Demi menyelamatkan pernikahanku dari rasa nyeri misterius, aku diam-diam mendatangi Dr. Victor, spesialis kesuburan terkenal di kota. Namun, bukannya sembuh, aku justru dijebak dalam "terapi" menjijikkan di mana dia membiusku, melecehkanku, dan merekam aibku sebagai bahan pemerasan. Dia mengancam akan menyebarkan video saat aku "mengemis" sentuhannya-efek dari obat yang dia sebut pereda nyeri-jika aku tidak terus melayaninya. Aku merasa kotor, rusak, dan hampir gila karena ketergantungan aneh yang kurasakan pada tubuhnya. Sampai akhirnya, hasil pemeriksaan dari rumah sakit lain menampar kesadaranku. Dokter itu bertanya dengan wajah serius: "Nyonya, sejak kapan Anda mengonsumsi stimulan dan halusinogen dosis tinggi?" Ternyata aku tidak sakit. Bajingan itu sengaja meracuniku agar aku kecanduan padanya. Rasa takutku seketika lenyap, berganti dengan api kemarahan yang dingin. Aku akan kembali ke klinik itu, bukan sebagai pasien, tapi sebagai mimpi buruknya.
Demi menyelamatkan pernikahanku dari rasa nyeri misterius, aku diam-diam mendatangi Dr. Victor, spesialis kesuburan terkenal di kota.
Namun, bukannya sembuh, aku justru dijebak dalam "terapi" menjijikkan di mana dia membiusku, melecehkanku, dan merekam aibku sebagai bahan pemerasan.
Dia mengancam akan menyebarkan video saat aku "mengemis" sentuhannya-efek dari obat yang dia sebut pereda nyeri-jika aku tidak terus melayaninya.
Aku merasa kotor, rusak, dan hampir gila karena ketergantungan aneh yang kurasakan pada tubuhnya.
Sampai akhirnya, hasil pemeriksaan dari rumah sakit lain menampar kesadaranku.
Dokter itu bertanya dengan wajah serius:
"Nyonya, sejak kapan Anda mengonsumsi stimulan dan halusinogen dosis tinggi?"
Ternyata aku tidak sakit.
Bajingan itu sengaja meracuniku agar aku kecanduan padanya.
Rasa takutku seketika lenyap, berganti dengan api kemarahan yang dingin.
Aku akan kembali ke klinik itu, bukan sebagai pasien, tapi sebagai mimpi buruknya.
Bab 1
Saskia Tumanggor POV:
Perutku terasa nyeri, dan di antara kedua kakiku, ada sensasi terbakar yang aneh. Itu sudah berlangsung selama berminggu-minggu sekarang. Aku mencoba mengabaikannya, berharap itu akan hilang dengan sendirinya, seperti hal-hal lain yang terjadi pada tubuhku. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ini salah.
Aku berbaring di tempat tidur, mencoba memaksakan diri untuk tidur, tapi rasa sakitnya menusuk. Aku membalikkan badan, meringkuk, tetapi tidak ada posisi yang terasa nyaman. Rasa tidak nyaman itu semakin intens, seperti ada sesuatu yang mengikis dari dalam. Napas ku tercekat.
Ini bukan yang pertama. Sudah beberapa bulan aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Keintiman dengan Taufik, suamiku, menjadi mimpi buruk. Setiap sentuhan terasa seperti disayat pisau, menyebabkanku meringkuk kesakitan. Aku tidak bisa memberitahunya. Bagaimana mungkin aku mengatakan kepada suamiku bahwa aku tidak bisa lagi menjadi istrinya?
Aku sudah mencoba segala cara. Ramuan herbal dari dukun desa, doa-doa yang aku panjatkan setiap malam, bahkan mencoba berbagai posisi yang aku baca dari majalah lama. Semua sia-sia. Rasa sakitnya tetap ada, dan bahkan semakin parah.
Kegagalan itu membuatku merasa sangat kecil. Aku adalah seorang wanita, seorang istri. Tugasku adalah melayani suamiku, memberinya keturunan. Tapi aku tidak bisa melakukan salah satu pun. Aku merasa seperti cacat, rusak. Rasa bersalah menghantuiku setiap hari, setiap malam.
