Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Our Difference

Our Difference

Haneul

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Kepindahan kerja yang awalnya Nishaa nantikan karena sangat jauh dari tempat tinggalnya, kini menjadi kesialan untuknya. Dalam sekali pandang, Nishaa tahu bahwa laki-laki yang tengah memerhatikan dari kursinya itu adalah Darel, kakak kelasnya saat SMP yang ia taksir. Saat ia berencana untuk pindah lagi ke tempat kerjanya yang lama, atasannya tidak mengizinkan dengan dalih bekerja di sini lebih menguntungkan Nishaa. Satu-satunya harapan Nishaa adalah, Darel sudah melupakannya, termasuk melupakan kejadian memalukan yang terjadi di sekolahnya dulu. harapan tinggal harapan. Darel malah mendekatinya, meminta Nishaa menjadi kekasihnya. Namun saat Nishaa sudah menjalin hubungan dengan Darel, Nishaa menyadari satu hal. Mereka berbeda.

Bab 1 Kepindahan

Hari yang dinanti oleh Nishaa akhirnya tiba. Dengan tubuh gemetar karena kesenangan, ia kemudian menghampiri Austin di meja kerjanya.

"Tin!" panggil Nishaa dengan nyaring, membuat Austin terkejut.

"Pelan-pelan kalau manggil. Aku enggak tuli, Shaa." Tegur Austin dengan memutar bola matanya. Nishaa hanya tertawa.

Nishaa lalu membuka kertas yang terlipat sebelumnya, lalu memamerkannya pada Austin. Austin membacanya dengan perlahan, lalu menatap sahabatnya.

"Yes! Akhirnya permintaanku di acc! Dadah Austin! Pasti kamu bakal kesepian enggak ada aku. Hm... jangan kangen aku, ya!"

Austin memutar bola matanya, malas.

"Pokoknya Austin kalau kangen telepon aja. Tapi maaf kalau nanti aku slow respon, aku 'kan sibuk di kantor baru." Kata Nishaa sambil melipat kembali kertasnya lalu duduk di samping Austin.

"Kalau ternyata kamu kangen, ya sudah enggak apa-apa. Tapi maaf kalau aku sibuk terus. pasti bakal banyak kerjaan di sana. Aku megang posisi yang sama, soalnya. Nanti pas gajian, kutraktir, deh. Gimana?"

Austin menatap Nishaa dengan tatapan menyelidik.

"Benar, ya? Awas kalau nanti alasan mulu!"

Nishaa membuka matanya yang sipit dengan pura-pura takut.

"Austin mau ditinggal jadi galak begini, sih? Sudah, jangan galak gitu. Nanti pokoknya kalau aku enggak sibuk aku main."

Austin lagi-lagi memutar bola matanya, lalu satu ide bagus terlintas di kepalanya.

"Daripada nanti-nanti, kenapa enggak sekarang saja kamu traktir aku? Hitung-hitung perpisahan. Gimana? Oke, enggak? Okelah, ya. Sip. Sana balik ke ruanganmu. Nanti jam istirahat aku hampiri, kita makan di kedai soto Bu Agung. Sip. Dah sana."

Dengan senyum kemenangan, Austin melanjutkan pekerjaannya, berbanding terbalik dengan Nishaa yang berjalan meninggalkan ruangan Austin dengan cemberut.

***

Nishaa memasuki kantor barunya dengan senyum yang cerah. Ia selalu menyapa orang yang berlalu lalang di sana, bersikap ramah sebaik mungkin. Ia juga sesekali membungkuk jika bertemu dengan orang yang terlihat lebih tua dari Nishaa.

Nishaa melewati lorong sepi menuju ruangan atasannya, pak Doni. Saat selesai perkenalan dengan pak Doni, pak Doni membawa Nishaa ke ruangannya yang bersatu dengan divisi lainnya.

"Selamat pagi semua! Perkenalkan nama saya Ganishaa R. Pevetha, cukup panggil saya Nishaa. Mohon bantuannya!" dengan semangat dan penuh percaya diri Nishaa memerkenalkan diri di hadapan rekan-rekan kerjanya yang baru. Namun matanya tidak sengaja menangkap satu laki-laki yang tidak asing untuknya.

"Nah, Nishaa ini baru pindah hari ini dari kantor pusat untuk membantu kantor kita. Saya minta kalian bisa bekerja sama dengan baik dengan Nishaa, ya! Nah, Nishaa, kita di sini bahasanya enggak formal banget, jadi saya harap kamu bisa lebih santai di sini. Mejamu ada di sana. Kamu boleh segera ke sana. Helen, tolong ajari Nishaa dulu, ya."

"Baik, pak!" ucap perempuan yang tampak berusia akhir dua puluhan.

"Kalau gitu, saya pamit dulu. Nishaa, jika kamu tidak mengerti, kamu bisa tanyakan pada Helen, ya."

Dengan cepat Nishaa mengangguk, lalu tersenyum pada Helen.

Sepeninggal pak Doni, Nishaa segera menghampiri mejanya. Saat berjalan, ia tidak sengaja melihat nama Darel tertulis di meja laki-laki itu. Nishaa pun berusaha tidak memedulikannya.

Dengan semangat ia dibantu Helen untuk mempelajari pekerjaannya di sini. Helen pun dengan senang mengajari Nishaa, karena Nishaa cepat mengerti apa yang Helen ajarkan. Saat ini Helen bahkan sudah kembali ke mejanya, membiarkan Nishaa mengerjakan pekerjaannya sendiri.

Sesekali Nishaa curi-curi pandang pada laki-laki yang bernama Darel itu. Namun seketika tubuhnya menegang.

Itu adalah Darel Alexander Kaindra, kakak kelasnya saat SMP yang sempat ia tembak dulu. Nishaa pun menutup wajahnya. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan masa lalunya di sini.

Tolonglah, berdiri di depan Darel tadi membuat Nishaa ingin menghilang saja setelah dulu ia sudah memutuskan urat malunya untuk menyatakan cintanya pada Darel.

Namun ia masih bisa berharap, Darel sudah melupakan kejadian memalukan itu. Ya, ia masih punya harapan.

***

Darel menatap karyawan baru itu dari kejauhan. Ia melihat tawa perempuan itu yang tampak familiar. Darel masih mencari siapa dia. Tak ingin terlalu lama memikirkan itu, Darel menyantap makanannya kembali.

"Anak baru cantik juga." Celetuk Rio, rekan sedivisinya.

Darel masih fokus pada makanannya.

"Darel diam saja, nih. Ayolah, dia cantik, 'kan?" tanya Rio sambil menatap Darel dan tiga rekannya yang lain.

Darel menghentikan makannya, meneguk airnya, lalu mengangguk.

"Saya tuh kayak kenal sama dia, tapi enggak tahu di mana. Enggak asing wajahnya." jawab Darel lalu mengambil cemilan Rio, lalu memakannya.

"Hei jangan dihabiskan!" tegur sang empunya saat melihat tangan Darel masih mengambil cemilan Rio. Darel hanya menanggapinya dengan tertawa.

Toni, rekan Darel yang lain, melirik jam tangannya. Terlihat jarum jam menunjukkan jam satu di sana. Waktu istirahat sudah habis. Ia kemudian mengajak rekan-rekannya untuk pergi dari sana.

Darel paling terakhir meninggalkan kantin. Saat ia hendak menyusul rekannya, ia tidak sengaja melirik ke meja Nishaa. Kosong. Nishaa sudah pergi terlebih dahulu. Darel pun segera pergi dari sana, berlari menyusul rekan-rekannya.

***

"Kamu suka makan?" tanya Helen pada Nishaa.

"Iya, kak." Jawab Nishaa sambil memakan cemilan yang sengaja ia beli tadi sebelum meninggalkan kantin.

Nishaa pun menawari Helen untuk bersama memakan cemilannya, yang dengan senang hati Helen terima. Ia kemudian bercerita tentang bagaimana bisa bekerja di sini.

Nishaa kemudian menatap arah tunjuk Helen saat mendengar Helen menyebut nama Darel.

"Dia enggak beda jauh masuknya dari aku, Shaa. Aku ingat, aku tanggal enam belas masuk, dia tanggal delapan belas."

Nishaa menatap Darel yang tengah fokus dengan pekerjaannya.

"Jangan bilang kamu terpesona?" selidik Helen. Nishaa menatap Helen lalu menggeleng.

"Pawangnya galak!" bisik Helen sambil menekan kata 'galak'. Nishaa menggeleng, ia juga tidak ingin berurusan dengan Darel. Apapun itu.

Helen masih memakan cemilannya Nishaa. Saat ini ia sudah sedikit santai karena pekerjaannya sudah selesai. Tinggal menunggu waktu untuk pulang.

Saat berpamitan, mau tidak mau Nishaa harus berjabat tangan dengan Darel, seperti rekannya yang lain. Dengan gugup Nishaa mengulurkan tangannya, lalu menjabat tangan Darel. Nishaa menguatkan diri untuk berpamitan, lalu ia segera meninggalkan ruangan.

Nishaa menuju parkiran, lalu meninggalkan kantor dengan motornya. Tanpa ia sadari, Darel memerhatikannya dari jauh.

"Ke sini naik motor? Menarik..."

***

"Ingat kakak kelas SMP yang pernah kuceritakan enggak, Tin? Nah dia. Aku sekantor sama dia ternyata. Aku enggak tahu sih dia ingat aku atau enggak, semoga sih enggak, ya. Kalau dia ingat aku... duh gimana, Tin?"

Austin yang masih di ruangannya pun menghela napas. Menurutnya, Nishaa sedikit berlebihan.

"Ya sudah. Professional saja. Kamu ke Hendra bisa lho professional, padahal dia mantan kamu. Kamu juga pasti bisa bersikap professional ke dia. Jangan ada urusan apapun sama dia pokoknya, kalau bukan urusan pekerjaan."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku