Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
HATI YANG TERSESAT

HATI YANG TERSESAT

dete

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Seorang wanita yang bahagia dalam pernikahannya merasa tersesat ketika bertemu dengan pria yang mengguncang hatinya. Saat hubungan ini mulai berjalan, ia dihadapkan pada pilihan antara mengikuti gairahnya atau mempertahankan apa yang telah ia bangun.

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Suasana di ruang konferensi hotel sangat meriah. Lampu-lampu berkilau menghiasi langit-langit, sementara tamu-tamu dari berbagai departemen perusahaan berkumpul, berbincang-bincang, dan menikmati hidangan. Clara, seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun, mengenakan gaun malam berwarna biru tua yang menyanjung tubuhnya. Ia berdiri di sudut ruangan, memegang gelas anggur putih, dan tersenyum pada rekan-rekannya.

"Clara, ayo bergabung! Kita harus merayakan pencapaian ini!" seru sahabatnya, Lila, sambil melambaikan tangan.

"Ya, aku akan segera ke sana!" jawab Clara, tetapi matanya tidak bisa menghindari sosok tampan yang baru saja memasuki ruangan. Rian, seorang pria karismatik dengan rambut hitam legam dan senyum yang memikat, menarik perhatian semua orang, termasuk Clara.

"Siapa itu?" bisik Clara pada Lila, sambil menunjuk ke arah Rian.

"Itu Rian, dari divisi pemasaran. Kabarnya dia sangat berbakat," jawab Lila, dengan nada bersemangat. "Kau harus mengenalnya!"

Clara mengangguk, tetapi merasa ragu. Ia sudah menikah dengan Daniel selama sepuluh tahun, dan perasaannya mulai berkonflik.

Saat Rian mendekat, Lila tidak menyia-nyiakan kesempatan. "Rian! Kenalkan, ini Clara, sahabatku yang paling hebat!"

"Senang bertemu denganmu, Clara," kata Rian sambil mengulurkan tangan. Suaranya dalam dan menawan.

"Senang bertemu denganmu juga, Rian," jawab Clara, berusaha menjaga senyumnya tetap alami saat jari-jarinya bersentuhan dengan tangan Rian. "Acara ini luar biasa, ya?"

"Terima kasih. Kami semua bekerja keras untuk mencapainya. Apa kamu di bagian mana?" Rian bertanya, matanya berbinar penuh perhatian.

"Aku di divisi keuangan. Seringkali bekerja di belakang layar," jawab Clara, merasakan detak jantungnya meningkat. "Tapi aku suka melihat hasil kerja tim kami."

"Jadi, kau adalah salah satu otak di balik angka-angka itu? Menarik!" Rian tersenyum, dan Clara merasa ada ketertarikan yang lebih dalam dalam tatapan itu.

Clara berusaha mengalihkan perhatian. "Aku hanya melakukan tugasku. Bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu tertarik dengan pemasaran?"

"Aku suka tantangan, dan pemasaran selalu membutuhkan inovasi," jawab Rian. "Plus, bertemu orang baru selalu menyenangkan."

Clara mengangguk, tetapi dalam hati, ia mulai meragukan ketenangan hidupnya. Perasaannya semakin kuat ketika Rian melanjutkan, "Kau punya aura yang membuat orang merasa nyaman. Aku bisa mengerti mengapa Lila mengagumimu."

"Ah, itu hanya kebetulan," Clara berkata, sedikit tersipu. "Aku hanya mencoba bersikap ramah."

"Tidak, itu bukan hanya kebetulan. Ada sesuatu yang menarik tentangmu," kata Rian, mendekat sedikit, menciptakan jarak yang tidak biasa. Clara bisa mencium aroma parfum Rian yang segar.

"Rian, jangan menggoda Clara terlalu banyak. Dia sudah punya suami," Lila menyela dengan tawa, tetapi Clara bisa merasakan ketegangan di antara mereka.

Rian tersenyum tipis. "Mungkin, tetapi tidak ada salahnya berbicara dengan orang yang menarik, bukan?"

Clara menahan napas, merasa terjebak di antara rasa ketertarikan yang baru muncul dan kesetiaannya kepada Daniel. "Aku... hanya menikmati obrolan," jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Rian mengangguk, tetapi matanya tetap menatap Clara dengan tajam. "Baiklah, mungkin kita bisa melanjutkan obrolan ini nanti."

Clara merasakan jantungnya berdebar. "Tentu, jika ada kesempatan."

Ketika Rian melangkah pergi untuk berbaur dengan tamu lainnya, Clara merasakan campuran kegembiraan dan rasa bersalah yang membanjiri hatinya. "Apa yang terjadi padaku?" gumamnya pelan.

"Clara, kau baik-baik saja?" Lila bertanya, khawatir melihat wajah sahabatnya yang tiba-tiba serius.

"Ya, aku baik-baik saja," jawab Clara, meskipun hatinya bergetar. "Hanya... merasakan hal-hal yang tidak biasa."

Lila mengerutkan dahi. "Hal yang tidak biasa bisa jadi hal yang baik. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Clara hanya mengangguk, tetapi jauh di dalam hati, ia merasa tersesat. Ketertarikan yang tumbuh pada Rian membuatnya meragukan apa yang selama ini ia anggap sebagai kebahagiaan.