Aku takut. Takut Taufik akan meninggopkan aku. Takut desas-desus di desa akan menyebar seperti api. Sebagai wanita terhormat, reputasi adalah segalanya. Apa yang akan orang katakan? "Saskia Tumanggor tidak bisa punya anak," "Saskia Tumanggor tidak bisa melayani suaminya." Itu akan menghancurkanku.
Aku menahan semua rasa sakit ini sendirian. Aku tidak berani berbagi dengan siapa pun, bahkan dengan ibuku yang paling dekat sekalipun. Ini terlalu memalukan. Ini adalah aib yang harus aku tanggung sendiri. Tapi rasa sakit itu semakin kuat, mengancam untuk menelanku bulat-bulat.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu bergumul dengan diri sendiri, aku tahu aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mencari bantuan profesional. Aku harus menemukan jawaban. Mungkin ada harapan. Mungkin ada cara untuk memperbaiki diriku ini.
Aku membujuk Taufik untuk pergi ke kota. Aku berbohong padanya, mengatakan aku ingin membeli beberapa kain baru untuk membuat baju. Dia setuju, tanpa banyak bertanya. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Di kota, aku mencari klinik yang paling terkenal. Dr. Victor Mulia, seorang spesialis kesuburan dan ginekologi terkemuka. Reputasinya cemerlang, meskipun praktiknya sangat tertutup. Itu sempurna. Tidak ada yang akan tahu.
Jantungku berdebar kencang saat kami tiba di klinik yang mewah itu. Bangunannya modern, dengan jendela-jendela besar dan taman yang terawat rapi. Terasa asing, tapi juga entah bagaimana menenangkan. Aku menggenggam tangan Taufik erat-erat, mencari sedikit keberanian darinya.
Di dalam, suasananya tenang dan steril. Tidak banyak pasien, dan para perawat bergerak dengan efisien. Aku memberikan namaku pada resepsionis yang tersenyum ramah. Dia menyerahkan formulir padaku.
"Ibu Saskia, silakan isi ini. Dr. Victor akan segera menemui Anda," katanya, suaranya lembut.
Aku mengisi formulir dengan tangan gemetar. Setiap pertanyaan tentang riwayat kesehatanku terasa seperti mengungkap aib. Taufik duduk di sampingku, membaca koran, tidak menyadari badai yang berkecamuk di dalam diriku.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, seorang perawat muda memanggil namaku.
"Ibu Saskia, silakan ikut saya ke ruang periksa."
Aku berdiri, kakiku terasa lemas. Taufik mengangguk, memberiku senyum meyakinkan. "Aku akan menunggu di sini, Sayang. Semoga semuanya baik-baik saja."
Aku memaksakan senyum, lalu mengikuti perawat itu menyusuri koridor yang panjang. Setiap langkah terasa berat, seperti aku berjalan menuju jurang yang tidak diketahui.
Ruang periksa itu putih bersih, dengan bau antiseptik yang kuat. Ada kursi periksa besar di tengah ruangan, dengan sanggahan kaki yang terlihat dingin dan tidak nyaman. Tenggorokanku tercekat.
"Silakan berbaring, Bu. Dokter akan segera datang." Perawat itu tersenyum lagi, lalu meninggalkanku sendirian.
Aku menatap kursi periksa itu, tubuhku gemetar. Aku tidak pernah membayangkan akan berada di sini. Aku selalu menjaga diriku, selalu sehat. Mengapa ini terjadi padaku?
Aku naik ke kursi, memposisikan diriku seperti yang aku lihat di film. Dingin sekali. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang berpacu. Aku hanya ingin ini cepat selesai. Aku ingin kembali ke kehidupan normal, ke Taufik yang hangat, ke desa kami yang damai.
Aku menutup mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Aku berharap Dr. Victor Mulia bisa memberiku jawaban, bisa memberiku kembali diriku yang dulu. Aku berdoa dalam hati, memohon agar semuanya berjalan lancar. Aku terlalu takut untuk membuka mata.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Aku merasakan seseorang masuk. Aku tidak berani melihat. Hanya mendengar langkah kaki yang tenang dan suara lembut.
"Selamat siang, Ibu Saskia. Saya Dr. Victor Mulia." Suaranya dalam, menenangkan, dan penuh percaya diri. Itu seharusnya membuatku merasa lebih baik, tapi entah mengapa, aku justru merasa dingin merayapi tulang punggungku.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya