Tubuhku terpaku. Yah, aku tahu itu. Hal ini, sikapnya pasti diakibatkan oleh kemampuan indra keenam yang ia miliki.
Sebuah penglihatan yang tak semua orang memilikinya. Menyempitkan ruang gerak bagi mereka yang tahu. Serta menimbulkan efek tak nyaman bagi mereka yang belum mampu menerima.
Ia bisa melihat, tapi belum bisa terbiasa.
"Mereka hanya halusiansimu, Zy. Jangan takut," ucapku. Membelai rambut hitamnya, ia mendongak dengan berlinang air mata.
"Mereka nyata, Kak. Mereka ada di sini."
Mengambil napas dalam lalu membuangnya percuma. Kutahu ia butuh jawaban pembenaran.
"Bukankah kau tidak sendiri? Lalu apa yang kau takutkan?" tanyaku.
Ia tersenyum getir. "Kakak ...," lirihnya kemudian.
Kelamaan menatap bola mata bulat kecokelatan itu, aku baru sadar kedua lengannya masih melingkar erat di pinggang.
Coba membuyarkan getaran yang mulai terasa, melepas lengannya dari tubuh, tapi istri kecilku itu malah merapat.
Entah sudah berapa kali kami berdua berpelukan. Ah, tidak. Tapi dia duluan yang memelukku.
Semula masih risih dengan ulahnya ini. Tapi, kenapa? Sekarang sedikit berbeda. Meski tubuh memberi reaksi lain.
"Apa lagi? Lepas."
"Baik, kita akan pindah ke sini dua hari lagi, tapi selama hari itu belum datang aku ingin kita tetap pergi ke Purwakarta. Aku ingin pergi ke sana, Kak," ucapnya memohon, manja dan mengeluarkan jurus jitunya.
Heran. Kenapa juga ia begitu ngotot inginap pergi ke sana. Padahal baru kemarin ia dan keluargaku bertemu.
"Please ...." Ia memohon lebih dalam dengan matanya yang makin bulat.
"Hhh, ya. Baiklah. Kita akan ke Purwakarta." Mengangguk menyetujui. Enzy berjingkrak riang sambil erat memelukku.
"Asiik! Terimakasih ya, Kak." Ia berujar senang. Sampai gerakannya terhenti lagi dan lebih tenang.
Sejenak ia terdiam, lalu mengambil pergerakan lambat.
"Ternyata meluk kakak nyaman juga, ya," Ujarnya. Menempatkan kembali kepala di dada, sambil mengembangkan senyum.
Deg.
Tidak! Tidak! Tidak!
Tolong kendalikan dirimu Atha! Kau hanya akan menjadikannya sebagai pelampiasan. Tidak lebih. Jangan ada rasa apalagi cinta, itu bisa saja melukai hati lagi untuk kesekian kali
Yah, hanya pelampiasan. Pemanfaatan sama sepertinya memanfaatkanku seperti budak yang harus selalu mengikuti inginnya.
Baiklah.
Sudah saatnya salah satu tujuanku akan dimulai. Sekarang, meski tanpa ia setujui.
"Kakak?" Suaranya mulai terdengar. Ia bergerak tak nyaman saat kubalas pelukannya.
"Kenapa? Anggap saja aku ini sebagai boneka beruang yang kau ajak bermain," ucapku. Nakal. Sengaja menggoda ingin tahu bagaimana reaksinya.
Saat wajah Enzy masih mendongak, kutarik pelan tengkuknya ke arahku sampai terasa lembut bibirnya yang ranum.
Matanya membulat, menepuk kecil dadaku setelah oksigennya kutahan beberapa saat. Suara pelan frustasi terdengar merdu, ah. Kurasa ini memang sudah saatnya.
Brug!
"Ikh, kakak mesum! Lepas!" Ia berontak kasar, pasti menyadari niatku yang menuntut hak. Bibirnya sedikit merekah, bengkak. Mengusapnya sejenak lalu bertindak diluar dugaan.
Bug!
"Akhh!"
Sial!
Lagi-lagi tulang kering kaki jadi sasaran keras tendangannya, belum lagi sikut yang ia hantamkan ke pelipis seolah diriku ini adalah seorang perampok.
Yah, aku akan menjadi perampok. Perampok yang akan merenggut malam pertama kami yang tertunda.
Enzy berlari cepat ke arah pintu, namun kecepatanku berhasil mendahuluinya.
"Apa kau tahu? Kilat selalu lebih dulu datang daripada petir. Sekarang aku adalah suamimu, dan kau harus memenuhi kewajibanmu," ucapku. Mengunci pintu rapat, ia mundur ke belakang.
Napasnya tersengal-sengal, yah. Sekarang akulah yang akan menjadi peran antagonis dalam drama ini.
"Kakak, jangan sekarang ...," pintanya. Memelas sekaligus memaksa.
Terkekeh kecil, semakin menarik ketika ia salah tingkah dan terlihat takut karenaku. Sepertinya ia juga tahu kalau aku takkan menyerah begitu saja.
Langkah kaki semakin dekat, sampai ia terpojok ke arah tempat tidur. Kumulai aksi cepat ke arahnya.
Brug!
"Ikh, kakak jahat!"
Baiklah, ini memang bukan malam pertama, tapi siang pertamaku dengan Enzy.