Vansha Millien, seorang gadis berusia 19 tahun dia terpaksa harus bekerja sebagai pekerja seks namun ternyata, ia malah bertemu dengan seseorang yang menjadikan dirinya sebagai budak seksnya, Fabian, ia seorang yang arogan dan terkenal akan suka menyiksa perempuan. Namun, suatu kejadian membuat Vansha harus bertemu dengan seorang dokter, Danish Raditya, sosoknya kalem membuat Vansha menyukai dirinya tapi hatinya mengarah kepada Fabian pria bertampang menyeramkan. Mampukah Vansha menemukan dambaan hatinya dari pekerjaannya yang memiliki sisi gelap? Harus kah dia membuka sisi gelapnya tersebut kepada sang dokter?
"Bapak Brian Millien meninggal akibat serangan jantung pada pukul 18:00 di usia 41 tahun," ucap dokter yang menyebutkan nama dan usia ayahku.
Aku menangis sejadi-jadinya dan aku tidak terima bahwa ayah yang selama ini aku sayangi meninggal ketika aku berulang tahun.
Ibuku yang memiliki paras cantik, menjadi kaku, ia bahkan lebih menyayanginya lebih dari segalanya. Aku hanya bisa pasrah melihat wajah cantiknya.
Paman kami membantu untuk menyemayamkan jenasah ayah kami di rumah duka. Beberapa tamu hilir mudik keluar masuk dari rumah duka.
Beberapa orang yang mengenal aku dan Ibuku berusaha menguatkan kami terutama teman-teman Ibuku, salah satunya tante Alma yang sudah menjadi sahabat dekatnya dari lama.
Ibuku terkejut dengan kehadirannya, ia tahu butuh waktu lama untuk menempuh perjalanan dari York ke London, "Aku harap kau bisa sabar, Jeannet," sahut tante Alma.
"Entahlah, Alma, aku tak tahu lagi," isak Ibuku.
Tante Alma memeluk Ibuku, "Aku bingung setahuku Brian sehat-sehat saja lalu mengapa ia bisa meninggal mendadak?" tanyanya yang melepas pelukannya.
"Dokter mengatakan bahwa ia terkena serangan jantung, padahal semua makanan dan minuman yang ia konsumsi jelas sangat membuat tubuhnya sehat-sehat saja, bahkan tidak ada makanan yang tidak sehat. Ia pemilih," katanya yang memberitahu kebiasaan-kebiasan yang dilakukan oleh ayahku.
"Itu yang membuatku curiga, makanya aku datang. Kau tidak mencurigai seseorang?" tanyanya.
Ibuku Jeannet Eackheart mendongak melihat sahabatnya tersebut, ia mencoba untuk mengingatnya, "Pedro!?" sahutnya takut-takut.
Tante Alma juga menganggukan kepalanya, "Tapi, aku tidak tahu, benar apa tidak. Bahkan ia juga tidak tahu dimana aku tinggal," sahutnya yang memberi tahu.
"Kau tahu seberapa gilanya laki-laki tersebut kepadamu? Dia bahkan rela melakukan apa saja demi mendapatkanmu," ucapnya yang ikut kesal.
Ibuku berusaha mengingatnya, benar ada kemungkinan kematian suaminya akibat Pedro namun Ibuku tidak ingin berspekulasi dengan kondisi keadaannya sekarang apalagi kami tengah berduka. Salah satu temanku menghampiri aku, "Vansha, kau kenapa?"
"Entahlah, aku merasa ada yang aneh dengan kematian ayahku ini. Terlalu tiba-tiba, Nathan," ucapku yang memberitahukan kepadanya.
"Hmm...jadi, begitu tapi apa ada musuh atau tidak?"
Mataku mengarah ke arah Ibuku, "Aku harap tidak tapi jika benar entahlah, mungkin aku akan membunuhnya."
Nathan merupakan pemuda yang membuatku nyaman, ia selalu membela diriku dalam segala hal bahkan ia juga membantu aku untuk mendapatkan nilai yang lebih baik lagi. Ia pintar dalam segala aspek, "Sudahlah jangan kau ambil hati," sahut Nathan.
"Tapi, aku tidak akan terima jika memang ayahku di bunuh, Nathan."
Nathan memutar kedua bola matanya, ia tahu bahwa aku tidak akan main-main dengan perkataanku, "Hasrat membunuhmu di tahan saja, tunggu kau cukup umur," ledeknya.
Aku melihat ke arah Nathan dengan tatapan tajam, aku yang sedikit emosi mendengar perkataannya, "Kau meledek diriku?"
Nathan membuang wajahnya melihat ke arah lain, "Aku tidak meledekmu namun kenyataan," kesalnya.
Aku pamit meninggalkan Nathan untuk pergi ke toilet. Selama aku di toilet aku merasakan ada yang mengikuti diriku.
Namun aku tak tahu siapa itu, aku berusaha untuk tidak melihatnya, kondisi mental juga kian lama kian memburuk aku berharap hal itu hanya sebatas halusinasiku saja.
Aku menyipitkan mataku dan terlihat seorang laki-laki bertubuh gempal melihat diriku lalu bergantian melihat ke arah Ibuku, "Siapa kau?" geramku kepadanya.
Laki-laki tersebut terkekeh, "Kau Vansha Millien? Senang bertemu denganmu, manis, aku pikir kita bisa berteman," ucapnya kepadaku.
Aku yang mendengarnya seakan ingin muntah, aku berlari untuk menemui Ibuku yang tengah sibuk dengan para tamu, "Bu, kau kenal dengan seseorang?" tanyaku jutek.
"Vansha, kau kenapa?" tanyanya.
"Jawab saja pertanyaanku."
Ibuku terdiam ia membawaku ke tempat yang sedikit jauh supaya tak ada yang mendengar pembicaraan kami, "Kau bertemu dengan siapa?"
Aku menepiskan tangan Ibuku, "Kau kenal dengan laki-laki bertubuh gempal tersebut?" tanyaku dengan menunjuk laki-laki itu.
Laki-laki itu tersenyum kepada kami bahkan lebih tepatnya tertawa melihat diriku dan Ibuku. Ibuku terkejut melihat kehadiran laki-laki itu.
"Setelah acara ini. Ibu, akan menceritakannya kepadamu, nak,"
"Siapa laki-laki itu?" ucapku dengan geram. Aku tak percaya bahwa melihat seseorang yang menjijikkan di hadapanku itu, "Ibu selingkuh?" tanyaku.
Ibuku hanya bisa menahan rasa sakit di dalam hatinya dugaannya tepat. Pedro mengikuti keluarga kami hingga ke pemakaman ayahku, "Kau pulanglah," sahut Ibuku.
"Jawab aku, Ibu,"
Ibuku berusaha meredakan kemarahan yang ada di dalam hatiku, ia memintaku untuk sabar dengan situasi yang terjadi sekarang ini.
Ia bahkan tidak percaya bahwa setidaknya dugaan Alma ada benarnya dengan kematian suaminya tersebut, "Ibu akan menjawabnya tapi di rumah, sayang, kau pulanglah," katanya dengan tersenyum kepadaku.
Aku hanya mendengarkannya bahkan tidak menjawabnya matanya terlihat tenang di saat kondisi kami tengah seperti ini, ia bahkan seakan sudah tahu namun menutupinya, "Awas jika, Ibu, tidak memberitahuku," ancamku.
"Pasti, Ibu, akan memberitahumu,"
Matanya yang hijau benar-benar membuatku tersihir bahkan aku tenang, aku pergi mengambil tasku dan meninggalkan ruang duka tersebut. Nathan melihat kepergian diriku, ia mencegatku, "Kau mau kemana?"
"Pulang," sahutku kesal.
"Aku yang antar saja, kau terlihat emosi," ucapnya. Aku melempar kunci mobil milikku ke arah Nathan dan membiarkan Nathan mengendarai mobilku menuju rumah.
Selama di perjalanan aku hanya bisa terdiam dan berusaha untuk menjaga perasaanku terhadap Nathan, "Kau kenapa?" tanyanya dengan hati-hati.
"Aku kesal," ucapku pendek. Aku tidak ingin Nathan tahu dengan kejadian tersebut, "Sudahlah jangan memancing diriku." Sekali lagi aku berusaha menghindari perbincangan tersebut dengan Nathan namun aku tidak ingin Nathan mengetahuinya.
Sementara itu di rumah duka, Ibuku menemui Alma, "Alma," katanya yang menyenggol tante Alma.
"Kenapa?"
"Jangan melihatku tapi lihatlah di seberang. Arah jam dua belas," katanya yang memberi petunjuk. Tante Alma terkejut bahkan matanya hampir saja keluar, "Sudah kuduga ia akan datang,"
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan menghampirinya, jika aku kenapa-kenapa tolong jaga Vansha,"
Ibuku meninggalkan ruang duka dimana ayahku di semayamkan. Kakinya melangkah menghampiri laki-laki bertubuh gempal tersebut, "Pedro!" marahnya.
Ia ingin memukul laki-laki yang bernama Pedro tersebut namun dengan sekali tangkis Pedro berhasil menghindar dari pukulan Ibuku.
"Kenapa?" katanya dengan mata yang berkilat marah, "Harusnya kau menyapaku, kita sudah lama tidak bertemu Jeannet. Kau masih cantik," sahutnya dengan terkekeh.
Ibuku berusaha untuk menampar laki-laki tersebut, "Untuk apa kau datang ke sini?" geramnya dengan melihat ke arah Pedro.
"Melihat suamimu yang mati," katanya dengan tertawa.
Ibuku benar-benar marah, ia tidak habis pikir dengan Pedro. Ia berusaha untuk menjambak laki-laki tersebut namun sekali lagi Pedro dengan kasarnya mendorong tubuh Ibuku hingga terjatuh dan melihatnya dengan tatapan sangar seperti singa yang hendak menerkamnya, "Kau gila!" teriak Ibuku.
"Aku hanya membantu menghilangkan rasa sakitnya, sayangku,"
Ibuku terkejut bukan main mendengar pengakuan Pedro, "Kau yang membunuhnya?"
Pedro melihat wajah Ibuku dengan tatapan buas yang seakan siap menyerangnya kapan saja, "Sudah aku katakan dari dulu kepadamu, sayang," katanya yang membelai rambut Jeannet. "Aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkan dirimu," tawanya.
Saking marahnya Ibuku mengepalkan tangannya hingga membuat telapak tangannya berdara, "Maumu apa? Dan, apa tujuanmu?"
Pedro melihat ke arah Ibuku"Menikahlah denganku," pintanya.
"Dasar orang gila!" teriaknya.
"Jika, tidak putrimu yang selanjutnya," ancam Pedro. Ibuku yang mendengarnya memohon supaya Pedro tidak membunuh aku, "Bagaimana?"
"Aku mohon jangan bunuh Vansha," katanya dengan suara yang getir.
"Pernikahan sudah aku atur di York kembalilah ke sana akan aku tunggu," katanya yang menyelesaikan misinya tersebut. Pedro meninggalkan Jeannet yang tengah di landa emosi.
Alma yang melihatnya menghambur dan membantu Ibuku untuk berdiri. Jeannet memberitahunya bahwa ia di ancam oleh Pedro bahkan ia sudah mengetahui Pedrolah yang membunuh Brian, "Laki-laki gila!"
"Tolong jangan beritahu Vansha bahwa ayahnya di bunuh, jika dia tahu dia akan melakukan segala cara untuk membunuhnya,"
"Berani-beraninya dia datang ke sini setelah melakukan kejahatan," geramnya.
Alma membawa tubuh Ibuku kembali ke rumah, aku melihatnya dengan harapan Ibu tidak berbohong namun kenyataannya berbohong kepadaku.
Matanya yang hijau terlihat sangat sendu. Ia bahkan memintaku untuk berkemas karena katanya ia merindukan rumah lamanya di York aku menyanggupinya.
Setelah pemakaman ayahku di langsungkan aku dan Ibuku bergegas pindah dari London menuju York. Nathan membantuku dan itu hari terakhir bertemu dengannya di London.
Hari demi hari, minggu demi minggu Ibuku mulai berbohong kepadaku hingga hari pernikahannya dengan Pedro membuat aku semakin membenci laki-laki yang datang di pemakaman ayahku.
Namun satu hal yang membuat aku berbekas hampir tiap hari Pedro pulang malam dengan kondisi mabuk bahkan seringkali aku mendengarnya mereka bertengkar hidupku mulai kacau.
Bahkan yang lebih menyakitkan aku berusaha memberitahu Ibuku untuk segera pergi dari rumah tersebut namun Ibuku mengotot, wajahnya yang cantik perlahan mulai muncul lebam biru dimana-mana.
Setiap malam aku menangis meratapi nasibku yang perlahan berubah hingga suatu hari seorang debt collector datang ke rumah kami, "Bayar hutangnya," makinya. Saking kesalnya aku mengambil pisau dapur dan menghunus ke arahnya.
"Pergi dari rumahku!" teriakku dengan mata berkilat marah, bibirku bergetar mendengar setiap perkataannya kepada kami bahkan kami sekalipun mengeluarkan lebih untuk menutupi hutang Pedro yang menggunung.
Hari demi hari, hidupku hanya di penuhi dengan penderitaan dengan laki-laki bertubuh besar.
Makanan mewah sudah tidak lagi tersedia bahkan tubuh Ibuku hampir seluruhnya lebam namun hingga suatu titik aku mendengar suara debat mereka berdua, "Jangan main-main denganku, Pedro!" marahnya.
"Kenapa? Kau takut jika putrimu aku jual? Hehehe..." kekehnya.
"Berani kau menyentuh putriku, kau akan aku bunuh dengan cara kau membunuh suamiku Brian," katanya dengan geram kepada Pedro.
Aku bersedekap mendengarnya, perlahan aku naik ke kamar dan hanya bisa menangis mengetahui bahwa ayahku di bunuh oleh ayah tiriku sendiri.
Aku berusaha menghubungi Nathan namun karena kepergianku Nathan seakan mengganti nomornya, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Ayah yang aku sayangi meninggal sementara Ibuku terpaksa menikah dengan laki-laki tersebut.
Setelah mengetahui kebenarannya, aku mulai bernekat untuk membunuh Pedro kapanpun dan dimanapun terserah jika semua orang mencapku sebagai pembunuh.
Buku lain oleh Park Jun Hye
Selebihnya