Clara mengalihkan perhatiannya ke kerumunan, berusaha melupakan perasaan yang mengganggu hatinya. Namun, bayangan Rian terus mengganggu pikirannya. Ia mencuri pandang ke arah pria itu yang sedang berbincang dengan beberapa rekan kerja lain. Senyum Rian membuat wajahnya bersinar, dan Clara tak bisa menghindari rasa ingin tahunya.

"Clara, apa kau mau makan sesuatu?" tanya Lila, menyadarkan Clara dari lamunannya.

"Hmm? Oh, ya! Mari kita ambil makanan," jawab Clara, tetapi matanya tak lepas dari Rian. Ia melihatnya tertawa dan merasa seolah dunia di sekelilingnya menghilang.

Sambil berjalan menuju meja makanan, Lila mengamati Clara dengan cermat. "Kau tidak terlihat seperti dirimu. Apa ini hanya karena pertemuan singkat itu?"

"Tidak, aku hanya... terkejut. Dia sangat karismatik," kata Clara pelan, berusaha tidak terdengar terlalu tertarik.

"Karismatik? Dia seperti magnet, ya?" Lila tertawa. "Jangan berlebihan, Clara. Kau sudah punya Daniel. Dia pasti khawatir jika melihatmu seperti ini."

Clara menggigit bibirnya. "Aku tahu. Tapi aku merasa seolah ada yang berbeda saat bersamanya."

"Clara, ingat, terkadang ketertarikan bisa berbahaya. Kau tidak mau menyakiti Daniel, kan?" Lila memperingatkan, mengaduk makanan di piringnya.

"Tidak! Tentu saja tidak!" Clara menjawab dengan cepat, tetapi suaranya meragukan. "Aku hanya... bingung."

Kembali ke tempat mereka berdiri, Clara berusaha untuk tidak memperhatikan Rian. Namun, tak lama kemudian, Rian mendekat dan menghampiri mereka.

"Hey, Clara! Apakah kamu menikmati acaranya?" tanyanya dengan senyum yang mempesona.

"Ya, sangat menyenangkan. Dan makanan di sini enak," jawab Clara, merasa jantungnya berdebar lagi.

"Aku senang mendengarnya. Mungkin kita bisa menjadwalkan pertemuan lagi di luar acara ini? Aku ingin mendengar lebih banyak tentang proyek yang kamu kerjakan," kata Rian, menatapnya dengan intens.

Clara tertegun. "Um, aku... akan memeriksa jadwalku," jawabnya, berusaha terdengar santai meskipun pikirannya berputar-putar.

"Bagus! Aku akan menghubungimu," Rian menjawab, lalu berpaling ke Lila. "Dan kau juga, Lila. Kita harus berbincang-bincang tentang pemasaran di proyek berikutnya."

"Oh, tentu saja! Aku akan senang sekali!" Lila menjawab, bersemangat.

Setelah Rian pergi, Clara merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" tanyanya pada Lila.

"Dia ingin bertemu lagi. Itu hal yang besar, Clara!" Lila berkata, matanya berbinar penuh semangat. "Kau harus melakukannya!"

"Aku tidak bisa melakukannya, Lila. Aku sudah menikah," Clara menjawab, nada suaranya rendah. "Ini semua sangat rumit."

"Setiap orang berhak untuk bahagia, Clara. Hanya karena kau bertemu seseorang yang menarik tidak berarti kau mengkhianati Daniel," Lila meyakinkan, meskipun Clara meragukan kata-katanya.

"Tidak. Ini lebih dari sekadar ketertarikan. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih dalam," Clara berkata, merasakan keraguan dalam hatinya.

"Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perasaan ini. Ingat, cinta yang sejati adalah tentang pilihan. Apa kau mau mempertaruhkan kebahagiaanmu untuk sesaat?" Lila memberi nasihat, tetapi Clara merasakan berat beban di dadanya.

"Mungkin kau benar, tetapi..." Clara terdiam, memikirkan Rian dan perasaan yang baru saja muncul. "Rasa penasaran ini sulit untuk diabaikan."

"Cobalah untuk bersikap bijak, Clara. Mungkin ini hanya fase sementara," Lila berkata, tetapi Clara merasakan hatinya berkonflik antara kesetiaan dan ketertarikan yang membara.

Saat acara mendekati akhir, Clara merasa semakin tersesat. Ia melangkah keluar dari ruang konferensi, merenung dalam kegelapan malam yang sejuk. Di luar, suara riuh tamu yang tertawa dan mengobrol menghilang, dan ia merasa terasing.

"Hati-hati, Clara. Jangan biarkan hatimu terjebak dalam permainan ini," bisik hatinya.

Dengan perasaan yang berat, ia mengeluarkan ponselnya dan melihat foto Daniel, suaminya, tersenyum di sampingnya saat mereka berlibur di pantai. Senyum itu seolah mengingatkan Clara akan semua kenangan indah yang telah mereka bangun bersama.

"Mengapa aku merasa seperti ini?" gumamnya, menghela napas dalam-dalam. "Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?"

Clara menyadari, langkah pertama menuju ke mana hatinya akan mengarah sudah dimulai. Dia merasa seolah terjebak di antara dua dunia-satu yang nyaman dan satu yang penuh dengan gairah dan ketidakpastian. Saat dia melangkah pergi dari tempat itu, hatinya bertanya-tanya, pilihan mana yang akan dia buat di masa depan.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh dete

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku